Urgensi Kekuasaan Dalam Berjamaah (Oleh: Arif Hizbullah, MA.)*

Oleh: Arif Hizbullah, MA.; Pengasuh Pondok Pesantren Shuffah Hizbullah Al-Fatah Maos, Cilacap, Jawa Tengah

Bagi Para Nabi

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala

وَيَسْـَٔلُونَكَ عَن ذِى ٱلْقَرْنَيْنِ ۖ قُلْ سَأَتْلُوا عَلَيْكُم مِّنْهُ ذِكْرًا  ٨٣  إِنَّا مَكَّنَّا لَهُۥ فِى ٱلْأَرْضِ وَءَاتَيْنَٰهُ مِن كُلِّ شَىْءٍ سَبَبًا  ٨٤

(83) Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: “Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya”. (84) Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, (Qs. Al Kahfi/18: 84)

Nabi Dzulqarnain yang diabadikan namanya dalam ayat tersebut merupakan figur Nabi yang diberi kekuasaan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam menjalankan perintah-perintahNya untuk meraih kemajuan, kemaslahatan dan keselamatan masyarakatnya. Kisah perjuangan Nabi Dzulqarnain dalam berjihad membangun masyarakat supaya beriman dan beramal shalih disebutkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al Qurannul Karim (QS. Al Kahfi/18: 83-98)

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala

قَالَ رَبِّ ٱغْفِرْ لِى وَهَبْ لِى مُلْكًا لَّا يَنۢبَغِى لِأَحَدٍ مِّنۢ بَعْدِىٓ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْوَهَّابُ  ٣٥

Ia berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorangpun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi”. (Qs. Shad/38: 35)

Dalam ayat tersebut Nabi Sulaiman memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala kekuasaan yang luar biasa, kekuasaannya begitu besar sehingga tidak akan ada lagi orang yang akan memiliki kekuasaan yang melebihi besarnya kekuasaan Nabi Sulaiman yang meliputi seluruh makhluk Allah Subhanahu Wa Ta’ala, beliau menyebarkan rahmat dan menyampaikan Risalah Islam, sampai masuk Islamlah seorang penguasa yang menyembah matahari dan selanjutnya masuk Islam pula rakyatnya. Hal ini disebutkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al Quran (Qs. An Nahl/16: 44)

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala

وَقَالَ ٱلْمَلِكُ ٱئْتُونِى بِهِۦٓ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِى ۖ فَلَمَّا كَلَّمَهُۥ قَالَ إِنَّكَ ٱلْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ ٥٤  قَالَ ٱجْعَلْنِى عَلَىٰ خَزَآئِنِ ٱلْأَرْضِ ۖ إِنِّى حَفِيظٌ عَلِيمٌ  ٥٥

(54) Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku”. Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami”. (55) Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”. (Qs. Yusuf [12]: 54-55)

Peluang dan kesempatan terbuka di depannya tidak disia-siakan lagi oleh Nabi Yusuf demi kepentingan dakwah. Ayat meminta jabatan oleh Nabi Yusuf di sini harus dipahami dari sudut pandang yang positif bahwa sesungguhnya Nabi Yusuf tidak meminta jabatan melainkan yang diyakini dapat mengatasi krisis di masa depan. Jabatan yang diyakini akan mampu melindungi rakyatnya dari kelaparan dan kematian serta melindungi negara dari kehancuran. Jabatan yang akan di embannya justru memiliki konsekuensi dan tanggung jawab yang berat di masa paling sulit ketika krisis terjadi. Nabi Yusuf harus bertanggung jawab atas kecukupan stok makanan bagi seluruh bangsa Mesir dan bangsa-bangsa sekitarnya selama 7 tahun ke depan, di mana selama itu tidak ada kegiatan pertanian dan peternakan. Memang suatu jabatan yang tidak menguntungkan bagi Nabi Yusuf. Namun justru dengan kekuasaan tersebut Nabi Yusuf dapat lebih leluasa bergerak dan berdakwah merealisasikan tujuan dan misi Islam sebagai rahmatan lil alamin. Hal ini disebutkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al Quran (Qs. Yusuf [12]: 56)

Kandungan Ayat

Dari ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa:

