Masa lalu bukanlah penentu masa depan, dan Mardi adalah buktinya. Pria kelahiran Solo pada 20 Maret 1973 ini menjalani kehidupan yang kelam selama bertahun-tahun. Seperti kupu-kupu yang bermetamorfosis, Mardi berubah dari seorang preman menjadi pendukung Jama’ah Muslimin (Hizbullah), khususnya di bidang Ukhuwah (Keamanan).
Perjalanan itu dimulai sejak ia duduk di bangku SMP Tunas, ketika Mardi masih remaja. Seperti kebanyakan remaja, ia dipenuhi rasa ingin tahu dan mudah terpengaruh oleh lingkungan negatif. Seringkali, Mardi terlibat tawuran, jarang pulang, hingga akhirnya membentuk geng dan pergi ke dukun untuk mendapatkan kekebalan. Uang sekolahnya bahkan dipakai untuk membayar dukun demi memenuhi ego remajanya. “Bahkan saat SMP, saya sering dipanggil guru BP dan psikolog dari UGM karena saya siswa yang paling bermasalah,” kenangnya.
Setelah lulus, orang tua Mardi tidak ingin melanjutkannya ke SMA, tetapi Mardi bersikeras. Akhirnya, ia masuk SMA Muhammadiyah dengan harapan bisa belajar tentang agama. Namun, harapan itu tidak terwujud karena Mardi tetap melakukan hal-hal negatif. Bersama gengnya, ia terlibat dalam ritual sumpah darah sebagai tanda kesetiaan, yang semakin menjerumuskannya dalam kehidupan yang gelap.
Meski begitu, guru-gurunya masih menaruh harapan padanya kelak akan berubah. Mardi sebenarnya siswa yang pintar dan masuk sepuluh besar. Bahkan, ia sempat ditawari menjadi ketua OSIS, tetapi menolak dan memilih menjadi wakil ketua OSIS sekaligus ketua kelas. Guru-gurunya berharap dengan begitu Mardi belajar tanggung jawab dan berubah menjadi lebih baik.
Baca Juga: Kisah Muchdir, Rela tak Kuliah Demi Merintis Kampung Muhajirun
Setelah itu, Mardi dan teman-temannya mulai aktif dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler, seperti Tapak Suci. Bahkan, pelatihnya menjadikannya asisten. “Waktu SMA, guru-guru sebenarnya mulai perhatian karena saya bisa masuk sepuluh besar, dan saya juga aktif di berbagai kegiatan salah satunya Tapak Suci,” kenangnya.
Merantau ke Ibukota
Setelah lulus SMA, Mardi ingin menjadi tentara, namun pergaulan buruk membuat impian itu kandas. Seperti tradisi orang Jawa yang suka merantau, Mardi pun berangkat ke Jakarta atas dorongan keluarga karena di kampung ia sering membuat masalah. “Saya lulus SMA pada tahun 1992, lalu merantau ke Jakarta atas dukungan orang tua karena sering bikin onar di rumah. Mereka meminta saya ikut kakak untuk mencari kerja,” jelasnya.
Pertama kali di Jakarta, Mardi tinggal di Jembatan Buah, Ciracas, tempat para perantau asal Jawa banyak berkumpul. Sebelum era reformasi, mencari pekerjaan di Jakarta cukup mudah, hanya perlu beberapa hari untuk mendapatkannya. Namun, Mardi tidak punya niat untuk bekerja dan hanya berkeluyuran tanpa tujuan yang jelas.
Baca Juga: Bashar Assad Akhir Rezim Suriah yang Berkuasa Separuh Abad
Setelah enam bulan di Jakarta, ia pindah ke Cileungsi, Bogor Timur. Di sana, perilakunya semakin buruk karena bergaul dengan kelompok jalanan. Ia terlibat dalam dunia gelap bersama geng-geng yang ada, berinteraksi dengan pemakai narkoba, dan polisi cepe. Bahkan, mereka sering nongkrong di fly over prapatan Cileungsi.
Akhirnya, Mardi tinggal bersama kakaknya, tetapi tak lama kemudian ia memutuskan untuk pindah dan mengontrak sendiri. Saat itu, ia sudah bekerja di PT. Indo Winer (sekarang Philips). Namun, bukannya memanfaatkan gaji untuk kebutuhan atau menabung, Mardi justru menghabiskan untuk mabuk-mabukan bersama gengnya. Baginya saat itu, uang habis bisa dicari lagi. Karena sering menentang atasan di pabrik, ia dan teman-temannya akhirnya dipecat setelah bekerja dalam waktu singkat.
Hidayah Itu Datang
Hidup seseorang tidak selamanya kelam. Selama masih hidup dan hati tetap terbuka, siapa pun bisa bertaubat, termasuk Mardi. Setelah berpindah-pindah kontrakan, ia akhirnya menetap di dekat Pondok Pesantren Al-Fatah Cileungsi, tempat ia mulai berinteraksi dengan santri-santri seperti Nasrullah dan Lidinillah. Padahal, saat itu ia masih dikenal sebagai tukang palak, pemabuk, dan berambut gondrong hingga sepinggang.
