Oleh: Rendi Setiawan, Jurnalis MINA
Virus corona atau Covid-19 terus menghantui dunia dalam beberapa bulan terakhir. Dimulai dari Wuhan, Cina, pada akhir-akhir menjelang tutup tahun 2019, virus ini terus menyebar hingga lebih dari 100 negara yang mengonfirmasi warganya terpapar virus yang belum ditemukan vaksinnya tersebut.
Update corona di seluruh dunia per Senin (16/3/2020) pukul 18.42 WIB, angka infeksi Covid-19 mencapai 173.047 orang di 158 negara. Angka kematian untuk pandemi Covid-19 adalah 6.664 dan pasien yang sudah dinyatakan sembuh sebanyak 77.783 orang.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengumumkan pandemi virus corona, menyusul penyebaran SARS-CoV-2 yang semakin meluas di sejumlah negara di dunia. Italia menjadi negara di luar China dengan jumlah korban terbanyak. Jika kemarin jumlahnya 21.157 kasus, per siang ini tercatat bertambah menjadi 24.747 kasus.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Sementara itu, korban meninggal karena corona di Italia pun tercatat 1.809 kematian. Setelah Italia, negara dengan jumlah kasus corona terbanyak berikutnya adalah Iran. Hingga hari ini, tercatat jumlah kasus di Iran menjadi 14.991 pasien dengan total korban meninggal 853 orang.
Setelah Iran, Spanyol menempati posisi keempat dengan kasus terbanyak di dunia, yakni 8.794 kasus dengan angka kematian 853 orang. Kemudian disusul Korea Selatan, dengan total 8.236 kasus terkonfirmasi dan 75 kematian. Negara-negara di Eropa lainnya yang juga mencatatkan angka kenaikan infeksi virus corona juga terjadi di Jerman dan Perancis.
Meski beberapa tahun lalu juga sempat muncul wabah MERS-Cov, SARS dan Ebola, tapi tidak sehebat Covid-19. Meski demikian, Covid-19 bukanlah satu-satunya wabah virus yang pernah mengkolonialisasi kehidupan manusia. Sudah sejak berabad-abad lamanya wabah virus datang dan menghantui sebagian besar penduduk bumi. Bahkan tidak sedikit nyawa harus melayang.
Virus dalam catatan sejarah
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Yuval Noah Harari dalam bukunya ‘Homo Deus’ menuliskan bahwa wabah virus, atau dia katakan sebagai armada bayangan, menjadi musuh nomor dua bagi kehidupan umat manusia, setelah kemiskinan. Dan, salah satu wabah paling terkenal di awal abad belasan masehi adalah Black Death atau Maut Hitam.
Nama ‘Maut Hitam’ umumnya dianggap berasal dari gejala khas dari penyakit ini, yang disebut acral necrosis, di mana kulit penderita menjadi menghitam karena pendarahan subdermal.
Tepat pada 1330 masehi, di suatu tempat di Asia Timur atau Tengah, bakteri penumpang kutu Yersinia Pestis mulai menginfeksi manusia yang digigit kutu. Dari sana, dengan menumpang armada tikus dan kutu, wabah dengan cepat menyebar ke seluruh Asia, Eropa, dan bahkan Afrika Utara. Hanya dalam waktu kurang dari dua tahun mencapai pesisir-pesisir Samudera Atlantik.
Lebih jauh lagi, Harari mengungkapkan bahwa antara 75 juta sampai 200 juta orang dinyatakan mati. Jumlah ini lebih dari seperempat penduduk Eurasia. Di Inggris, 4 dari 10 orang mati, dan populasi menyusut secara drastis dari 3,7 juta jiwa sebelum wabah, menjadi 2,2 juta jiwa setelah wabah. Lebih mengejutkan lagi, kota Florensia, Italia, kehilangan separuh penduduknya.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Michael Walters Dols, sejarawan Amerika Serikat, dalam The Black Death in the Middle East menulis, seperti di Mesir, tanah dan harta kekayaan kota dengan cepat diasingkan. Perdagangan dan industri ikut lumpuh. Sampai-sampai Sultan Mamluk, al-Hasan mengungsi dari Kairo ke Siyaqus, wilayah pedesaan di timur laut Kairo pada September 1348. Ia menjauhi ibu kota selama tiga bulan.