  1. Kekuasaan tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam, sehingga Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkaruniakannya kepada beberapa nabiNya.
  2. Kekuasaan merupakan suatu kekuatan (power) yang dapat memudahkan dalam menjalankan misi-misi Islam yang rahmatan lil alamin.
  3. Kekuasaan yang dimiliki oleh para nabi tersebut di atas dapat mendorong terwujudnya hasil yang maksimal dalam menjalankan misi kenabian untuk melahirkan masyarakat yang aman, damai, sejahtera lahir dan batin.
  4. Kekuasaan yang dipegang oleh para nabi dan orang-orang shaleh akan berdampak positif untuk kemaslahatan masyarakat dalam memperibadati Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
  5. Tidak ditemukan adanya penyalahgunaan kekuasaan yang dimiliki para nabi dan orang-orang shaleh untuk bertindak sewenang-wenang, diktaktor dan menindas demi meraih keuntungan dan kepuasan pribadi ataupun golongan.
  6. Ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa kekuasaan yang syar’i itu merupakan anugerah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Para nabi dan orang-orang shaleh tidak memperolehnya dengan merebut paksa atau melakukan kebohongan-kebohongan atau janji-janji palsu atau propaganda-propaganda yang dapat memecah-belah masyarakat dan cara-cara lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai syariat.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman

قُلِ ٱللَّهُمَّ مَٰلِكَ ٱلْمُلْكِ تُؤْتِى ٱلْمُلْكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ ٱلْمُلْكَ مِمَّن تَشَآءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَآءُ ۖ بِيَدِكَ ٱلْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ  ٢٦

Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Qs. Ali Imran/3: 26)

Kekuasaan bukan merupakan syarat sahnya kenabian atau kekhilafahan yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ala minhajin nubuwwah) karena banyak para nabi yang tidak dianugerahi kekuasaan seperti Nabi Zakaria As, Nabi Isa As, Nabi Yahya As dan lain-lain, namun kenabian mereka tetap sah.

Khilafah, Kekuasaannya Atas Karunia Allah (Kajian QS An-Nur Ayat 55)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ

“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan mengerjakan amal saleh, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai (Islam). Dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barang siapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur; 24:55)

Asbābun Nuzūl

Ibnu Jarîr ath-Thabari rahimahullâh (wafat: 310-H) mengatakan:

وَذكُرُ أَنَّ هَذِهِ الْايَةُ نَزَلَت عَلى رَسُولُ اللهِ صلى الله عَليه وسلم مِن أَجلِ شَكَايَةً بَعضِ أَصحَابِهِ إِلَيهِ فِي بَعضِ الْأَوقُاتِ التي كَانُوا فِيهَا مِنَ العَدُوِ فِي خَوفٍ شَدِيدٍ مِمَّا هُمْ فِيهِ مِنَ الرُّعْبِ وَالخَوفِ وَمَا يُلقونَ بِسَبَبِ ذلِكَ مِنَ الْأذَى وَالمَكْرُوهِ

“Disebutkan bahwa ayat ini turun kepada Rasulullâh dikarenakan keluh kesah sebagian sahabat beliau pada beberapa kejadian memilukan yang menimpa mereka dari pihak musuh, berupa rasa takut yang mencekam dan menteror, berupa gangguan dan hal-hal menyusahkan yang mereka jumpai karena kejadian-kejadian memilukan tersebut.”[Tafsîr ath-Thabari: 19/209[1]

Imâm as-Sam’âni asy-Syâfi’i rahimahullâh (wafat: 489-H) mengatakan:

وذْكُرُ بَعضِ أَهلُ التَّفسِ يرْ: أَنَ أَصحَابِ رَسُولِ اللهِ تَمنُوا أَنْ يُظهَرُوا عَلَى مَكَّةَ فَأنزَلَ اللهِ تَعَالَى هَذِه الأْيَة

“Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa para Sahabat Rasulullâh r berangan-angan untuk menguasai Makkah (yang saat itu tengah dikuasai oleh orang-orang musyrik), maka Allah menurunkan ayat ini.” [Tafsîr as-Sam’âni: 3/544[2]]

Makna Kalimat

  • Ibnu Jarîr ath-Thabari menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “wa’amilush shâlihât” dalam ayat ini adalah:

وَأَطَاعُوا اللهَ وَرَسُولًهُ فِيمَا أَمرَاهُ وَنًهيَاه

“mereka menaati Allah dan Rasul-Nya pada perkara yang diperintahkan dan perkara yang dilarang oleh keduanya.” [lihat Tafsîr Ath-Thabari: 19/209]

Syarat suatu amal dikategorikan sebagai amal soleh adalah:

