Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

TRAGEDI WTC DAN DAKWAH DI AS

Rana Setiawan - Ahad, 14 September 2014 - 04:49 WIB

Ahad, 14 September 2014 - 04:49 WIB

1346 Views

Syamsi Ali Al-Kajangi
Imam Shmsi Ali. (Foto: Arsip)

Imam Shamsi Ali. (Foto: Arsip)

Oleh: Imam Shamsi Ali*

Masih terngiang di benak pagi hari itu. Selasa pagi, 11 September 2001, di saat saya berada di gedung kantor perwakilan RI untuk PBB (PTRI) New York tiba-tiba diumumkan bahwa semua staf harus meninggalkan gedung dan kembali ke rumah karena ada serangan teroris di Kota New York.

Beberapa saat sebelum sampai di gedung kantor itu, saya sempat terhenti menyaksikan sebuah layar TV di sebuah bank di persimpangan jalan 39 dan 3 Avenue. Di sana memang saya menyaksikan gedung kedua ditabrak sebuah pesawat dan lambat laun gedung itu yang pertama runtuh menjadi debu-debu beterbangan ke langit. Saat itu juga saya tidak mampu membayangkan bagaimana nasib orang-orang yang sudah berada di gedung itu.

Semua transtportasi umum terhenti. Kota New York seperti kota mati. Yang terdengar adalah teriakan dan suara ambulan dan pemadam kebakaran yang meraung-raung. Saya bersama beberapa rekan sekantor berjalan ke arah atas kota Manhattan dari jalan 38 menelusuri Avenue 2 hingga kira-kira dua blok sebelum memasuki jembatan Queens Borough (Queens Borough Bridge), ada sebuah mobil melintas dan saya tahan. Rupanya kendaraan pribadi yang dikendarai oleh seorang pemuda Hispanic.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Saya dipersilahkan memasuki mobil itu karena memang sedang mengarah ke tempat tujuan yang sama.  Kami semua terdiam. Tapi tiba-tiba sang sopir itu membuka mulut dan mencaci maki Islam dan pemeluknya. Saya yag terduduk di belakangnya hanya terdiam, serasa lidah membeku untuk merespon cacian itu. Hati dan pikiran juga berkecamuk antara kekhawatiran, tapi juga ada rasa marah. Marah karena kota tempat tinggal kami diserang, tapi juga marah karena tiba-tiba agama kami menjadi kambing hitam serangan teroris itu.

Perjalanan antara Manhattan dan rumah saya di Astoria sangat dekat. Hanya saja terasa begitu lama karena sepanjang jalan itu berbagai cacian dan kutukan keluar dari mulut orang tersebut. Sesampai di depan rumah, saya dijemput oleh tetangga yang telah lama bersahabat. Seorang katolik keturunan Irlandia datang memeluk dan menangis seraya berkata: “I don’t believe this to happen”. Saya Tanya: “What do you mean?” Dia jawab: “You are a Muslim, right?”. Saya jawab: “Yes, I am”.

Beliau masih menangis dan menatap saya sambil berkata: “Tidak mungkin kalau Muslim itu seperti Anda akan melakukan ini. Tidak mungkin Muslim akan melakukan seperti ini. Atau Anda yang berpura-pura seorang Muslim?”

Kami berpisah tanpa berkata-kata. Hari itu adalah hari yang penuh tekanan. Setiap saat televisi memberitakan bagaimana ada sebagian orang Islam di berbagai belahan dunia yang justeru bergembira dengan kejadian itu. Di satu sisi, saya menerima beberapa telepon kalau ada beberapa masjid yang dirusak atau minimal dicoret-coret dengan kata-kata kasar.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Dakwah di antara dua pintu kemungkinan

Di saat-saat yang mungkin bisa saya katakan “mencekam” itu, komunitas Muslim juga terbagi dalam dua kelompok. Kelompok yang dipenuhi oleh keraguan dan pesismisme dan kelompok yang penuh dengan keyakinan dan optimisme. Kelompok pertama melihat bahwa serangan 9/11 ini adalah kematian dakwah itu sendiri. Komunitas Muslim di Barat, Amerika khususnya, mengalami kematian dan tidak ada lagi kemungkinan untuk bangkit.

Tapi kelompok kedua sebaliknya melihat bahwa 9/11 sesungguhnya adalah awal dari momentum kebangkitan dakwah Islamiyah di Barat dan Amerika khususnya. Saya termasuk ke dalam golongan kedua ini.

