Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Tausiyah Kantor Berita Islam MINA
Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin mendorong pemerintah Indonesia dan negara-negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI), agar membuat sebuah kalender Islam yang dapat digunakan secara universal oleh seluruh negara.
“Sangat mendesak sekali ada kalender Islam, tapi yang bersifat universal atau global, tidak dibatasi hanya batas nasional, Indonesia,” ujar Ketua Din Colloquium Astrology Indonesia di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Selasa (14/7).
Menurutnya, kalender universal seakan sangat membantu menyelesaikan permasalahan umat yang berada dalam ranah lokal. Kalender Islam bersifat global itu pun dapat dibuat secara tahunan.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Menteri Agama RI Lukman Hakim Saefuddin pun mendukung adanya Kalender Sistem Islam bagi umat Islam, yang digunakan sebagai acuan dalam menentukan awal Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawwal.
“Itu aspirasi umat Islam. Mayoritas umat Islam menghendaki Kalender Hijriyah untuk menyatukan kita semua. Jadi tidak selalu penuh hiruk-pikuk kegaduhan,” kata Lukman, di sela-sela Sidang Isbat 1 Syawwal di Kementerian Agama, Kamis (16/7).
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) pun ikut angkat suara. Menurutnya, tentang kalender Islam, khususnya saat penentuan tanggal 1 Syawal (Idul Fitri), ia berharap umat Islam bisa menyetujui adanya satu kriteria sehingga tidak ada lagi perbedaan waktu.
“Yang penting kita harus mengkaji dan menyepakati satu kriteria, baru kita bisa bersatu. Selama masih ada tiga kriteria, maka sampai satu abad pun tidak akan bersatu.”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
Menurut Kalla, selama ini di Indonesia seringkali terjadi perbedaan dalam penentuan tanggal 1 Syawal (Idul Fitri). Perbedaan tersebut tampak menonjol setiap satu tahun sekali. Untuk hari-hari lainnya, meski ada perbedaan namun tidak kentara.
JK yang juga Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) menambahkan, bahwa penentuan kalender Islam itu sebenarnya menjadi masalah internasional, karena itu tidak akan cukup jika hanya dibicarakan dalam satu atau dua pertemuan.
Dia menyebutkan, ada dua masalah untuk menyatukan kalender Islam ini. Pertama, kriteria apa yang harus dipakai untuk melihat hilal, apakah menggunakan hitungan (rukyat) atau penglihatan atau campuran keduanya. Kedua, apa batasan yang harus dipakai, wilayah negara atau umat.
Wapres mencontohkan selama ini di Indonesia dalam melihat bulan batasan yang digunakan adalah batas negara. Misalnya bulan sudah dilihat orang Merauke yang jaraknya sekitar delapan jam penerbangan, maka langsung diputuskan dan berlaku dari Sabang sampai Merauke. “Nah bagaiman kalau orang Pakistan yang melihat bulan?. Padahal jaraknya sekitar tujuh jam penerbangan”, ujarnya.
Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi
Usulan Erdogan
Menyoal pentingnya satu Kalender Islam secara universal, dikemukakan oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan, yang meminta kepada Kementerian Agama di negaranya untuk mengagendakan rencana menyelenggarakan konferensi Penyatuan Kalender Islam Internasional Maret 2016 mendatang.
Erdogan mengatakan konferensi itu bertujuan untuk menyatukan umat Islam dalam mengawali bulan Hijriyah, studi penyatuan Kalender, dan menentukan hari keagamaan Islam seperti awal bulan Ramadhan dan hari Idul Fitri dan Idul Adha di kalangan umat Islam.
Menurut Erdogan, perbedaan pada awal bulan Ramadhan di beberapa negara Islam dan bahkan dalam beberapa kota dalam satu negeri, bertentangan dengan semangat persatuan dan kesatuan Islam.
Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan
“Karena itu penting mengadakan pertemuan yang komprehensif dengan mengundang para ulama , ahli astronomi dan pengambil keputusan di negara-negara Islam, untuk mengatasi masalah tersebut,” ujar Erdogan.
Kementerian Agama Turki akan mengoordinir pelaksanaan konferensi dengan meminta proposal dan kalender dari berbagai lembaga ilmiah, para pakar astronomi, ilmuwan, dan negara-negara untuk bahan diskusi nanti.
Bahan-bahan konferensi disiapkan pula dalam terjemahan ke tujuh bahasa yaitu: Turki, Arab, Inggris, Spanyol, Jerman, Perancis, dan Rusia.
Panitia kegiatan akan dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Komite Konferensi Ilmiah, Prof. Dr. Yavuz Unal, Anggota Dewan Tertinggi Urusan Agama Turki.
Baca Juga: Enam Cara Mudah Bantu Palestina
hijriyah.jpg">hijriyah-300x225.jpg" alt="kalender hijriyah" width="300" height="225" />Konvensi Istanbul
Bagaimana pun, Turki pernah menjadi tuan rumah konferensi penyatuan penanggalan Kalender Dunia Islam, yang diprakarsai Organisasi Kerjasama Islam (OKI) di Istanbul, tahun 1978. Konferensi bertema Musyawarah Ahli Hisab dan Ru’yat kala itu dihadiri oleh wakil-wakil dari 19 Negara Islam, termasuk Indonesia, ditambah dengan tiga Lembaga Kegiatan Masyarakat Islam di Timur Tengah dan Eropa.