Kendati demikian banyak masyarakat justru melarikan diri dari desa ke kota karena akses terhadap layanan agama, pengobatan, dan makanan lebih mencukupi. “Di mana pun epidemi itu ada, di sana ada bukti kalau wilayah pedesaan ditinggalkan,” tulis Dols.
Dalam Muqaddimah, sejarawan muslim, Ibnu Khaldun, juga menulis tentang penyakit itu:
“Yang terjangkit adalah peradaban di timur dan di barat. Penyakit destruktif itu menghancurkan bangsa-bangsa, menyebabkan punahnya populasi. Ia menelan banyak hal yang baik dari peradaban dan memusnahkannya. Peradaban berkurang dengan berkurangnya kemanusiaan. Kota dan bangunan-bangunan ditinggalkan. Jalan-jalan besar dan kecil dilenyapkan. Permukiman dan bangunan besar menjadi kosong. Wangsa-wangsa dan suku-suku etnik melemah. Seluruh hunian di dunia telah berubah.”
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Sementara itu, menurut Ross E. Dunn, sejarawan San Diego State University, dalam Petualangan Ibnu Battuta, Seorang Musafir Muslim Abad 14, catatan kematian terus meningkat menjadi 2.000 orang per hari. Penduduk kalang kabut. Kegiatan kota sehari-hari terhenti.
Sebelum sampai ke telinga Ibnu Battuta, pada 1346 malapetaka itu sudah menyerang Konstantinopel, menyebar ke Venesia dan Genoa.
Di Sisilia dan Mesir, epidemi muncul hampir bersamaan, yaitu pada musim panas 1347. Tahun berikutnya, kapal-kapal pembawa maut berlayar ke arah barat melalui Laut Tengah sambil melepaskan muatan jahat di pelabuhan yang satu ke pelabuhan lainnya. Dari pelabuhan-pelabuhan, iring-iringan keledai dan karavan-karavan unta memindahkan penyakit itu lagi ke pedalaman Eropa, Afrika Utara, dan Timur Tengah.
“Paris dan Bordeaux, Barcelona dan Valencia, Tunis dan Kairo, Damaskus dan Aleppo, juga menderita kematian besar-besaran akibat penyakit itu pada musim semi dan musim panas 1348,” catat Dunn.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Berikutnya, penyakit menular itu bergerak ke lembah delta Nil. Wabahnya menyeberang Selat Inggris ke Kepulauan Inggris. Barulah pada akhir 1350 serangan penyakit itu berhenti dengan sendirinya. Kendati begitu, Eropa mungkin telah kehilangan sepertiga dari jumlah penduduknya. Khusus di Kairo populasi sebelum ada penyakit sekitar 500.000, turun menjadi 200.000.
Maut Hitam bukanlah peristiwa tunggal, bahkan bukan wabah terburuk dalam sejarah. Masih bersumber dari keterangan Harari, dia mengungkapkan bahwa epidemi-epidemi lain yang lebih dahsyat melanda Amerika, Australia, dan Kepulauan Pasifik setelah kedatangan pertama bangsa Eropa.
Tanpa disadari oleh penjelajah dan pemukim itu sendiri, mereka membawa serta penyakit-penyakit menular baru, sedangkan penduduk asli tidak memiliki kekebalan untuk menghadapinya. Hingga 90 persen penduduk lokal meninggal sebagai akibatnya.
Pada 5 Maret 1520, satu rombongan kecil kapal-kapal Spanyol bertolak meninggalkan Pulau Kuba dalam perjalanan menuju Meksiko. Kapal-kapal itu membawa 900 tentara Spanyol bersama kuda-kuda, senjata api, dan sejumlah budak Afrika. Salah satu budak itu, Fransisco de Egula, membawa satu kargo pasukan yang jauh lebih mematikan di dalam tubuhnya.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Fransisco tidak mengetahuinya, tetapi di suatu tempat di antara triliunan sel dalam tubuhnya berdetik satu bom waktu biologis: virus cacar (smallpox). Setelah mendarat di Meksiko, virus itu mulai berbiak cepat dalam tubuhnya, akhirnya meletup keluar dari kulitnya dalam rupa ruam-ruam mengerikan.