Di satu sisi media sungguh luar biasa dalam membentuk opini masyarakat dunia, bahwa seolah-seolah memang Islam dan umat Islamlah yang harus bertanggung jawab terhadap serangan ini. Masyarakat Amerika seketika terjatuh ke dalam buaian media sehingga sentuhan emosi menjadikan Amerika begitu marah kepada Islam dan pemeluknya.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Empat hari setelah peristiwa itu, saya diminta oleh kantor walikota untuk mewakili komunitas Muslim meyambut kedatangan presiden Amerika Serikat (AS), George W. Bush, ke lokasi reruntuhan World Trade Center (WTC) – yang kemudian lebih dikenal dengan Ground Zero.  Hari itu adalah hari yang sangat bersejarah sekaligus mendebarkan. Pasalnya  semua pimpinan agama mendapat kesempatan bersalam dan menyampaikan belasungkawa kepada Presiden AS. Di saat giliran saya tiba, saya sampaikan dua hal kepada presiden Bush. Satu, bahwa Tuhan itu akan selalu menyertai kebenaran dan keadilan. Dua, meminta kepada presiden untuk memberikan statement public bahwa serangan 9/11 tidak ada hubungannya dengan agama dan komunitas kami (Islam).

Presiden Bush ternyata baik hati dan keesokan harinya, Sabtu 15 September 2001, beliau ke Islamic Center di Washington DC dan memberikan pernyataan kira-kira bunyinya: “Islam adalah agama damai yang dipeluk oleh 1,4 miliar manusia di dunia, walau pun ada orang-orang Islam yang tidak damai”.

Apa pun itu, yang pasti beberapa hari kemudian saya diminta kembali mewakili komunitas Muslim dalam perhelatan besar Kota New York yang dinamai “Pray for America”. Saya diminta untuk memilih dari tiga hal: berdoa, menyampaikan pernyataan singkat, atau membaca Kitab Suci (tentu Al-Qur’an untuk kita). Di acara inilah saya marasa awal partisipasi luas itu. Terjadi networking yang luar biasa. Saya bertemu selain pimpinan agama Kristen, juga Yahudi yang selama ini saya persepsikan dengan generalized perception (generalisasi persepsi) sebagai sumber kejahatan dunia.

Singkat cerita, pemahaman saya bahwa 9/11 itu, apa pun rahasia di balik dari semua yang lahir dan boleh jadi di luar jangkauan saya, ternyata adalah awal dari kebangkitan dakwah Islam di AS. Tidak berlebihan barangkali kalau saya katakan: “orang-orang Amerika berbondong-bondong mencari tahu tentang Islam yang sesungguhnya dan pada akhirnya banyak juga yang kemudian menemukannya sebagai pedoman hidupnya”.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Pembangunan fondasi dakwah di AS

Pertanyaannya adalah apa rahasia di balik 9/11 sebagai awal momentum kebangkitan dakwah? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, salah satu karakteristik orang-orang Amerika adalah keterbukaan dan rasa ingin tahu (curiosity) yang tinggi. Maka ketika Islam diekspos dengan seluas-luasnya oleh media khususnya, orang-orang Amerika membuka mata dan mencari tentang agama yang dianggap dahsyat itu. Walau pun memang awalnya kata dahsyat ini berkonotasi negatif karena dianggap dahsyat melakukan serangan terorisme (9/11) AS.

Kedua, berbagai perlakukan yang kurang baik kepada komunitas Muslim pasca 9/11 menjadikan komunitas Muslim sadar bahwa sudah bukan waktunya lagi berpangku tangan dan menunggu nasib. Harus ada usaha-usaha sistimatis dan merespon sikap negatif yang ada karena serangan itu. Oleh karena itu, terjadi kesadaran besar dari kalangan umat Islam untuk melakukan apa yang biasa disebut dengan “out-reach programs”.

Saya sendiri secara kebetulan diminta menjadi asisten Imam di Islamic Center New York. Ketika memulai posisi itu ada tiga program utama yang saya lakukan, yaitu membangun komunikasi dekat dengan pemerintah setempat, membangun dialog yang intens dengan masyarakat agama-agama lain, dan membuka kelas khusus yang dinamai Islamic forum for non Muslims.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Ketiga program ini ternyatamenjadi kunci perjalanan dakwah yang solid di kemudian hari. Hubungan yang baik dengan pemerintah setempat mengubah penglihatan pemerintah kota khususnya, termasuk kepolisian, dari pandangan yang penuh kecurigaan menjadi pandangan yang kurang mencurigakan (kecurigaan itu masih saja ada).

Hubungan dengan komunitas agama-agama lain ternyata luar biasa poisitif “outcome”nya. Di mana dari dialog-dialog yang kita bangun itu menjadikan banyak pimpinan agama lain yang justeru membela Islam dan komunitas Muslim di saat Islamophobia semakin menguat. Jangan heran misalnya kalau coretan-coretan buruk tentang Islam di stasion kereta bawah tanah direspon bukan oleh orang Islam, tapi Kristen bahkan Yahudi.

Sementara kelas khusus untuk non Muslim itu sama sekali tidak dimaksudkan mengislamkan karena memang sadar bahwa tidak seorang pun yang akan mampu mengislamkan siapapun. Yang bisa mengislamkan manusia itu adalah pencipta-Nya. Tujuan kelas tersebut tidak lain untuk mengadakan ruang bagi teman-teman non Muslim guna datang dan mengklarifikasi apa saja mengenai Islam yang ketika itu disalah-pahami secara luar biasa.

