Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tindakan Anti-Muslim di Xinjiang

Ali Farkhan Tsani - Rabu, 26 Desember 2018 - 13:26 WIB

Rabu, 26 Desember 2018 - 13:26 WIB

9 Views


Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)

Kongres Uyghur Dunia (WUC) berbasis di Munich, Jerman, memberikan laporan akhir tahun 2018, yang menyebutkan tindakan-tindakan anti-Muslim semakin meluas di wilayah otonomi Xinjiang di Cina

Otoritas beralasan, upayanya adalah untuk mengendalikan kemungkinan kerusuhan etnis, separatisme, dan “terorisme” di sepanjang perbatasan Cina.

Beijing telah menempatkan semakin banyak orang di bawah pengawasan yang lebih ketat dan meningkatnya penindasan. Langkah-langkah keamanan paling ketat telah diterapkan di Xinjiang.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Sejak menjabat pada Agustus 2016, sekretaris partai di Xinjiang, Chen Quanguo, telah mengawasi perombakan besar-besaran terhadap aparat pengawasan yang sebelumnya sudah represif di wilayah tersebut.

“Langkah-langkah kontrol telah menghasilkan perasaan bahwa Xinjiang selatan telah menjadi penjara terbuka,” kata Darren Byler, seorang antropolog di University of Washington, yang telah melakukan survei lapangan di wilayah tersebut, seperti dikutip dalam Financial Times.

Situasi semakin memburuk sejak 2017, ketika otoritas di beberapa bagian wilayah Xinjiang melarang orang tua memberikan nama Islam yang baru lahir, termasuk melarang nama Mohammed.

Para mahasiswa Muslim Uyghur yang kuliah di negara-negara Muslim pun telah ditarik ke Tiongkok dan ditahan pada saat kedatangan di bandara.

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Kebanyakan warga Uyghur disita paspornya tahun lalu, untuk mencegah mereka meninggalkan Tiongkok. Bahkan perjalanan di dalam negeri oleh Uyghur pun menjadi sangat terkontrol.

Menurut Financial Times, langkah-langkah keamanan baru di wilayah Xinjiang semakin terlihat dengan dibuatnya 7.300 pos polisi dan stasiun pemantauan untuk memungkinkan pasukan keamanan bereaksi dalam hitungan detik.

Pos terdepan ini dilengkapi dengan pengeras suara untuyk memberikan aba-aba, sementara penjaga bersenjata berdiri di luar pos.

Kehadiran polisi yang meningkat jumlahnya bukanlah satu-satunya alat yang digunakan oleh otoritas Tiongkok. Teknologi Informasi (IT) juga memainkan peran yang semakin penting dalam langkah represif Tiongkok.

Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin

Sejak 2017, penduduk Xinjiang telah diminta oleh pemerintah setempat untuk mengunduh aplikasi seluler bernama Jingwangweishi, atau “prajurit pembersih website untuk membersihkan sampah dari ponsel Anda.”

Namun, kemudian baru diketahui, oleh Avram Meitner, seorang peneliti keamanan independen, yang menemukan perangkat lunak itu dapat memindai sidik jari digital ke file pemerintah, dan untuk memberi tahu pihak berwenang ketika mengidentifikasi mereka.

Tindakan represif yang jauh lebih menyeramkan oleh pemerintah Cina adalah adanya upaya pemusnahan massal sekitar 1 juta warga Uyghur, Kazakh, dan minoritas lainnya yang ditahan secara sewenang-wenang dalam tahanan yang mereka sebut dengan “transformasi melalui kamp pendidikan” di Xinjiang, menurut perkiraan oleh panel PBB.

The Associated Press melaporkan bahwa mantan tahanan mengatakan, mereka dipaksa untuk mengingkari kepercayaan Islam mereka di kamp-kamp tersebut. Sementara anak-anak tahanan ditempatkan di puluhan “panti asuhan” di seluruh wilayah.

Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa

Pada bulan Oktober tahun ini, Cina mencoba untuk mempertahankan penahanan di luar hukumnya terhadap minoritas Muslim Asia Tengah terhadap kritik Barat.

Cina mengeluarkan laporan yang menandai langkah itu sebagai upaya untuk membawa “orang-orang miskin, yang mudah disesatkan, ke dalam dunia beradab modern”.

Laporan Kantor Berita Xinhua menunjukkan bahwa langkah itu sejalan dengan visi Partai Komunis di Xinjiang tentang apa yang mereka sebut dengan “asimilasi etnis minoritas Asia Tengah asli ke dalam masyarakat Han Cina”.

Gubernur Xinjiang Shohrat Zakir, yang juga seorang etnis Uyghur, mengatakan pihak berwenang memberi warga pelajaran bahasa Mandarin, sejarah dan hukum Tiongkok.

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

Pelatihan semacam itu akan menjauhkan mereka dari ekstremisme dan menuju jalan menuju “kehidupan modern” di mana mereka akan merasa “yakin akan masa depan,” katanya.

Namun, Amnesty International menyebut laporan Xinhua sebagai penghinaan terhadap tahanan dan keluarga orang-orang yang hilang dalam tindakan keras tersebut.

“Tidak ada yang dapat menyembunyikan fakta bahwa pihak berwenang Cina melakukan kampanye penindasan sistematis,” kata kelompok hak asasi manusia itu.