Baca Juga: Nama-nama Perempuan Pejuang Palestina
“Sampai ibu-ibu yang melihat saya lewat berpikir, ‘Wah, nanti malam rumah saya bisa kena rampok,’” katanya sambil tertawa. Nasrullah sering menceritakan kisah Umar bin Khaththab untuk memotivasi Mardi agar segera bertaubat dan meninggalkan kehidupan yang keras. Meski masih hidup seperti preman, Mardi mulai menunjukkan dukungannya pada acara-acara yang digelar pesantren, seperti turnamen bola. Inilah awal hidayah datang kepadanya.
Hidayah Allah bisa datang dengan berbagai cara, termasuk melalui sakit. Saat Mardi jatuh sakit, Nasrullah dan ayahnya, Ustaz Aji Muslim (alm), menjenguknya sambil membawa rantang berisi nasi dan telur dadar. Sejak itu, Mardi sering mendapat nasihat dari Ustaz Aji dan mulai menganggapnya seperti ayah sendiri, meskipun saat itu Mardi belum rajin menjalankan perintah agama.
Selang beberapa waktu kemudian, Mardi sering berkunjung ke Pondok Pesantren Al-Fatah, meski awalnya hanya datang malam hari karena malu dengan penampilannya yang berantakan. Seiring waktu, warga pesantren pun mulai mengenalnya. “Saya merasa malu ke masjid dengan penampilan urakan ini, apalagi rambut saya panjang sampai pinggang,” katanya mengenang.
Kedekatannya dengan Ustaz Aji semakin kuat, hingga suatu hari ia diajak ke Muhajirun, Lampung. Hidayah terus menyapa, dan pada tahun 1999, Mardi memutuskan hijrah total. Saat ditanya tentang jimat dan barang-barang kekebalan tubuh yang ia miliki, Mardi dengan ikhlas menyerahkannya. Ia mengaku memiliki banyak jimat untuk kekebalan tubuh, namun bersedia melepaskannya.
Baca Juga: Sosok Abu Mohammed al-Jawlani, Pemimpin Hayat Tahrir al-Sham
“Beberapa ilmu bisa hilang hanya dengan memakan pantangan seperti ketan hitam dan pisang mas, tapi ada juga yang tidak bisa dihilangkan, cukup dengan tidak menggunakannya lagi,” ujarnya sambil menunjukkan biji-biji besi yang masih ada di pembuluh darahnya.
Dianggap Sakti dan Menikah
Saat baru hijrah menuju kehidupan yang lebih baik, ada hal unik yang Mardi alami. Teman-teman lamanya justru menganggapnya semakin sakti karena tinggal di lingkungan pesantren. Hal ini mendorong Mardi untuk benar-benar memperbaiki diri. Ia bahkan berusaha menghilangkan tato di tubuhnya, yang dulu membuatnya dijuluki “Marditato”, dengan cara menyetrika kulitnya sendiri.
“Saya pernah mendengar hadits yang mengatakan bahwa air wudhu tidak meresap ke kulit yang bertato, sehingga saya merasa shalat saya tidak akan diterima. Karena itu, saya mencoba menghilangkannya dengan menyetrika tato saya. Ketika ustadz Aji tahu, beliau langsung memarahi saya karena menyakiti diri sendiri,” kenangnya sambil menunjukkan bekas luka di bahunya akibat bekas setrika.
Baca Juga: Abah Muhsin, Pendekar yang Bersumpah Jihad Melawan Komunis
Beberapa tahun kemudian, Mardi dikenalkan dengan seorang wanita dari Bekasi oleh Ustadz Salam, yang akhirnya menjadi istrinya. Kini, mereka dikaruniai sepasang anak laki-laki dan perempuan: Distar Ichsan Prananda, dan Ganis Alyna Aura Irsyady.
“Saya sangat bersyukur kepada Allah. Tidak pernah terpikir saya bisa memiliki kehidupan seperti ini—tinggal di lingkungan pesantren, punya istri shalihah, dan dua anak. Saya jauh lebih bahagia dan tenang dibanding masa kelam dulu yang penuh kekosongan,” ucapnya sambil berkaca-kaca. Sekarang, hidupnya terasa lebih indah karena sedikit banyak bisa bermanfaat untuk orang lain.
Untuk terus menjadi pribadi yang bermanfaat, Mardi pun aktif di berbagai kegiatan sosial. Ia pernah menjadi bagian dari tim Ukhuwah Al-Fatah dan menjadi relawan di berbagai tempat bencana, seperti membantu korban gempa di Padang yang mempertemukannya dengan seorang mualaf mantan misionaris, dan menjadi relawan saat erupsi Gunung Merapi di Jogja beberapa tahun silam. Kini, ia aktif di Pondok Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor, sebagai pelatih Pramuka dan Paskibra dari tingkat MI hingga MA.
Inilah perjalanan hidup seorang yang dulu dikenal sebagai “Mardi Tato”. Kini, ia fokus untuk menggapai ridha Allah. “Dulu saya dikenal sebagai Mardi Tato, tapi sekarang saya berusaha keras menjadi orang yang mendapatkan ridha Allah (mardhotillah),” tuturnya penuh haru.
Baca Juga: Pangeran Diponegoro: Pemimpin Karismatik yang Menginspirasi Perjuangan Nusantara
Kehidupan memang penuh misteri. Seseorang yang dulunya penuh dosa bisa berubah menjadi sosok yang hidup di bawah naungan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Masa lalu bukanlah cermin masa depan, karena semua adalah rahasia Ilahi.[Arif Ramdan]
Mi’raj News Agency (MINA)