  1. Amal tersebut harus dilaksanakan secara ikhlas.
  2. Amal tersebut sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
  • Makna (لَيَستَخلِفَنَّهُمْ فِي الْأرضِ) adalah (لِيُوَ رثَنَّهُمُ الله أَرضٌ المشركِينَ مِنَ العَرَبِ وَالعَجْمِ فَيَجْعَلُهُمْ مُلُوكَهَا وَسَاسِتَها); Allah akan mewariskan kepada mereka (orang-orang yang beriman dan beramal shaleh) negeri orang-orang musyrik dari kalangan Arab maupun Non-Arab, lantas mereka menjadi penguasa-penguasa di negeri tersebut.
  • Makna (وَلَيُمَكنَنَّ لَهُ أمْ دِينَهُمْ الَّذِي ارتَضَى لَهُمْ) adalah

وَلِيُوطَئَنَّ لَهُمْ دِينَهُمْ يَعنِي: مِلَتَهُمْ الَّتِي اِ رتَضَاهَا لَهُمْ فَأَمرُهُمْ بِهَا

“Allah akan mengokohkan pijakan agama mereka, yaitu agama mereka yang diridhai Allah untuk mereka, yang diperintahkan oleh Allah untuk beragama dengannya (yaitu Islam).”

  • Makna (وَلَيُبَدِ لَنَّهُم) adalah

(وَلِيُغَيرَنَّ حَالُهُمْ عَمَّا هِيَ عَلَيهِ مِنَ الخَوفِ إِلَى الْأَمنِ);

“Dan Allah akan menggantikan keadaan mereka dari ketakutan menjadi aman.”

  • Dalam Tasîr ath-Thabari disebutkan bahwa, makna (يَعبُدُونَنِي) adalah (يُخَضِعُونَ لِي بِالطَّاعَةِ وَيُتَذألِلُونَ لِأَمرِي وَنَهيِي); “Mereka menundukkan diri pada-Ku dengan ketaatan, dan mereka menghinakan diri di bawah perintah-Ku dan larangan-Ku.”Mujahid rahimahullâh mengata kan: (يَعبُدُونَنِي) yaitu (لَاَ يُخَافُونَ غَيرِيْ) “Mereka tidak takut kepada selain-Ku.”
  • Makna (لا يُشْرِكُونَ بِي شَيئًا) adalah

لَاَ يُشرِكُونَ فِي عِبَادَتِهِمْ إِيَّايَ الْأَوثَانِ وَالْأَ صنَامِ وَلاَ شَيئًا غَيرهَا بَل يُخَلُصُونَ لِي العِبَادَةِ فَيُفَرِّدُونَهَا إليَّ دُونَ كُلَّ مَاعَبدٌ مِن شَيءٍ غَيرِي

“Mereka tidak menyekutukan Aku dalam peribadatan mereka kepada-Ku dengan sesuatu apapun seperti berhala dan patung-patung, akan tetapi mereka memurnikan peribadatan hanya untuk-Ku. Mereka mengkhususkan ibadah tersebut hanya untuk-Ku, tidak untuk segala macam sesembahan selain-Ku.”

Al-Qur’ân menegaskan bahwa penyebab utama rasa takut yang merasuki orang-orang yang tidak beriman kepada Allâh adalah semata-mata karena kesyirikan mereka. Allâh berfirman:

سَنُلْقِى فِى قُلُوبِ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا ٱلرُّعْبَ بِمَآ أَشْرَكُوا بِٱللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِۦ سُلْطَٰنًاۖ وَمَأْوَىٰهُمُ ٱلنَّارُ ۚ وَبِئْسَ مَثْوَى ٱلظَّٰلِمِينَ

“Kami akan campakkan rasa takut ke dalam hati orang-orang kafir, disebabkan mereka telah berbuat syirik kepada Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak pernah menurunkan keterangan tentangnya. Tempat kembali mereka adalah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal bagi orang-orang yang zhalim.” [QS. Ali ‘Imran; 3:151]

نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ عَلَى العَدُوِ

“Aku (Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam) ditolong (oleh Allah dengan dicampakkannya rasa takut di hati) musuh-musuhku.” [Shahih Muslim no. 523].

