Di Provinsi Anbar di Irak barat tidak ada protes anti-pemerintah sebagaimana yang melanda ibukota Baghdad dan provinsi selatan sejak Oktober 2019.
Di kota Fallujah, yang terletak 60 km (37 mil) barat Baghdad, bekas luka dari berbagai serangan selama 17 tahun terakhir masih terlihat, dari invasi 2003 oleh Amerika Serikat, pengambilalihan Al-Qaeda 2006 hingga dominasi ISIS di 2014-2016.
“Fallujah dikenal karena banyaknya kerusakan yang menimpa kota itu sejak invasi AS pada 2003 hingga 2016,” kata Muayyad Farhan Mohammad, administrator distrik kota, kepada Al Jazeera.
“Tapi setelah pembebasan kota (dari aturan ISIS), Fallujah sekarang stabil dan sedang dalam proses membangun kembali,” katanya.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Kematian dan kehancuran di masa lalu
Mohammad mengatakan, protes anti-pemerintah 2013 yang mengguncang provinsi Anbar yang mayoritas Sunni memiliki konsekuensi yang menghancurkan.
“Kami sangat menderita ketika turun ke jalan untuk memprotes pada 2013,” katanya. “Itulah yang membuat kami dikuasai ISIS dan afiliasinya.”
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Protes itu yang terbesar terjadi di Ramadi dan Fallujah. Protes dipicu oleh tuduhan bahwa pemerintahan yang didominasi Syiah oleh Perdana Menteri Nouri Al-Maliki menggunakan undang-undang antiteror untuk menargetkan minoritas Sunni, yang mengendalikan negara sampai penggulingan Saddam Hussein pada tahun 2003.
Menurut Muayad Zubeir Mahmoud, Asisten Profesor Ilmu Politik di Universitas Anbar, dampak dari protes 2013 di Anbar menghasilkan reaksi berantai yang berpuncak dengan pengambilalihan Fallujah oleh ISIS kurang dari setahun kemudian.
“Kota kami adalah yang pertama jatuh di bawah kendali ISIS,” kata Mahmoud kepada Al Jazeera.
Menurutnya, protes yang kembali ramai terjadi sejak Oktober 2019, akan menyebabkan kekacauan dan peluang bagi ISIS untuk melampiaskan malapetaka.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Fallujah yang dikenal sebagai Kota Masjid pernah dikepung setelah pasukan bersenjata Irak dan milisi Syiah melancarkan serangan pada Juli 2015 untuk mengusir ISIS dari Anbar.
Administrator distrik Mohammad mengenang ketika kelompok ISIS melanjutkan kepungan itu dengan meledakkan rumah-rumah milik para pejabat di kepolisian dan keamanan.
Pertempuran untuk merebut kembali Fallujah dari ISIS oleh pemerintah Irak dan pasukan Syiah menyksikan pertempuran jalanan yang menimbulkan kerusakan lebih lanjut pada rumah, alun-alun dan bangunan pemerintah.
Puluhan ribu orang di kota berpenduduk hampir 100.000 orang itu menyelamatkan diri ke pedesaan dan wilayah Irak lainnya untuk menghindari kekerasan.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
“Luka kami masih berdarah”
Di saat Mohammad mengakui gerakan anti-pemerintah saat ini sesuai dengan hak-hak yang diabadikan dalam Konstitusi, ia mengatakan “tidak ada selera” untuk ikut protes seperti itu di Fallujah.
“Protes tidak menyebar ke sini karena rata-rata warga di Fallujah dan Anbar sekarang memiliki kesadaran yang lebih besar tentang ke mana gerakan ini mungkin mengarah,” katanya. “Karena luka kami masih berdarah.”
Pengalaman pemindahan, pembunuhan, penghancuran, dan pelanggaran terhadap martabat dan hak-hak mereka yang dilalui orang-orang Anbar sangat keras, kata Mahmoud, yang membuat mereka memikirkan kembali situasi politik mereka.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
“Mereka bersikeras untuk tidak menghidupkan kembali hari-hari itu lagi, dan sekarang lebih sadar bagaimana menghadapi perubahan,” katanya, menjelaskan mengapa orang-orang menjauh dari protes.
