UU JPH dan PP Kuatkan Peran MUI

Jakarta, (MINA) – Undang-undang Jaminan () No. 33 Tahun 2014, Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 2019 dan peraturan pelaksana semestinya dapat menguatkan fungsi Majelis Ulama Indonesia () dalam sertifikasi halal.

“MUI terbebas dari segala intervensi dalam proses sertifikasi halal tersebut, baik politik maupun lainnya,” kata Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim saat disampaikan pada acara Buka Puasa Bersama bertajuk “Menyongsong Berlakunya Peraturan Pemerintah Jaminan Produk Halal dan Memasuki Mandatory Sertifikasi Halal, Siapkah BPJPH?” yang diselenggarakan Indonesia Halal Watch (IHW) di Jakarta, demikian keterangan Halal MUI, Ahad (26/5).

Lebih lanjut, Lukmanul mengatakan, semestinya pemerintah lebih berperan sebagai regulator, bukan operator. MUI fokus pada substansi halal yang tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun.

“Substansi tersebut antara lain: penetapan auditor halal, akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), penetapan fatwa dan kerja sama lembaga sertifikasi halal luar negeri. Dalam kerja sama luar negeri itu bukan hanya sekedar kerja sama, namun lebih kepada pada pengakuan substansi halal, MUI penting dilibatkan,” katanya.

“Peran tersebut seharusnya tetap pada domain MUI, karena penetapan halal adalah wewenang para ulama, dalam hal ini MUI merupakan tempat berkumpulnya para ulama yang memahami syariat Islam,” ujar Lukmanul.

Selain itu Direktur IHW, Ikhsan Abdulah mengatakan, PP No. 31 tahun 2019 seharusnya dapat menguatkan dan bukan justru melemahkan fungsi MUI. Di dalam PP yang telah dikeluarkan  kemarin justru ada kesan melemahkan fungsi MUI.

“Hal tersebut dapat dilihat pada pasal 22 ayat (2) yang menyebutkan bahwa pendidikan dan pelatihan auditor halal diselenggarakan oleh BPJPH dan dapat diselenggarakan oleh lembaga pendidikan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” tambahnya.

“Padahal menurut UU JPH pasal 14 ayat (2) huruf f, dinyatakan bahwa pengangkatan auditor halal oleh LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan memperoleh sertifikat dari MUI,” lanjut Ikhsan.

Selain itu, kata Ikhsan, dalam ketentuan kerja sama internasional sebagaimana yang diatur pada pasal 25 pada PP ini tidak melibatkan kewenangan MUI yang berkaitan dengan pengakuan sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi halal luar negeri, maka berpotensi memudahkan masuknya produk impor.

“Hal ini dikarenakan pengakuan sertifikasi produk asing tersebut tidak berdasarkan standar kehalalan MUI. Padahal dalam UU JPH jelas disebutkan bahwa menetapkan kehalalan produk itu adalah kewenangan MUI. Peran dan fungsi fatwa MUI diantaranya adalah mencegah masuknya barang-barang asing yang tidak jelas kehalalannya,” jelasnya.

“Oleh karena adanya ketidaksesuaian ini, maka IHW sudah mengajukan permohonan Judicial Review (JR) PP No. 31 tahun 2019 ini ke Mahkamah Agung RI,” tutup Ikhsan. (R/R03/RI-1)

Mi’raj News Agency (MINA)