Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tuntunan I’tikaf

Zaenal Muttaqin - Sabtu, 10 Juni 2017 - 13:11 WIB

Sabtu, 10 Juni 2017 - 13:11 WIB

348 Views

Ilustrasi

Ilustrasi

Oleh: Zaenal Muttaqin, wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Di antara amalan sunnah yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam, khususnya di akhir-akhir Ramadhan adalah I’tikaf. Sebagai salah satu ibadah sunnah, I’tikaf memiliki banyak hikmah, diantaranya dapat menghidupkan hati untuk selalu melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Seseorang yang melakukan I’tikaf mendapat manfaat seperti dapat merenungi masa lalu dan memikirkan hal-hal yang akan dilakukan di hari esok. I’tikaf mendatangkan ketenangan, ketentraman dan cahaya yang menerangi hati yang banyak dosa.

Selain itu, I’tikaf dapat mendatangkan banyak kebaikan dari Allah, amalan-amalan akan diangkat dengan rahmat-Nya. Allah akan membebaskan dosa-dosa orang yang ber I’tikaf pada sepuluh hari terkahir akhir bulan Ramadhan karena pada hari-hari itu salah satunya bertepatan dengan lailatul qadar.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Arti I’tikaf

I’tikaf menurut bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan pengertian syar’i, i’tikaf artinya menetap di masjid dengan ketentuan yang khusus disertai dengan niat.

Hukum I’tikaf

Para ulama sepakat bahwa i’tikaf hukumnya sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Dalam hadits disebutkan:

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”. (HR Bukhori dari Abu Hurairoh).

Waktu i’tikaf yang lebih utama adalah pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana hadits.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.” (HR Bukhori dan Muslim, dari  ‘Aisyah).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar. Saat i’tikaf beliau banyak bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir.

Masjid Tempat untuk I’tikaf

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukan i’tikaf di masjid, dan tidak pernah di rumah. Karenanya para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid. Pengertian masjid ini adalah tempat dilaksanakan shalat lima waktu dan juga shalat Jumat.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Wanita Dibolehkan Beri’tikaf

Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf.  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.” (HR Bukhori).

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.” (HR. Bukhari dan  Muslim)

Meski wanita boleh beri’tikaf di masjid, para ulama mensyaratkan dua hal, yakni: (1) diizinkan oleh suami dan (2) tidak akan menimbulkan fitnah bagi laki-laki, karena itu wanita yang i’tikaf harus menutup aurat dengan sempurna serta tidak menggunakan wewangian.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Lamanya Waktu I’tikaf

Tidak ada berpedaan pendapat di kalangan ulama untuk batasan waktu lamanya i’tikaf. Perbedaan pendapat ada tentang waktu minimal untuk dapat dikatakan beri’tikaf.

Ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Namun ada yang membolehkan kurang dari sehari dan tetap disyaratkan puasa. I’tikaf sebenarnya tidak dipersyaratkan harus dengan berpuasa, hanya disunnahkan.

Menurut kebanyakan ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, yang berarti boleh dalam waktu sesaat di malam atau di siang hari. Bahkan Al Mardawi mengatakan, waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Pembatal I’tikaf

Keluar masjid (tempat i’tikaf) tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah dan mendesak. Bercampur dengan istri sebagaimana disebutkan dalam suar Al Baqarah ayat 187.

Dibolehkan Saat I’tikaf

Keluar dari masjid karena ada hajat yang harus ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan keperluan lain yang tidak dapat dilakukan di dalam masjid.

Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin

Melakukan hal-hal dibolehkan seperti mengantarkan tamu yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain. Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berduaan dengannya juga dibolehkan.

Waktu Mulai Masuk dan Keluar Masjid untuk I’tikaf

Apabila bermaksud untuk beri’tikaf selama 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, maka hendaknya mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke 21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari raya ‘Idul Fithri untuk menuju lapangan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.” (HR Bukhori).

Namun para ulama menganjurkan agar memasuki masjid saat menjelang matahari tenggelam pada hari ke 20 Ramadhan. Sebab, yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.

Anjuran Bagi Orang yang I’tkaf

Orang yang beri’tikaf hendaknya selalu menyibukkan diri dengan melakukan ibadah, seperti berdo’a, dzikir, membaca shalawat pada Nabi, membaca dan mengkaji Al Qur’an dan hadits. Dimakruhkan bagi orang yang beri’tikaf menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat. Wallahu a’lam bish showaab. (B05/RS3)

(Disarikan dari banyak sumber)

Mi’raj Ismalic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Khadijah
Indonesia
Internasional
Dunia Islam