“Ada kekhawatiran bahwa ISIS akan kembali ke provinsi Anbar jika protes meletus di sini,” tambahnya.
Kawthar Muhammadi, seorang aktivis sipil berusia 29 tahun, mengatakan, Fallujah masih memiliki sel-sel tidur ISIS, sesuatu yang “semua orang tahu, tetapi tidak ingin membicarakannya.”
“Anbar adalah bagian gurun dan mudah bagi anggota atau afiliasi ISIS untuk melakukan perjalanan melalui Fallujah, kota terdekat ke Baghdad, dan menyusup ke tempat-tempat protes di sana dan di selatan negara itu,” katanya.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Aktivis dipantau
Zubeir Mahmoud mengatakan, meskipun para pejabat di Anbar secara terbuka menyatakan bahwa siapa pun yang ingin bergabung dengan protes anti-pemerintah harus melakukannya di Baghdad, mereka telah mengawasi para aktivis.
“Aktivis lokal telah tenang dan pertemuan besar tidak diperbolehkan di sini,” katanya.
“Halaman aktivis media sosial sedang dipantau, dan siapa pun yang secara terbuka menyatakan dukungan untuk protes ini dapat dikenakan penangkapan.”
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Kawthar Muhammadi mengatakan, sebagian besar aktivis tidak mau mengambil risiko hadir secara fisik di tempat-tempat protes di Fallujah atau di Baghdad dan kota-kota lainnya.
“Meskipun ada beberapa aktivis dari Fallujah yang hadir di Tahrir Square, mereka tahu untuk tidak menonjolkan diri dan tidak mengatakan dari mana mereka berasal atau difoto,” katanya.
Jika tidak, tambahnya, pasukan keamanan akan cepat menggunakan seseorang dari Anbar sebagai kambing hitam dan menyalahkan mereka karena mengganggu protes dan menyebabkan kekerasan.
“Kami tidak ingin mengambil risiko kekacauan”
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
“Protes belum menyebar di sini karena kami tidak melupakan apa yang terjadi terakhir kali kami melakukan demonstrasi massal,” kata Ibrahim Abushahd, pemilik toko makanan, kepada Al Jazeera. “Kami melihat kengerian yang belum pernah dilihat orang sebelumnya.”
“Itulah mengapa kami puas dengan realitas kami saat ini, meskipun ekonomi lambat dan terhenti dalam pembangunan kembali, dan berharap yang terbaik bagi saudara-saudara kami yang melakukan protes di kota-kota lain,” tambahnya.
Omar, seorang tukang daging di pasar lama Fallujah, senada dengan itu.
“Protes mengarah pada mengguncang status quo,” katanya. “Kami akhirnya hidup dalam realitas yang stabil untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, jadi kami tidak ingin mengambil risiko kehilangan itu karena kekacauan.”
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu
“Hidup sekarang sangat baik dibandingkan sebelumnya,” katanya. “Keamanan stabil, kami memiliki makanan di meja setiap malam, dan yang bisa kami lakukan hanyalah harapan untuk masa depan yang lebih baik.”
Salam Turki, seorang mahasiswa, berpikir tidak akan ada hasil yang keluar dari gerakan protes. “Sudah empat bulan,” katanya.
“Saya tidak memiliki harapan bahwa pemerintah akan mendengarkan tuntutan para pengunjuk rasa, bahkan jika mereka sah. Kami telah memiliki banyak demonstrasi dan penindasan yang menyertainya,” tambahnya. (AT/RI-1/P1)
Baca Juga: RSIA Indonesia di Gaza, Mimpi Maemuna Center yang Perlahan Terwujud
Sumber: tulisan Linah Alsaafin di Al Jazeera
Mi’raj News Agency (MINA)