Jakarta, MINA – Undang-undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) masih menjadi polemik dikalangan masyarakat, maka perlu dikaji kembali.
Pendapat itu dikatakan oleh pakar hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad pada acara “Polemik” yang diadakan oleh salah satu stasiun Tv di Jakarta, Sabtu (31/8).
“UU JPH masih meninggalkan beberapa persoalan yang sangat serius. Salah satu masalahnya adalah, terlalu banyak norma yang mengatur kewajiban. Sehingga sebagai sesuatu yang imperatif dapat menimbulkan konsekuensi hukum,” kata Suparji.
“Semestinya UU itu dapat memfasilitasi masyarakat agar berkembang dengan baik, bukan justru menjerat masyarakat maupun para pelaku usaha,” tambahnya.
Baca Juga: BPJPH Tegaskan Kewajiban Sertifikasi Halal untuk Perlindungan Konsumen
Ia melanjutkan, oleh karena itu, bisa dibayangkan kehidupan masyarakat yang akan datang yang seharusnya selama ini berjalan dengan baik, tapi setelah 17 Oktober akan ada satu tantangan baru, dimana hal tersebut belum dipersiapkan dengan baik, segala komponennya baik itu Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang terakreditasi, auditor halal yang profesional dan lain sebagainya.
“Sehingga perlu persiapan yang matang, agar tidak menjadi persoalan dalam penerapan UU tersebut,” jelasnya.
Selain itu, Suparji memaparkan bahwa UU JPH ini bertentangan dengan semangat debirokratisasi, banyak birokrasi baru yang membuat proses sertifikasi halal menjadi lama. Ada unsur Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), LPH dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), penyelia halal, auditor hingga kepada pelaku usaha. Sehingga tidak efektif.
“Dari perspektif ekonomi, UU JPH ini kurang efisien karena adanya birokrasi baru, adanya kewajiban-kewajiban yang dapat berdampak pada lambannya pergerakan masyarakat dan akan menimbulkan kontroversi-kontroversi baru,” ujarnya.
Baca Juga: BPJPH Tekankan Kembali Wajib Halal Telah Berlaku
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch, Dr. Ikhsan Abdullah, SH mengatakan bahwa jika dalam UU tersebut halal menjadi wajib, maka pemerintah harus ikut terlibat dengan memberikan bimbingan dan pembiayaan untuk pelaku usaha UMKM.
“Oleh karenanya, pemberlakuan UU JPH ini memerlukan persiapan yang matang, dimana semua komponen pendukung telah siap dan diuji kelayakannya di depan publik. Jangan sampai ketika diterapkan menimbulkan masalah baru,” katanya.
Senada dengan Ikhsan, Direktur LPPOM MUI, Dr. Lukmanul Hakim mengatakan, jangan sampai ketika UU diberlakukan menjadi alat bunuh masal UMKM. Oleh karenanya, peran pemerintah sangat besar dalam penguatan dan pembiayaan kepada para pelaku usaha, terutama UMKM.
“Dari sisi MUI sendiri, kami sudah siap. Peran MUI dalam UU JPH tersebut pada materi substansi, yaitu: akreditasi LPH, sertifikasi auditor, standar halal, fatwa dan kerjasama dengan Lembaga Sertifikasi Halal Luar Negeri LSHLN). Tinggal bagaimana kesiapan dari pemerintah sendiri secara adminiatratif. Jika melihat kondisi sekarang, pemerintah belum siap. Oleh karenanya perlu dicarikan solusi antara pemerintah, MUI dan stakhoder lainnya,” tambahnya. (R/R10/RI-1)
Baca Juga: UMK Wajib Sertifikasi Halal 17 Oktober 2026: Bagaimana dengan Produk Luar Negeri?
Mi’raj News Agency (MINA)