Amnesty International yang menyatakan bahwa kenyataannya adalah bahwa “transformasi melalui kamp pendidikan” massa yang digunakan untuk menahan Uyghur dan minoritas Muslim lainnya di China dijalankan seperti “kamp konsentrasi masa perang.”

Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital

Jika Itu Terjadi

Tiongkok menanggapi terutama reaksi demo umat Islam Indonesia khususnya, dan pertanyaan Pemerintah Indonesia tentang dugaan pelecehan terhadap Muslim Xinjiang.

Seperti disebutkan The Jakarta Post, pada edisi 20 Desember, Kedubes Cina telah menanggapi pertanyaan Indonesia tentang dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap Muslim Uighur di Xinjiang, dengan mengatakan bahwa Beijing menjamin kebebasan beragama semua warga negaranya, termasuk warga Uighur.

Seorang juru bicara Kedutaan Besar China di Jakarta mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa “Cina adalah negara dengan banyak kelompok etnis dan agama”.

Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!

“Sebagaimana ditentukan dalam Konstitusi, semua warga negara Tiongkok menikmati kebebasan berkeyakinan beragama,” kata pernyataan itu.

Pernyataan itu mengatakan bahwa pemerintah Cina menghadapi ancaman ekstremisme agama di Xinjiang, yang merupakan rumah bagi sekitar 14 juta Muslim. Beberapa penduduk Xinjiang, katanya, telah berjuang untuk mendapatkan pekerjaan karena kemampuan bahasa mereka yang buruk dan kurangnya keterampilan.

“Ini membuat mereka rentan terhadap dorongan dan paksaan terorisme dan ekstremisme,” katanya.

“Mengingat situasi ini, Xinjiang telah mendirikan lembaga pelatihan kejuruan profesional sebagai platform, menyediakan kursus tentang bahasa umum Tiongkok, pengetahuan hukum, keterampilan kejuruan, bersama dengan pendidikan deradikalisasi bagi warga yang dipengaruhi oleh ide-ide ekstremis,” lanjutnya.

Baca Juga: Indonesia, Pohon Palma, dan Kemakmuran Negara OKI

Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri mengatakan telah memanggil Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian pada hari Senin (24/12) untuk menyampaikan keprihatinan umat Islam Indonesia tentang nasib umat Islam Uighur di Xinjiang.

“Kementerian Luar Negeri menekankan bahwa sesuai dengan deklarasi universal hak asasi manusia, kebebasan beragama dan kepercayaan adalah hak asasi manusia dan itu adalah tanggung jawab semua negara untuk menghormatinya,” kata juru bicara kementerian Arrmanatha Nasir kepada wartawan.

Dia mengatakan Xiao Qian menyampaikan komitmen Cina untuk melindungi hak asasi manusia. Selain itu, duta besar mengatakan sangat penting bagi masyarakat Indonesia untuk mengetahui kondisi warga Uighur di wilayah otonom Xinjiang.

“Meskipun ini adalah masalah dalam negeri, Kementerian Luar Negeri mencatat niat kedutaan untuk memperluas komunikasi dengan berbagai kelompok masyarakat sipil untuk menyampaikan informasi tentang kondisi masyarakat Uighur.”

Baca Juga: Kemenangan Trump dan Harapan Komunitas Muslim Amerika

Ketua Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan jika laporan itu benar, maka Cina telah melanggar hak asasi manusia universal, dan organisasinya siap untuk memobilisasi dukungan kemanusiaan dan material untuk perdamaian di Xinjiang, terutama untuk masyarakat Uighur.

“Tidak adanya tindakan pemerintah Cina dikhawatirkan akan melukai hubungan diplomatik antara Indonesia dan Cina, dan hubungan baik yang telah dimiliki rakyat kami selama berabad-abad,” kata Haedar seperti dikutip Antara.

Ketua Dewan Penasehat Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan mantan ketua Muhammadiyah, Prof. Dr. Din Syamsuddin, mengatakan bahwa jika benar terjadi, maka tindakan keras itu merupakan pelanggaran langsung terhadap hak asasi manusia, dan menuntut agar pemerintah Indonesia mengambil tindakan tegas untuk melakukan advokasi bagi masyarakat Uighur.

Sejalan dengan itu, Jama’ah Muslimin (Hizbullah), dalam pernyataannya, yang juga disampaikan dalam aksi di depan Kedubes Cina di Jakarta pada Jumat (22/12), mengecam keras tindakan Cina yang memperlakukan umat Islam Uighur di luar batas perikemanusiaan, bertentangan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), melukai perasaan umat Islam dan dunia internasional serta mengancam stabilitas dan perdamaian dunia.

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-6] Tentang Halal dan Haram

Jama’ah Muslimin (Hizbullah) juga mendesak Pemerintah Cina segera menghentikan penindasan terhadap etnis Uighur, memberikan jaminan hak hidup, kemerdekaan dan keamanan, diakui kepribadiannya dan jaminan untuk memeluk agama sesuai dengan prinsip-prinsip Universal Declaration of Human Rights yang dijunjung tinggi bangsa-bangsa beradab. (A/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Dunia Islam
Internasional
Internasional