Maksud Ayat

Para ulama tafsir menjelaskan bahwa dalam ayat yang mulia ini, sebenarnya terdapat sumpah Allah yang tersirat dari ungkapan “layastakh lifannahum….dst” yang diistilahkan oleh pakar bahasa al-Qur’an sebagai jawâbul-qasm (jawaban sumpah). Lalu apa sumpah Allah tersebut? Dia bersumpah akan menjadikan orang-orang yang beriman dan beramal shalih sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi yang akan mengatur dunia dengan syari’at-Nya.

Dia telah membuktikan sumpah tersebut pada umat-umat sebelumnya, saat Dia menganugerah kan kekuatan dan kekuasaan kepada Sulaiman dan Daud ‘alaihimassalâm, dan kepada Bani Isrâîl saat mereka berhasil mengambil alih kekuasaan dari tangan-tangan Raja yang zalim di Mesir dan Syam. Dia juga bersumpah akan menjadikan Islam sebagai agama yang kokoh dan mengungguli agama-agama lainnya. Rasa aman akan tercipta, dan akan menggantikan ketakutan yang menyelimuti kaum muslimin.

Namun janji Allah tersebut ada syaratnya. Dalam ayat yang agung ini, setidaknya disebutkan ada tiga syarat yang harus terpenuhi agar janji-janji Allah di atas bisa terwujud: pertama; iman dan amal shalih, kedua; beribadah hanya untuk Allah (tauhid), dan ketiga; menjauhi syirik dengan segala ragamnya, termasuk beramal dengan maksud selain Allah. Kemudian barangsiapa yang kufur nikmat (dengan meninggalkan syarat-syarat di atas) setelah anugrah kejayaan dan keamanan umat tersebut diraih, maka merekalah orang-orang yang fasik, yang telah keluar dari ketaatan kepada Allah dan telah berbuat kerusakan.

Janji Tersebut telah Terwujud

An-Nahhâs rahimahullâhmenjelaskan bahwa janji Allah dalam ayat tersebut sudah ditunaikan di masa hidup Rasulullâh. Terbukti dengan penaklukan kota Makkah dan berbondong-bondongnya manusia di jazirah Arab memeluk Islam [lih. Tafsîr al-Qurthubi: 12/297].

Mufassir yang lain mengatakan bahwa ayat ini adalah dalil atas kekhalifahan Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsmân, dan ‘Ali radhiallâ’anhum jamî’an. Dengan kata lain, janji Allâh dalam ayat ini terwujud dan eksis pada masa kekhalifahan mereka. Karena merekalah kaum yang telah beriman kepada Allâh dengan sebenar-benar Iman, merekalah generasi terbaik dalam menegakkan ibadah dan amal shalih, menyembah hanya kepada Allâh secara totalitas lahir dan batin. Demikianlah pendapat adh-dhahhâk rahimahullâh sehingga tidak salah jika Abul ‘Âliyah rahimahullâh mengatakan, ketika menafsirkan siapa orang-orang yang dimaksud dalam ayat ini:

هُمْ أصحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَمَ

“Mereka adalah para Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.” [Tafsir Ibnu Abi Hatim: 8/2627, no. 14760].

‘Abdurrahmân bin ‘Abdilhamîd al-Mishri rahimahullâh mengatakan:

عَبدَ الرحمَنِ أ بنَ عَبدِ الحَمِيدِ المِصرِيَّ يَقَولُ: أَرَى وِلَيَةَ أَبِي بَكرْ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنهُمَا فِي كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ يَقَولُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَستَخلِفَنَّهُ أمْ فِي الْأَ رضِ الْايَة .

“Saya melihat kekhilafahan Abu Bakar dan ‘Umar radhiallâhu’anhumâ ada termaktub dalam Kitâbullâh ‘azza wa jallâ, yaitu dalam ayat: ‘Wa’adallâhulladzîna âmanû minkum….dst” [Tafsir Ibnu Abi Hatim: 8/2628, no. 14764]

Ibnul ‘Arabî rahimahullâh mengatakan:

وَإِذَِا لَمْ يَكُن هَذَا الوَعْدُ لَهُمْ نَجَزَ وَفِيهِمْ نَفَذَ وَعَليهِمْ وَرَد  فَفِيمَن يَكُونَ إِذاً وَلَيسَ بَعدَهُمْ مِثلُهُمْ إِلَى يَومِنَا هَذَا وَلَايَكُونَُ فِيمَا بَعدَه

“Jikalau janji (dalam ayat) ini bukan untukereka (para Sahabat), tidak tertunaikan pada mereka, dan tidak datang untuk mereka, maka kepada siapa lagi kalau begitu? Sementara tidak ada satupun yang mampu menyamai mereka sampai hari ini, dan tidak pula di masa depan.” [Tafsîr al-Qurthubi: 12/297]

Janji tersebut terus berlaku bagi siapa saja yang memenuhi syarat. Para ulama ahli tafsir seperti Al-Qurthubi rahimahullâh (wafat:671-H) berpendapat bahwa janji Allâh dalam ayat tersebut berlaku umum untuk seluruh umat Muhammad.

