Turki Bantu Bangun ‘Tembok Hijau Raksasa’ Afrika

Ankara, MINA – Turki menjadi salah satu penyumbang utama pembangunan “ ” (Great Green Wall) Afrika sebagai usaha mengatasi desertifikasi (degradasi lahan) dan kekeringan dengan memobilisasi penanaman pohon di benua itu.

“Tembok Hijau Raksasa” Afrika  yang diluncurkan pada 2007 oleh Uni Afrika  adalah sebuah gerakan besar-besaran menanam pohon yang akan mencakup lebih dari 20 negara di benua itu, melintasi beberapa negara. Demikian Daily Sabah melaporkan, Sabtu (22/6).

Turki yang sudah berpengalaman menangani kasus serupa di negaranya sendiri, menyumbang pengetahuan, pengalaman dan bantuan uang sebesar AS$ 3 juta untuk membangun tembok itu.

Turki juga akan menyiapkan panduan tentang kebijakan kehutanan yang lebih baik di negara-negara Afrika sebagai bagian dari proyek.

Kementerian Pertanian dan Kehutanan Turki bekerja sama dengan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dalam proyek ini. Kementerian dan FAO juga akan bekerja sama untuk meningkatkan 5.000 hektar lahan pertanian di tiga negara Afrika  yakni Eritrea, Mauritania dan Sudan.

Sementara itu  Moctar Sacande, koordinator untuk BRIDGES, mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa Turki adalah salah satu aktor penting dari proyek ini yang merupakan bagian dari inisiatif Great Green Wall.

Ia mengatakan Turki patut dicontoh dalam upayanya memerangi desertifikasi dan keahliannya di lapangan dapat berperan penting dalam membantu negara-negara lain yang menderita masalah yang sama.

Dalam perang melawan degradasi lahan atau hutan dan kehilangan tanah, Turki berhasil mengurangi kerugian dari 500 juta ton tanah subur setiap tahun menjadi 154 juta ton sejak tahun 1970-an karena semakin sedikit lahan yang terkena erosi.

Gagasan membangun Tembok Hijau Raksasa (Great Green Wall) Afrika bermula  tahun 1970-an ketika degradasi tanah di Sahel, wilayah subur di ujung selatan Sahara, kian tampak. Ruang hijau mulai memudar sejak itu, membahayakan mata pencaharian jutaan orang yang bergantung pada lahan yang sekarang menjadi kering dan tandus.

Perubahan iklim, lonjakan populasi dan praktik pengelolaan lahan merupakan pemicu krisis yang menyebabkan “lingkaran kemiskinan spiral” menurut situs web inisiatif tersebut. Degradasi lahan pada akhirnya menyebabkan kekurangan makanan dan air serta konflik atas sumber daya, peningkatan pengangguran dan migrasi paksa sejumlah besar orang dari negara-negara Sahel.

Gagasan Tembok Hijau Raksasa mengambil bentuk yang lebih konkret pada 1980-an ketika para pemimpin komunitas dan politik mencari cara untuk membuat lanskap yang terdegradasi menjadi hijau kembali, dari Senegal ke Djibouti.

Sacande mengatakan BRIDGES akan memakan waktu tiga tahun dan akan memperbarui kawasan hutan yang terdegradasi di tiga negara serta membantu dalam pengelolaan lahan dan budidaya berkelanjutan di negara-negara yang akan dibantu Turki tersebut.  (T/R11/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.