Dakwah dengan Kasih Sayang

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Apa pun itu kata orang, baik Muslim mau pun non Muslim, Islam di Amerika memang berkembang dengan sangat pesat. Diperkirakan sekitar 20.000 hingga 40.000 orang Amerika memeluk Islam setiap tahunnya. Yang paling menggembirakan adalah kualitas Muslim semakin meningkat karena komunitas Muslim memasuki generasi kedua yang memang “American educated” dan masuknya ke agama ini orang-orang Amerika yang muda, terdidik dan profesional. Sehingga orang-orang Islam di AS telah masuk dan memberikan kontribusi kepada negara ini hampir di semua lini kehiduapan.

Namun satu kata penutup adalah pengalaman mengajarkan bahwa tidak ada dakwah yang paling efektif lebih dari dakwah yang mengedepankan “rahmah” (kasih sayang). Dakwah yang tidak dibangun di atas permusuhan dan kemarahan, apalagi perilaku kasar dan pengrusakan. Dakwah yang melihat orang lain dengan pandangan cinta dan kasih karena memang ingin berjalan masuk ke dalam syurga bersama mereka.

Saya ingin menutup dengan cerita ini. Suatu ketika ada seorang lelaki muda yang datang ke kelas saya. Dia tinggi besar, rambut agak gondrong dan tampak marah. Dia duduk di bagian sudut ruangan tanpa melihat ke arah saya, tapi memperhatikan semua peserta di kelas itu dan juga beberapa gambar kaligrafi di dinding ruangan itu.

Setelah penjelasan saya selesai mengenai sebuah subyek tentang Islam, dia langsung berkata dengan suara keras sambil mencaci maki Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Semua peserta terkejut bahkan tampak ada yang ketakutan karena disangkanya saya akan merespon dengan kemarahan pula.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Melihat itu saya kemudian menarik napas, lalu membangun imajinasi. Kalau saja Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika itu hadir, dan mendengarkan cacian orang tersebut, kira-kira apakah beliau akan menonjok atau minimal merespon dengan kata-kata hinaan? Saya mencoba menelusuri kembali pelajaran sejarah Rasul, ingin menemukan sesuatu di mana Rasul merespon kepada mereka yang pernah menghinanya sebagai “Saahirun, kadzazdabun dan majnun” (ahli sihir, pendusta dan orang gila).

Ternyata tidak saya temukan satu kali pun di mana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah merespon penentang kebenaran dengan kata-kata kasar, apalagi aksi yang merusak. Saya pun merasa malu dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dalam hati saya berkata: Siapakah saya ini yang harus berkata kasar kepada orang? Saya bukan siapa-siapa, seorang Rasul saja dihina tidak merespon dengan cara yang buruk.

Saya pun teringat bahwa ternyata memang Al-Qur’an mengingatkan: “responlah dengan cara yang lebih baik”. Seolah saya diingatkan bahwa merespon sesuatu yang buruk atau jahat dengan cara yang sama berarti merendahkan diri ke posisi mereka yang rendah itu.

Oleh karenanya saya tersenyum kepada orang tadi bahkan mengucapkan terima kasih telah hadir di kelas saya. Beberapa peserta lainnya kemudian menghargai itu dan karena sikap itulah yang menjadikan orang tadi datang lagi. Kini tidak lagi mengutuk dan mengina tapi untuk belajar Islam dengan sungguh-sungguh. Enam bulan kemudian dia bertekuk lutut di hadapan kebenaran Ilahi.

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Saya mengakhiri hal ini untuk mengingatkan kita semua bahwa saya tidak perlu khawatir kalau ada non Muslim yang tidak senang dan bahkan membenci agama ini. Saya tidak khawatir karena Umar pun bisa luluh hatinya di saat hidayah menembus relung jiwanya. Justeru yang saya khawatirkan adalah ketika umat ini karena prilaku-prilakunya yang jauh dari nilai-nilai tinggi akhlakul karimah, menjadikan keindahan Islam tertutupi dan tidak nampak kepada manusia sekeliling.

Benar kata seorang ulama besar: “bahwa boleh jadi justeru Islam itu tertutupi oleh prilaku umatnya”. Semoga tidak! (ISA/R05/R01)

New York, 11 September 2014.

* Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation & Direktur Jamaica Muslim Center, Queens-NYC, sebuah yayasan dan masjid di kawasan timurKota  New York, Amerika Serikat yang dikelola komunitas muslim asal Asia Selatan. Beliau juga aktif dalam kegiatan dakwah Islam dan komunikasi antar-agama di Amerika Serikat terutama di kawasan pantai timur Amerika

Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin

Rekomendasi untuk Anda

Khadijah
Palestina
Kolom
Internasional
MINA Health