Tiga orang mahasiswa Kashmir, telah lebih dari tiga bulan di penjara karena merayakan kemenangan tim kriket Pakistan atas India.
Keluarga telah mengajukan banding untuk pembebasan mereka.
Arsheed Yousuf, Inayat Altaf dan Showkat Ahmad Ganai, semuanya berusia awal 20-an, ditangkap pada Oktober 2021 lalu atas tuduhan penghasutan di kota utara Agra, karena mengirim pesan WhatsApp “melawan negara” beberapa hari setelah Pakistan mengalahkan India dalam pertandingan kriket Piala Dunia T20 di Uni Emirat Arab.
Keluarga mereka yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, berjuang untuk menyelamatkan mereka.
Baca Juga: ICC Perintahkan Tangkap Netanyahu, Yordania: Siap Laksanakan
“Anak saya hanya menyukai kriket. Dia tidak pernah tertarik pada hal lain seperti politik. Dia selalu memperhatikan pelajaran dan permainannya,” kata ibu Inayat, Waheeda, dari distrik Budgam Kashmir yang dikelola India.
“Kami mengetahui dari media sosial pada 27 Oktober tahun lalu tentang penangkapannya atas unggahan pertandingan kriket. Kami tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kami telah mengajukan ratusan permohonan kepada pemerintah untuk menganggap mereka milik Anda dan memaafkan mereka,” kata Waheeda di rumahnya di desa Doniwara.
Waheeda mengatakan, suaminya cacat dan bekerja sebagai tukang kayu untuk menjamin pendidikan anak-anaknya.
Kekalahan India juga memicu serangan terhadap puluhan mahasiswa Kashmir di negara bagian Punjab barat.
Baca Juga: Iran dan Arab Saudi Tegaskan Komitmen Perkuat Hubungan di Bawah Mediasi Tiongkok
Ketua Menteri Uttar Pradesh Yogi Adityanath – yang dikenal dengan fanatisme anti-Muslim – telah memperingatkan undang-undang hasutan akan diterapkan terhadap orang-orang yang merayakan kemenangan tim kriket Pakistan melawan India.
Ketiga mahasiswa tersebut terdaftar di Raja Balwant Singh Engineering College di Agra, di Negara Bagian Uttar Pradesh di bawah program beasiswa khusus yang ditujukan untuk siswa dari wilayah yang dilanda konflik.
Mereka telah didakwa dengan “terorisme dunia maya, hasutan, mempromosikan permusuhan antara kelompok-kelompok yang berbeda, dan membuat pernyataan yang mungkin menimbulkan kekhawatiran bagi publik.”
Mereka menghadapi kerumunan yang bermusuhan di luar pengadilan di Agra di mana mereka dicemooh. Pengacara di kota itu menolak untuk mewakili mereka. Akhirnya, seorang pengacara dari distrik tetangga Mathura mengambil kasus mereka.
Baca Juga: Kemlu Yordania: Pengeboman Sekolah UNRWA Pelanggaran terhadap Hukum Internasional
Sidang jaminan mereka telah ditunda setidaknya delapan kali, kata keluarga. Mereka telah mengajukan banding kepada pemerintah Uttar Pradesh untuk membatalkan kasus terhadap mereka dan “memaafkan kesalahan mereka”.
‘Anakku adalah harapanku’Di desa Checkpora di distrik Budgam Kashmir tengah, Haneefa telah menunggu pembebasan putranya Arsheed.
Suami Haneefa adalah seorang buruh, tetapi telah meninggal dalam kecelakaan dua dekade lalu ketika anak-anaknya masih sangat kecil. Sebagai orang tua tunggal, Haneefa melakukan pekerjaan sambilan, seperti mencuci piring untuk orang lain, membersihkan kotoran sapi, dan bekerja di dapur dan kebun demi mendidik ketiga anaknya, terutama putranya yang merupakan seorang siswa yang cerdas.
Baca Juga: Parlemen Arab Minta Dunia Internasional Terus Beri Dukungan untuk Palestina
Tanpa sumber pendapatan dan penangkapan putranya bermil-mil jauhnya dari rumah, di kota asing, Haneefa yang tinggal di rumah satu kamar dengan dua putrinya, merasa tidak berdaya.
“Selama bertahun-tahun saya hidup dalam kemiskinan yang ekstrem. Saya tidak bisa menjelaskannya,” kata Haneefa, seorang wanita lemah berusia 40-an, kepada Al Jazeera.
“Beberapa malam saya tidur dengan perut kosong. Putri sulung saya harus putus sekolah tahun lalu karena saya tidak mampu membayarnya. Anakku adalah harapanku. Saya pikir dia akan menyelesaikan studinya dan mendapatkan pekerjaan yang baik dan berbagi beban saya,” tambahnya.
Dipenjara jauh darinya berarti beban tambahan bagi keluarga untuk menyewa pengacara dan membayar kunjungan ke penjara.
Baca Juga: Ribuan Warga Yordania Tolak Pembubaran UNRWA
“Saya bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan tidak mungkin bagi saya untuk membayar itu. Para tetanggalah yang mengumpulkan uang dan ipar saya bisa pergi menemui anak saya. Kami hanya memohon kepada pemerintah untuk mengampuni anak-anak kami dan membebaskan mereka,” katanya.
Di rumah siswa ketiga, Showkat Ahmad Ganai, di desa Shahgund di distrik Bandipora Kashmir utara, orangtua dan dua saudara perempuannya yang sudah berumur juga putus asa.
Muhammad Shaban Ganai (60) adalah buruh harian lepas. Keluarga itu harus menjual sapi mereka dan meminjam uang uang kredit untuk melawan kasus tersebut.
“Seolah-olah sebuah gunung telah menimpa kami. Kami tampaknya kehilangan harapan atas jaminan anak kami,” kata Ganai. (AT/RI-1/P1)
Baca Juga: Wasekjen MUI Ingatkan Generasi Muda Islam Tak Ikuti Paham Agnostik
Sumber: Al Jazeera
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Iran: Referendum Nasional Satu-satunya Solusi Demokratis bagi Palestina