Ulama Mesir: Masyarakat Aceh Harus Jalankan Syariat Islam

(Foto: KWPSI)

Banda , MINA – Saat ini, masyarakat dan bangsa ini tengah merayakan peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-72 pada 17 Agustus 2017.

“Merdeka diartikan terlepas dari segala belenggu penjajahan baik lahir maupun batin dalam berbagai bentuk.” Demikian  , Syaikh Abu Muaz Muhammed Abdul Hay Al-Uwenah Al-Mishri saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, sebagaimana keterangan pers yang diterima MINA, Jumat (18/8).

Sementara bagi umat Islam, katanya, hakikat kemerdekaan dan kebebasan itu sendiri dimaknai dengan mendapatkan segala hak dan menunaikan kewajibannya sesuai ajaran agamanya, yang diperintahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dengan tidak tunduk dan patuh kepada selain-Nya.

Khusus bagi masyarakat Aceh yang sudah resmi mendapatkan legalitas dari negara dengan aturan perundang-undangan yang ada untuk menjalankan syariat Islam secara kaffah, maka segala aturan hukum agama itu harus bisa dilaksanakan dengan penuh kebebasan dan merdeka tanpa ada tekanan dari pihak manapun.

Staf Pengajar Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir ini menambahkan, sudah diberikannya hak khusus kepada Aceh sebagai satu-satunya provinsi di negara ini untuk menerapkan aturan syariat Islam dengan sebuah Undang-undang khusus sejak beberapa belas tahun silam ini, “Karena ini merupakan suatu pilihan kebenaran bagi umat Islam di Aceh, maka jangan ragu atau terpengaruh sedikit pun dengan berbagai godaan untuk meninggalkannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 147 yang artinya, “Kebenaran itu datang dari Rabb-mu, maka janganlah sekali-kali kamu termasuk orang yang ragu dan meninggalkannya,” katanya.

“Hari ini Aceh sudah mendapatkan kemerdekaan untuk dapat menjalankan syariat Islam, dan karenanya kita bisa tanyakan kepada umat Islam Aceh, apakah kita sudah benar-benar merdeka dalam menjalankan syariat Allah ini atau masih ada hal-hal yang membelenggu syariat, tentu jawabannya ada diri masing-masing umat Islam di daerah ini,” kata Abu Muaz yang didampingi penterjemahnya, Ustaz Muakhir Zakaria.

Menurutnya, menjadi iman atau kufur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah suatu pilihan bagi umat manusia di muka bumi ini, dan Allah mempersilahkan untuk memilih apa saja sesuai keinginan hatinya dan tentunya akan menerima segala konsekuensi dari apa yang telah dipilihnya itu.

Jika memilih beriman kepada Allah balasannya adalah surga dan jika memilih kufur balasannya adalah neraka sebagai tempat siksaan yang amat pedih.

“Tugas kita, ingatkanlah mereka untuk memilih yang benar, tapi bukan kita bukan orang yang memaksa pilihan mereka. Jika seseorang sudah memilih dan mengakui tiada Tuhan selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam utusan Allah maka seseorang itu harus memerdekakan dirinya dari ketergantungan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kita membebaskan diri dari hukum-hukum selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, artinya hanya bergantung kepada hukum Allah,” ungkapnya.‎

Pada kesempatan tersebut, Syaikh Abu Muaz juga menjelaskan, kisah penjajahan yang dialami oleh negara-negara Islam sejak dulu zaman kekhalifahan Turki Usmani hingga mencapai kemerdekaan secara fisik sekarang ini, namun masih terjajah secara mental dan pikiran yang dibelenggu penjajah dari negara-nagara Eropa dan Barat di luar Islam.

“Hari ini masih banyak negara-negara Islam yang mengaku sudah merdeka dan berdaulat terjajah oleh negara-negara Islam, mentalnya, pemikirannya masih bisa diatur dan mengikuti apa maunya negara-negara barat dan Eropa sehingga umat Islam di negara tersebut menjadi lemah,” sebutnya.

Salah satu tanda negara-negara Islam terjajah saat ini, lanjut Syaikh Abu Muaz adalah ketika Palestina dicaplok dan dijajah oleh Israel sejak puluhan tahun silam hingga sekarang, banyak negara Islam yang diam saja, seolah-olah merestui apa dilakukan Israel dan koleganya Amerika Serikat dengan membantai umat Islam di Palestina, tanpa berbuat apapun untuk mencegahnya. (R/R01/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)