Masalah penentuan satu Ramadhan dan satu Syawal sebenarnya sudah dibicarakan dan diputuskan bersama pada Musyawarah Ahli Hisab dan Rukyat Internasional yang dihadiri 19 negara berpenduduk Islam, termasuk Indonesia, di Istambul, Turki tanggal 27-30 November 1978.
Negera lainnya yang hadir meliputi Afghanistan, Aljazair, Asia Tengah, Bahrain, Bangladesh, Irak, Kazakstan, Kuwait, Libanon, Malaysia, Maroko, Pakistan, Persatuan Emirat Arab, Saudi Arabia, Siprus, Sudan, Tunisia, Turki, dan Yordania. Ditambah utusan dari Pusat Islam Brunei, Pusat Islam Paris, dan Rabithah Alam Islami.
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Musyawarah yang menghasilkan Konvensi Istambul diawali dengan menyitir Al-Quran Surat Ali imran ayat 103, “Dan berpegang-teguhlah kepada tali Allah dengan bersatu-padu dan janganlah berpecah-belah. Dan ingatlah nikmat Allah yang diberikan-Nya kepadamu, yaitu ketika kamu bermusuhan, maka disatukan-Nya hati-hati kamu, maka jadilah kamu dengan nikmat Allah itu menjadi bersaudara”. Menunjukkan keinginan kuat negeri-negeri berpenduduk Islam untuk menjalin persatuan dan kesatuan dalam memeulai puasa Ramadhan dan dalam berhari raya.
Konvensi Istambul menyebutkan bahwa apabila bulan telah kelihatan di suatu negeri berarti semua negeri telah melihatnya. Dan yang ditugaskan melihat bulan adalah negeri Mekkah Saudi Arabia, karena alamnya yang cerah dan terang-benderang serta jarang mendung dan hujan. Mekkah diwajibkan mengumumkannya ke seluruh dunia Islam karena bulan cuma satu.
Pointers keputusan Konvensi Istambul 1978 itu dapat dijadikan sebagai rujukan persatuan dan kesatuan umat Islam secara global.
Pertama, yang menjadi dasar adalah Rukyatul Hilal (melihat bulan). Apakah melihatnya dengan mata telanjang (tidak menggunakan peralatan) atau melalui peralatan atau penelitian bintang, tidak ada perbedaaan.
Baca Juga: Suriah dan Corak Bendera yang Berganti
Kedua, menurut perhitungan para ahi astronomi (falak) dari sudut pandang agama di mana bulan dapat dilihat di ufuk dalam padangan manusia setelah matahari tenggelam dan hilangnya bayangan yang menyelimuti bulan. Ini disebut rukyat.
Ketiga, untuk melihat bulan, tidak ada tempat yang khusus ditetapkan. Bila hilal dapat dilihat di bagian bumi manapun, hal itu dapat dijadikan patokan dan sah dimulainya awal bulan. Untuk mencapai persatuan dan kesatauan serta solidaritas dunia Islam dalam masalah ini, hilal yang terlihat harus dilaporkan ke observatorium di Mekkah. Jadi, satu rukyat di sebuah negeri, berlaku untuk muslim di manapun di negeri-negeri lainnya, karena hakikatnya seluruh Muslimin adalah satu.
Keempat, menteri-menteri yang terkait di dunia Islam, lembaga-lembaga pemerintah yang mengurusi urusan agama, dan lembaga resmi seperti Al-Azhar dan Rabithah Alam Islami, dan yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi muslimin, agar berjuang untuk kesatuan muslimin, bekerja sama dalam melaksanakan isi konvensi dan meminta semua pihak yang berwenang untuk memikul tanggung jawab melakukan hal yang sama.
Bila Konvensi Istambul ini ditaati secara konsekwen dan konsisten, maka insya Allah dunia Islam akan bersatu dalam memulai ibadah puasa Ramadhan dan dalam melaksanakan Shalat Idul Fitri secara serentak. Apalagi dalam melaksanakan Shalat Idul Adha yang patokannya adalah ibadah haji di Arafah, bukan di tempat lain.
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
Sementara rentang waktu Indonesia dan Arab Saudi hanyalah selisih 4 jam, dan rentang waktu terlama di belahan dunia ini adalah 12 jam. Tidak sampai melebihi satu hari 24 jam. Plus, bulan itu cuma satu ! Semoga kita bisa mengambil rujkan dan ibrah dari Konvensi istambul, demi terjalinnya persatuan, kesatuan, dan solidaritas dunia Islam.
Rukyatul Hilal Global
Syamsuddin Muhammad Nurki, anggota pakar hisab dan rukyat Dewan Hisab dan Rukyah (DHR) Jama’ah Muslimin (Hizbullah) menyatakan, bahwa rukyatul hilal untuk melihat awal bulan hijriah seharusnya bersifat internasional.
