UEA Normalisasi Hubungan Dengan Israel

Oleh:Rifa Berliana Arifin, Kared Arab MINA

Uni Emirat Arab (UEA) secara lantang telah mengumumkan normalisasi hubungan dan mengakui kedaulatan Israel yang otomatis jalinan hubungan diplomatik antar kedua negara akan terbangun mulai tahun ini.

Meskipun dalam kasus Palestina – Israel tidak ada prinsip seperti halnya China yang memiliki “One China Policy” atau disebut sebagai Kebijakan Satu Cina yang bermakna jika ada negara yang mengakui kedaulatan China (RRC) maka negara tersebut tidak diperbolehkan mengakui kedaulatan Taiwan, kebijakan UAE tetap mendapat kecaman oleh negara- negara Islam dan Umat Islam di dunia karena kebijakan normalisasi Israel yang dilakukannya melukai perjuangan Umat Islam dan Pemerintah serta rakyat Palestina.

Tentu saja, kalau sudah berteman baik dengan Israel mana mungkin bisa berjuang untuk hak Palestina. Maka itulah sebabnya mayoritas negara Islam dan Arab memiliki kebijakan untuk tidak mengakui Israel sebagai negara sampai Israel mengembalikan hak-hak Palestina.

UEA memberikan pembenaran atas kebijakannya tersebut alih alih supaya Israel menunda rancangan aneksasi (annexation plan) yang telah Israel umumkan pada awal tahun 2020 yang isinya mencakup Tepi Barat milik Palestina secara “de jure” sesuai dengan Hukum Internasional, akan tetapi secara “de facto”, Palestina tidak menguasai sepenuhnya wilayah tersebut kecuali kota Jericho.

Partai-partai Zionis Israel berhaluan kanan seperti partai Yamina juga mengkritik Netanyahu karena tidak melaksanakan rencana aneksasi. Namun mereka bisa puas karena menjalin hubungan dengan negara Arab juga merupakan prestasi Netanyahu untuk Israel terlebih lagi memang Aneksasi Tepi Barat itu ditunda bukan dibatalkan.

UEA menjadi negara Arab ketiga yang mengakui Israel setelah Mesir tahun 1979 dan Yordania tahun 1994. Mesir mengakui Israel demi mendapatkan kembali Semenanjung Sinai yang direbut Israel dalam Perang Enam Hari pada tahun 1967.  Keputusan itu dikeluarkan oleh mendiang Presiden Anwar Sadat yang menyebabkan dirinya tewas di tangan anggota kelompok Jihad Islam Mesir anti-Israel.

Setelahnya disusul Yordania tahun 1994 melakukan hal yang sama dengan mengakui Israel dalam Perjanjian Oslo antara Israel dan Palestina.  Sebelumnya, Yordania pada tahun 1988 telah setuju untuk melepaskan kedaulatannya atas Tepi Barat yang direbut oleh Israel dalam Perang Enam Hari, tujuannya supaya Palestina memiliki wilayah dan dapat membangun kembali negaranya.

Itulah negara-negara Arab yang mengakui Israel sebagai sebuah negara. Apabila kita mau menghitung berapa negara mayoritas Muslim yang mengakui Israel maka Turki lah yang pertama sejak tahun.  Namun memang saat itu Turki merupakan negara sekuler dan tidak mengambil peran dan sikap atas kepentingan Palestina yang dianggap saat itu oleh Turki adalah masalah internal Arab.

Dan saat ini, ketika Erdogan dan partainya AKP mengambil alih Turki, mereka hanya menjadikan kepentingan pertahanan regional Muslim saja sebagai agenda, dan mulai panas bersitegang dengan Israel dalam beberapa hal diantaranya Yerusalem. Akan tetapi hal itu tidak sampai membuat Turki memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel sampai sekarang.

Dahulu di Teluk Persia sana, tahun 1950 di bawah kepemimpinan Shah Pahlevi, Iran mengakui Israel, Iran saat itu memang tidak terlalu peduli dengan urusan Islam. Shah adalah sekutu dekat Amerika Serikat. Setelah Shah dikudeta oleh Ayatullah Khomeini tahun 1979, Iran berubah wujud menjadi musuh bubuyutan Israel sampai sekarang.

Satu dari sebab mengapa UEA mengakui Israel juga masih terkait dengan Iran. Negara-negara Teluk Arab seperti Arab Saudi dan UEA telah lama menjadikan Iran sebagai ancaman utama.

Dikatakan bahwa “Musuh musuhku adalah temanku”, dasar kemitraan negara-negara tersebut yang memiliki “musuh bersama” yaitu Iran adalah hal yang menyebabkan menyatunya UEA dan Israel. Inilah yang juga dirancang Trump  yang membuat aliansi baru yakni Israel-Saudi-UEA-Mesir vs Iran.

Muncul pertanyaan, kenapa hanya UEA bukan Arab Saudi? Bukannya dua negara itu kakak beradik. Jawabannya ada dua kemungkinan.

Pertama, Arab Saudi menjaga nama baik dan citra legitimasinya, posisi UEA tidak sesensitif Arab Saudi yang menjadi kiblat Umat Islam dan “Khadimul Haramain” yakni penjaga dua kota suci Mekkah dan Madinah. Meskipun bukan lagi rahasia adanya hubungan Israel-Arab Saudi tapi selama Saudi tidak mengakui Israel secara resmi posisinya masih aman.

Kedua, Saudi dan UEA sebenarnya sudah beda jalan, misalnya pada perang saudara di Yaman kedua negara mendukung faksi yang berbeda. Maka bisa jadi UEA mengambil peluang ini untuk unggul dari Saudi membuktikan loyalitasnya kepada Amerika Serikat yang tentu sangat senang dengan langkah UEA ini terhadap Israel.

UEA ingin menunjukan sekaligus membuktikan bahwa dalam politik internasional, tiada teman yang kekal atau musuh yang abadi. Yang kekal dan abadi hanya kepentingan.

Israel tentu senang dengan perkembangan ini dan merupakan satu kejayaan demi terus mengukuhkan penjajahan mereka terhadap Palestina yang dimulai sejak tahun 1967.

Bagaimanapun ini adalah pukulan keras bagi Palestina, semoga negara-negara Teluk Arab lainnya sadar dan tidak mengikuti langkah UEA. (A/RA-1/P1)

Miraj News Agency (MINA)