Dalam tafsirnya berliau mengatakan:

هَذِهِ الحَالُ لَمْ تَختَصَّ بِالخُلَفَاءِ الْأَ ربَعَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنهُمْ حَتَّى يُخَصُّوا بِهَا مِن عَمُومِ الْايَةِ بَل شَارَكَهُمْ فِي ذَلِكََ جَمِيعُ المُهَاجِرِْينَ بَل وَغَيرُهُمْ… فَصَحَّ أََنََّ الْايَةَ عَامَّةٌ لِاْمُّةِ مُحَمَّدٍ صَلُّى اللّهَ عَلَيهِ وَسَلُّمَْ غَيرُ مَخصُوصَةٍ .

“Janji Allâh ini tidak terbatas hanya untuk Khulafâ-ur Râsyidîn radhiallâhu’anhum saja, sampai harus dikhususkan dari keumuman ayat. Bahkan segenap Muhâjirîn dan kaum muslimin yang lain juga masuk dalam janji-janji ayat ini (tentu saja jika syarat-syaratnya terpenuhi-pen)… sampai pada ucapan beliau… Maka pendapat yang shahih adalah bahwa ayat ini berlaku umum untuk umat Muhammad, tidak bersifat khusus (untuk generasi tertentu dari umat ini-pen).” [Tafsîr al-Qurthubi: 12/299]

Al-Imâm As-Sa’di rahimahullâh (wafat: 1376-H) mengatakan:

وَلَاَ يَزَالُ الْأَ مرِ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةٍ مُهِما قُامُوا بِالْإِيمَانَ وَالعَمَلِ الصَّالِحِ فَلّاَّ بُدَّ أَنَ يُوجَدُ مَا وَعَدَهُمْ الله وَإِنَّمَا يُسَلُطُ عَلُيهِمْ ا لكُفَّارَ وَالمُنَافِقِين ويُديلُهمْ فِي بَعضِ الْأَ حيَانَ بِسَبَبِ إِخلَّالِ المُسلُمِينَ بِالْإِيمَانِ وَالعَمَلِ الصَّالِح .

“(Janji Allâh dalam ayat ini) akan senantiasa berlaku sampai hari kiamat, selama mereka (kaum muslimin) menegakkan iman dan amal shalih. Diraihnya apa yang telah dijanjikan Allâh, adalah sebuah kepastian. Kemenangan orang-orang kafir dan munafik pada sebagian masa, serta berkuasanya mereka di atas kaum muslimin, tidak lain disebabkan oleh pelanggaran kaum muslimin dalam iman dan amal shalih.”[Tafsîr as-Sa’di hal. 573].

Khilafah tidak merebut kekuasaan

Kehadiran khilafah bukan untuk merebut kekuasaan, berdasarkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Allah Swt mengawali misi kenabian bukan dari kekuasaan tetapi diawali dari figur kenabian yang justru pada saat itu tidak memiliki kekuasaan apapun.
  2. Tidak ditemukan adanya dalil yang memerintahkan dengan jelas supaya merebut kekuasaan.
  3. Kekuasaan merupakan karunia yang diberikan oleh Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki (Qs Ali Imran: 26, yang memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam Qs An- nuur: 55)
  4. Peperangan dalam Islam bukan untuk merebut kekuasaan tetapi untuk mempertahankan kehormatan Islam dan muslimin yang di dzolimi oleh musuh-musuh Islam hal ini berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:

Sabda Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam:

لَتَتَمَنَّوا لِقَاءَ العَدُوِ وَسَلُوا اللَّهُ العَافِيَةَ فَإِذِا لَقَيتُمُوهُمْ فَاصبِرُوا

“Janganlah kalian mengharapkan bertemu dengan musuh (perang), tapi mintalah kepada Allah keselamatan. Dan bila kalian telah berjumpa dengan musuh, bersabarlah.”(HR. Bukhari no. 2966 dan Muslim no. 1742).

