Ulama atau Teknokrat ? (Oleh: Ahmad Zubaidi)

Oleh , Amir Majlis Tarbiyah Pusat Jama’ah Muslimin (Hizbullah)

إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673)

Era industry 4.0 memerlukan tenaga kerja trampil, ahli (teknokrat) di bidangnya dan jumlah memadai dengan perkembangan. Jika tidak , maka pemodal asing yang menanam modalnya dalam bentuk industri tentu mememerlukan tenaga ahli tersebut, sesuai dengan jumlah yang diperlukan. Jika  mereka menganggap di negeri ini tidak didapati, mereka akan membawa dari negerinya. Terdengar kabar nyaring dari berbagai sumber, dengan alasan itu mereka membawa tenaga kerja dalam jumlah yang sangat banyak, dengan selubung tenaga kerja ahli.

Pada hal kenyataannya sebagian besar tenaga tersebut adalah tenaga kerja kasar ( umum ). Dengan kenyataan seperti ini terjadilah gejolak sosial akibat semakin sempitnya lapangan kerja di satu sisi dan di sisi lain banjir tenaga kerja asing dengan 1001 tujuan rahasia yang mungkin akan membahayakan negeri kita. Hal ini diserahkan kepada ahlinya sesuai dengan amanah dan kewenangannya.

Bagaimana dengan kekurangan ulama ?

Kalau di kota-kota kekurangan ulama tak begitu terasa, karena uang terbesar yang beredar di masayarakat,  beredar di kota, apalagi di Jakarta sebagai ibu kota negara besar Republik Indonesia tercinta . Dengan keadaan tersebut, maka orang cerdik cendikia, pedagang, pengusaha, politisi tumplek blek (bahasa Jawa : berkumpul dalam jumlah yang sangat banyak) di kota. Apalagi di Jakarta termasuk ulamanya  dalam berbagai strata, juga banyak berkumpul di Jakarta.

Sehingga tak ada kesulitan memenuhi kebutuhan agama dengan menghadirkan alim tingkat apapun karena alimnya banyak dan uang juga ada . Bahkan di kota tak sedikit alim yang jika ia berada di daerah sangat dibutuhkan, tetapi di Jakarta kalah bersaing sehingga tak banyak dimanfaatkan masyarakat (maubadzir fungsinya).

Di daerah-daerah apalagi di pedesaan, dalam satu kalurahan terdapat lebih dari 10 buah masjid /musola. Pertambahan masjid/musola terus berjalan.  Dari sekian banyak masjid belum tentu ada alimnya, kalau toh ada paling banyak satu atau dua orang saja . Jika di antaranya meninggal, belum tentu ada yang menggantikannya. Sehingga di berbagai daerah ghirah keagamaan tumbuh dengan pesat tetapi alimnya tak bertambah bahkan berkurang … tak memadai sama sekali dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat .

Mustofa Gholayain dalam kitabnya ‘idlotunnasiin menggambarkan pentingnya keberadaan ‘alim di masyarakat, dan kurangnya perhatian masyarakat untuk mempersiapkan, merawat dan mengembangkan eksistensinya digambarkan dengan gambaran sebagai berikut :  Jika ada wabah penyakit di masyarakat menimpa 100 orang penduduk, para dokter dan tenaga medis dibantu seluruh komponen masyarakat bekerja keras untuk menemukan penyakitnya, cara penularannya,  dari mana asal muasalnya sampai akhirnya ditemukan  obat untuk mengatasinya, sehingga masyarakat selamat dari bahaya yang akan ditimbulkannya.

Tetapi jika hal itu menimpa penyakit batin manusia, penyakit mental kejiwaan masyarakat, penyakit rohani masyarakat …. ibarat masyarakat sudah dalam keadaan sakaratul maut  dan menelan korban tewas tak terhitung jumlahnya … masyarakat tak ada yang peduli terhadapnya. Siapa dokter penyakit batin itu? Siapa lagi jika bukan para ulama waratsatul ambiya (ulama pewaris para nabi).