“Karena Islam itu rahmatan lil ‘alamin, seharusnya rukyat bersifat internasional, bukan hanya fokus di satu negara,” katanya.
Baca Juga: Hari HAM Sedunia: Momentum Perjuangan Palestina
Menurut Syamsuddin yang sudah lebih 14 tahun menekuni ilmu hisab dan rukyat, seharusnya Muslimin bersatu dalam urusan rukyatul hilal (melihat bulan sabit sebagai tanda tanggal 1 bulan hijriah), saling menyadari dan memahami, bahwa Islam bukan hanya milik suatu negeri.
“Tapi Islam rahmatan lil alamin (menyeluruh), mengikuti aturan Al-Quran dengan satu pimpinan seluruh dunia,” kata asatidz yang pernah dua kali menyaksikan hilal dalam 12 tahun ia selalu melakukan rukyatul hilal awal Ramadhan, awal Syawwal dan awal Dzulhijjah.
Salah satu pakar astronomi dunia asal Indonesia, K.H. Abu Muchtar Marsa’i mengatakan, salah satu upaya untuk menyatukan Muslimin di seluruh dunia adalah dengan menggunakan Mekkah sebagai pusat penanggalan Islam.
“Untuk mengawali bulan hijriyah, puasa Ramadhan, Idul Fitri, dan Wukuf Arafah hendaknya kaum Muslimin menggunakan Mekkah sebagai pusat penanggalannya, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran dengan istilah Mekah Umul Qura,” ujar K.H. Marsa’i.
Baca Juga: Literasi tentang Palestina Muncul dari UIN Jakarta
Ulama yang juga menjadi Ketua Dewan Hisab dan Rukyat Jama’ah Muslimin (Hizbullah) itu mengungkapkan, berdasarkan hadits dari Ibnu Sakir bahwa Mekah adalah daratan pertama yang dihamparkan sebelum tujuh benua di bumi, dan diceritakan oleh Rasulullah bahwa Baitul Makmur yang berada di Arasy bertepatan (satu garis lurus dengan Ka’bah di Masjidil Haram).
Menurut penemuan yang dikeluarkan oleh Dr. Faruq Abdul Badi dari Mesir mengatakan, setelah mengukur garis-garis diseluruh benua, menunjukkan bahwa Mekah adalah pertengahan bumi.
Mekah Mean Time (MMT) artinya kota Meka sebagai pusat untuk menempatkan waktu dengan cara mengukur bayangan matahari ketika berada tepat 90 derajat di atas Ka’bah terhitung jam 12.00.
Saat ini, semua negara menempatkan waktunya berdasarkan waktu Greenwich Mean Time (GMT) padahal penempatan waktu di situ adalah hasil pemikiran orang-orang Yahudi, bukan dari umat Islam.
Dalam mengawali shaum dan Idul Fitri, Marsai menegaskan, hal itu harus berdasarkan rukyatul hilal atau istiqmal yang diputuskan oleh Imaamul Muslimin melalui sidang Majelis Isbat.
Jika diukur menurut garis bujur, kota Mekah berada di 39,5 bujur timur dan 21,25 lintang utara, dengan ketinggian 300 meter dari permukaan laut.
“Kalau menggunakan Mekah Mean Time maka kita akan membuat kota Mekah di posisi nol derajat garis bujur,” kata K.H. Marsa’i.
Kesatuan Umat Islam
Insya Allah, mereka yang berpatokan pada rukyat global itulah yang memperjuangkan ukhuwah Islamiyyah sebenarnya, satunya kaum Muslimin di seluruh dunia tanpa sekat-sekat ashobiyah nasionalisme.
Ini seperti dinyatakan Imaam Jama’ah Muslimin (Hizbullah) KH Yakhsyallah Mansur,MA., dalam tausiyahnya setelah penetapan 1 Syawwal 1436, menyatakan rasa syukurnya karena umat Islam dapat bersama-sama merayakan Hari Raya Idul Fitri pada hari yang sama.
“Ini tanda-tanda makin dekatnya perwujudan kesatuan umat Islam dalam Jama’ah Muslimin,” ujarnya.
Ia menambahkan, dengan kebersamaan dalam berhari raya, akan terus ditingkatkan di kalangan umat Islam.
Perwujudan kehidupan berjamaah di bawah satu Imaam, satu pimpinan, insya Allah lebih Allah percepat terwujudnya, paparnya.
Jama’ah Muslimin (Hizbullah) sebagai perwujudan Khilafah sejak tahun 1953, dengan izin Allah telah memelopori bagaimana seharusnya umat Islam bersatu di bawah Al-Quran dan contoh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat.
“Jama’ah Muslimin (Hizbullah) sebagai wujud Khilafah semakin tampak kebenarannya. Hal ini ditandai dengan makin banyaknya kaum Muslimin yang menyambut dan bersatu, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia, seperti di Thailand, Filipina, Malaysia, Yaman, Palestina dan lainnya,” ujar Imaam Yakhsyallah Mansur. (T/P4/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)