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَٰتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُووَإِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ٩ ٱلَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَٰرِهِم بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّآ أَن يَقُولُوا رَبُّنَا ٱللَّهُ ۗ٤٠

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”…” (QS:Al-Hajj | Ayat: 39-40).

Dalam ayat ini, penyebab disyariatkannya perang sangat jelas sekali. Yaitu, karena umat Islam dizalimi dan diusir dari negeri mereka tanpa alasan yang dibenarkan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَقَٰتِلُوا فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوٓا ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُعْتَدِينَ

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS:Al-Baqarah; 2:190).

Imam al-Qurthubi mengatakan, “Ayat ini diturunkan bertutur tentang perang. Tidak ada perselisihan bahwa perang pada awalnya dilarang. Yaitu pada masa sebelum hijrah. berdasarkan ayat:

وَلَا تَسْتَوِى ٱلْحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُ ۚ ٱدْفَعْ بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ فَإِذَا ٱلَّذِى بَيْنَكَ وَبَيْنَهُۥ عَدَٰوَةٌ كَأَنَّهُۥ وَلِىٌّ حَمِيمٌ

“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik.”(QS:Fushshilat | Ayat: 34).

Juga firman Allah:

فَاعَفُ عَنهُ أمْ وَاصفَح

“maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka.” (QS:Al-Maidah | Ayat: 13).

Dan ayat-ayat lainnya yang serupa, yang diturunkan di Makkah. Ketika umat Islam hijrah ke Madinah, barulah ada perintah untuk berperang (al-Jami’ al-Ahkam Alquran, 1/718). Tanda-Tanda Kekhilafahan yang Dikuatkan Kekuasaannya di Muka Bumi. Dalam konteks kekuasaan, ada empat jenis amalan lahiriyah yang dijadikan indikasi oleh para ulama atas kekhalifahan Islam yang termasuk dalam janji ayat ini. Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah rahimahullâh mengatakan:

وَصَلَاحُ أمرِ السُّ الُطَانِ بِتَجْرِيدِ المُتَابَعَةِ لِكِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ رَسُولهِ وَنَبِيهِ وَحَملِ النَّاسِ عَلَى ذَلِكَ فَإِنَّهُ سُبحَانَهُ جَعَلَ صَلَّاحَ أَهلِ التَّمكِينِ فِي أربَعَةِ أَشيَاءَ: إقَامُ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ وَالأَ مرُ بِالمَعرُوفِ وَالنَّهيُ عَن المُنكَرْ

“Kebaikan seorang penguasa adalah dengan memurnikan ittibâ’ pada Kitabullâh dan Sunnah Rasul-Nya, serta menjadikan orang-orang untuk melakukan hal yang sama. Karena Allâh telah menjadikan kebaikan bagi Ahlut Tamkîn dengan adanya 4 perkara; penegakan shalat, penunaian zakat, amar ma’ruf dan nahi munkar.” [Majmû’ al-Fatâwa: 28/242].

Apa yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyyah tersebut, didasarkan pada firman Allah:

ٱلَّذِينَ إِن مَّكَّنَّٰهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ أَقَامُوا ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُاٱلزَّكَوٰةَ وَأَمَرُوا بِٱلْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَٰقِبَةُ ٱلْأُمُورِ

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar…”[QS. Al-Hajj: 41].

Kesimpulan:

  1. Kekuasaan dapat memudahkan dan memaksimalkan hasil dalam menjalankan misi keislaman.
  2. Kekuasaan yang syar’i merupakan anugerah Allah subhanahu wa ta’ala yang diberikan kepada siapapun yang dikehendakinya bukan merupakan tujuan dari misi-misi keislaman.
  3. Tiga syarat untuk mendapatkan anugerah kekuasaan adalah:
    1. Beriman dan beramal sholeh.
    2. Mentauhidkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala atau beribadah hanya untukNya.
    3. Menjauhi segala macam bentuk perbuatan syirik.

Wallâhuta’âla A’lam bish shawab.

 

(AK/R01/RS1)

Mi’raj News Agency (MINA)

*Tulisan ini disampaikan oleh Arif Hizbullah, MA. pada Tabligh Akbar Festival Sya’ban 1440H di Masjid An-Nubuwwah, Komplek Pondok Pesantren Al-Fatah, Muhajirun, Natar, Lampung Selatan, Sabtu, 21 Sya’ban, 1440H/27 April 2019M.