HARI-hari suci Idul Adha, seharusnya menjadi waktu paling sakral dalam kalender Islam. Saat umat Muslim di seluruh dunia memperingati kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan menyalurkan daging kurban kepada yang membutuhkan, di Gaza, makna Idul Adha telah kehilangan wujudnya. Di tanah yang diblokade, dibom, dan dilupakan, bahkan untuk menangis pun, rakyat Gaza kekurangan waktu.
Lebih dari 605 hari sejak genosida sistematis oleh panjajah Zionis dimulai di Jalur Gaza, kekerasan terus bereskalasi. Ketika dunia bersiap menyembelih hewan sebagai lambang kepatuhan spiritual, di Gaza, manusia yang dikorbankan. Dibakar hidup-hidup di bawah bom fosfor. Dibiarkan mati perlahan dalam kelaparan dan ketakutan. Sementara takbir Idul Adha bergema dari Masjidil Haram, suara itu tidak pernah sampai ke reruntuhan masjid di Rafah atau Khan Younis, di mana puing-puing lebih banyak dari manusia yang masih hidup.
Saat Takbir Ditenggelamkan oleh Serangan
Dalam dua pekan terakhir, serangan brutal penjajah Zionis Israel terhadap Masjid Al-Aqsa kembali meningkat. Situs tersuci ketiga dalam Islam ini kembali dinodai oleh invasi militer, penodaan ruang ibadah, dan kekerasan terhadap jamaah. Penyerbuan demi penyerbuan tersebut bukan hanya pelanggaran terhadap situs keagamaan, tetapi pesan terang-terangan kepada dunia Islam, bahwa simbol spiritual umat pun tak diberi ruang untuk sujud.
Baca Juga: Dari Bandung Menuju Al-Aqsa: Tadabbur Qs. Al Anfal Ayat 45-56 dan Spirit Perjuangan
Dari Al-Aqsa ke Gaza, kekerasan itu menular, menyatu dalam satu skema penjajahan dan pembersihan etnis yang tidak lagi bisa disangkal. Penyerangan terhadap tempat suci hanya mendahului babak baru genosida yang kini menjadikan warga sipil, rumah sakit, sekolah dan bahkan lokasi pengungsian sebagai sasaran sah.
Di tengah persiapan Idul Adha, keluarga di Gaza tidak menyiapkan daging, melainkan mengkafani anak-anak mereka dengan potongan terpal dan serpihan beton. Seorang ibu di Deir al-Balah memasak rumput yang tumbuh liar di sela reruntuhan. Seorang ayah menggali dengan tangan kosong, mencari mayat putrinya yang terkubur di bawah rumah. Inilah Idul Adha versi Gaza, penderitaan yang tiada habisnya.
Daging Berlimpah, Tapi Gaza Terluka
Di Arab Saudi dan negara-negara kaya Teluk, ratusan ribu ekor hewan dikurbankan. Daging-daging itu dikemas, diawetkan, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam nama amal. Namun, Gaza, wilayah yang paling membutuhkan bantuan pangan darurat, tidak menerima apapun, selain puing-puing dan sisa bara ledakan.
Baca Juga: Kata Situs Formula E tentang Jakarta
Lebih dari dua juta warga Gaza kini hidup dalam kondisi kelaparan akut, menurut laporan terbaru dari WFP dan UNRWA. Anak-anak kurus kering menangis tanpa suara. Para ibu berhenti makan agar anak-anak bisa hidup sehari lebih lama. Di waktu yang sama, di Makkah, makanan terbaik dihidangkan di hotel-hotel mewah dan daging kurban melimpah hingga ke tempat sampah.
Ini bukan ironi. Ini penghinaan terhadap konsep pengorbanan. Ini pelecehan terhadap nilai solidaritas yang seharusnya menjadi napas dari setiap ritual keagamaan.
Agama Tanpa Keadilan adalah Ritual Kosong
Idul Adha bukanlah sekadar penyembelihan hewan, tapi penyembelihan ego, keangkuhan, dan ketidakpedulian. Semangat Nabi Ibrahim Alaihissalam tidak terletak pada pisaunya, melainkan pada keberaniannya untuk tunduk kepada perintah Ilahi yang membawa keadilan dan kemanusiaan.