Sekolah Bonafid Walau Harus Nyogok

Setiap awal tahun ajaran pendidikan sekolah dibuka, orang tua di semua strata sibuk dan prihatin bagaimana caranya agar anaknya dapat diterima di sekolah yang menjanjikan masa depan anaknya, di dalam maupun di luar negeri. Kalau perlu harus menyogok (risywah) walau masih di tingkat dasar sekalipun. Karena pikiran mereka jika di sekolah yang masih tingkat dasar sekalipun mutunya baik, maka akan dapat dengan mudah diterima di sekolah lanjutan yang bermutu pula begitu seterusnya dan ujungnya nantinya dapat bekerja di sesuai posisi yang diinginkan. Walhasil, anaknya menuai hidup sukses (walau hanya sebatas ukuran materi dan dunia).

Hanya sebagian kecil saja, bahkan hanya orang miskin dan kadang yatim yang tak mampu berebut sekolah hebat, mereka yang berperhatian untuk mengisi calon dokter-dokter rohani/ jiwa masyarakat ….. alangkah buruknya nasib masyarakat yang akan  dihasilkannya ke depan jika hal ini terus menerus berlangsung tanpa ada usaha serius dari semua pihak secara berjama’ah untuk mengubahnya .

Ada contoh menarik untuk mengubahnya, sebagaimana dilakukan seorang pengusaha Steak Obonk di Solo. Almarhum Soegondo, semua anak-anaknya dilatih wira usaha di bidang kuliner steak. Alhamdulillah berhasil dan lebih sukses membangun usaha steak dibanding bapaknya. Istimewanya semua usaha yang dibangun oleh bapak dan anak-anaknya terkandung cita-cita mulia, yaitu bagaimana dapat membantu mendanai pesantren-pesantren yang bergerak menyiapkan dokter-dokter jiwa (ulama). Cucu-cucunya diarahkan untuk menghafal Al Quran.

“Urusan cari rezeki akan saya ajari sendiri,” kata beliau. Di usia tuanya (bersdasar sember yang dapat dipercaya), setiap Jumat ia mendatangi semua outletnya, dengan dompet kosong, sekembalinya dari outletnya, dompetnya penuh penuh uang dari hasil usahanya… kembali kosong setelah dibagikan kepada sejumlah ponpes yang secara rutin  dibantunya. Allahu akbar ….. semoga Allah memuliakan derajat kemuliaan disisi-Nya… amin.

Saat jenazahnya dibawa ke kubur tempat dikebumikanya, pejabat teras, tokoh ulama … dan orang-orang hebat yang datang ikut mengantarkannya hampir tak kebagian tempat dan perhatian masyarakat, terasa kecil dihadapan janazah almarhum si empunya nama bunga harum “Soegondo”, pengusaha steak “Waroeng Obonk”.

Sebelum wafat, ia sempat berpesan kepada semua anaknya.   “Teruskan usahamu dan teruskan pula amal mulia dalam membantu lahirnya para ulama penyelamat umat dunia dan akhirat.”

Hal ini baru sebagian contoh mulia yang dilakukan secara perorangan,  alangkah hebatnya jika dilakukan secara berjama’ah.

Wahai orang kaya, wahai orang hebat dalam meraih keuntungan dunia …. kekayaanmu telah cukup untuk membiayai anak cucumu sampai yang kesekian ……. Coba renungkan, “Manakah yang lebih mulia dan abadi, anak disiapkan untuk memburu  sepiring nasi dan kursi?  Atau mengejar derajat mulia pengawal warisan para Nabi?

Jawab pula pertanyaan ini, “Madza ta’kuluna ba’diiii… atau madza ta’buduna ba’diiii……teknokrat atau ulama ? tanyakan kepada nurani yang suci wahai orang-orang mulia ….. Semoga dapat meraih kemuliaan di sisi-Nya, aamiin.(A/RS3/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Wartawan: Bahron Ansori

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.