Baca Juga: Dari Bandung untuk Al-Aqsa, Tabligh Akbar Menyatukan Umat dalam Ukhuwah dan Perjuangan
Namun, ritual tersebut telah kehilangan rohnya. Ia telah berubah menjadi tontonan tahunan tanpa jiwa, tanpa empati, tanpa keberpihakan terhadap yang tertindas. Gaza menjadi tolak ukur moral kita: apakah kita masih manusia? Ataukah kita telah menjelma menjadi umat yang puas melihat penderitaan, selama penderitaan itu tak terjadi pada kita?
Dalam khutbah-khutbah Idul Adha, apakah nama Gaza disebut? Apakah doa-doa kita benar-benar disertai air mata solidaritas, atau hanya sekadar rutinitas spiritual untuk menenangkan hati kita yang tak mau terlibat?
Lebih dari Sekadar Doa
Hari ini, lebih dari dua juta orang di Gaza tidak hanya lapar. Mereka mati perlahan. Mereka berdoa dalam kelaparan, tidur dalam kelaparan, dan bangun di tengah bom dan kelaparan. Di waktu yang sama, umat Islam di tempat lain bersendawa kenyang, sementara makanan terbuang begitu saja.
Baca Juga: 5 Adab Mulia yang Harus Diketahui Peserta Tabligh Akbar
“Wahai umat Islam, apakah kalian masih punya hati?”
Tangisan anak-anak Gaza bukan karena mainan baru, tapi karena perut kosong dan tubuh kakak mereka yang dibawa keluar dari reruntuhan. Para ibu tidak memasak daging, tapi merebus daun, kain, bahkan serpihan karton. Para pria tidak pergi ke masjid, tapi mencari sisa roti di tumpukan puing.
Inikah ajaran agama kita? Apakah kurban kita sah bila tetangga kita mati kelaparan? Apakah Allah menerima ibadah kita jika kita tidak menggubris tangisan Gaza?
Menggugat Dunia Islam
Baca Juga: Zionis Manfaatkan Serangannya ke Iran untuk Tutup Masjid Al-Aqsa
Gaza bukan hanya konflik. Gaza adalah ujian integritas umat Islam. Kita gagal. Kita diam ketika kejahatan berlangsung di depan mata. Kita berkompromi atas nama diplomasi dan normalisasi. Kita memilih netral ketika jelas siapa korban, siapa penjajah.
Tidak ada Idul Adha sejati selagi Gaza terbokade. Tidak ada pengorbanan sejati jika kita tak mampu mengorbankan kenyamanan demi keadilan.
Apakah kita siap untuk menyalurkan daging kurban ke Gaza walau harus menembus embargo? Menghentikan hubungan dagang dengan negara pendukung genosida? Menyuarakan solidaritas di jalan-jalan, masjid, dan parlemen? Mendidik anak-anak kita bahwa berdiri bersama yang tertindas adalah inti dari Islam? Ataukah kita akan terus menjadi umat yang hanya fasih berdoa, tetapi tuli terhadap jeritan korban?
Gaza bukan sekadar ujian iman, tapi bukti nyata komitmen kita pada ayat-ayat kemanusiaan. Selama blokade belum terangkat, selama pembantaian masih berlangsung, takbir Idul Adha hanyalah gema kosong. Sebagaimana Ibrahim mengorbankan keinginannya demi perintah Allah, sudahkah kita mengorbankan kepentingan politik demi Gaza?
Baca Juga: Mengapa Israel Nekat Menyerang Iran?
Tahun ini, biarkan gema takbir kita membawa nama Gaza. Biarkan khutbah kita menggugah hati, bukan sekadar membacakan teks. Biarkan doa kita disertai aksi nyata. Tidak cukup hanya bersedih, saat darah mengalir di tanah suci Gaza. Tidak cukup hanya bersimpati, saat anak-anak syahid dibungkus kardus.
Kita harus berdiri. Kita harus bicara. Kita harus bertindak. Gaza tidak butuh belas kasihan. Gaza butuh pembebasan.Gaza tidak butuh doa kosong. Gaza butuh solidaritas bersenjata keadilan. Gaza tidak butuh ritual. Gaza butuh revolusi nurani.
Dan sampai saat itu tiba, tidak ada Idul Adha yang pantas dirayakan. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Palestina di Tengah Pusaran Konflik Israel dan Iran