Fransisco yang menggigil ditidurkan di rumah seorang keluarga pribumi Amerika di kota Cempoallan. Dia menulari anggota keluarga, yang kemudian menulari tetangga-tetangganya. Tak kurang dari 10 hari, Cempoallan berubah menjadi sebuah lahan kuburan. Para pengungsi menyebarkan penyakit itu dari Cempoallan ke kota-kota terdekat.
Pada September 1520, wabah virus tersebut sudah mencapai lembah Meksiko dan pada bulan Oktober memasuki gerbang-gerbang ibu kota Aztec, Tenochtitlan, sebuah kota metropolitan megah berpenduduk 250 ribu jiwa. Dalam kurun dua bulan, sepertiga penduduknya musnah, termasuk Kaisar Aztec, Cuitlahuac.
Pada Maret sebelum wabah, saat armada Spanyol tiba, penduduk Meksiko sekitar 22 juta jiwa. Pada akhir tahun yang sama, jumlah penduduknya menyisakan 14 juta jiwa yang masih hidup. Cacar barulah awal. Saat para tuan baru dari Spanyol itu sibuk memperkaya diri dan mengeksploitasi masyarakat pribumi, gelombang maut flu, kutu, dan berbagai penyakit menular lainnya menyerang Meksiko secara bergantian, hingga pada 1580, jumlah penduduknya tak sampai satu juta.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Dua abad berselang, tepatnya pada 18 Januari 1778, penjelajah Inggris bernama Kapten James Cook mencapai Kepulauan Hawaii yang berpenduduk setengah juta jiwa. Mereka hidup terisolasi sepenuhnya dari Eropa maupun Amerika, dan karena tak pernah terpapar penyakit dari Eropa maupun Amerika. Namun, Kapten James Cook dan rombongannya memperkenalkan flu pertama, tuberkulosis, dan sipilis di Hawaii.
Para pedagang Eropa berikutnya menambahkan tipus dan cacar. Pada 1853, hanya 70 ribu orang yang selamat di Hawaii.
Epidemi terus membunuh puluhan juta jiwa sampai memasuki abad ke-20. Pada Januari 1918, bala tentara di parit-parit Perancis bagian utara mulai banyak yang kehilangan nyawanya akibat satu galur flu yang sangat ganas, yang dijuluki ‘Flu Spanyol’. Ribuan orang dinyatakan mati disebabkan wabah virus tersebut.
Virus dalam dua dekade terakhir
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Tercatat, virus mematikan pernah menyebar seperti SARS, MERS-CoV, juga Ebola dalam dua dekade terakhir. Pada 16 November 2002, kasus pertama penyakit pernapasan akut terjadi di Kota Foshan, Provinsi Guangdong, Cina. Ketika itu tenaga medis di Cina gagal mendeteksi jenis penyakit yang kemudian mewabah di dunia. China jadi titik tolak penyebaran Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) ke lebih dari 25 negara di seluruh dunia.
SARS merupakan virus menular yang berkembang dari penampungan hewan, seperti kelelawar, kemudian menyebar ke hewan lain seperti kucing dan musang, lalu ditularkan ke manusia. SARS amat menyita perhatian dunia. Sejak mulai muncul pada 2002 sampai 2003, virus ini meluas hingga 26 negara dan 8.000 kasus dilaporkan akibat SARS dan membunuh hampir 800 orang di seluruh dunia. Begitu juga dengan Mers (Middle East Respiratory Syndrome).
Virus yang pertama kali muncul di Arab Saudi pada 2012 ini juga menyerang saluran pernapasan. Menurut laporan WHO, MERS menginfeksi ribuan orang di lebih dari 26 negara dan sekitar 35 persen orang yang terinfeksi MERS meninggal. Sekitar 2.494 kasus dilaporkan terkait MERS, termasuk 858 sudah meninggal dunia. Sebagian besar kasus MERS terjadi di Saudi Arabia.
Belum genap satu dekade atau 10 tahun, dunia kembali dihebohkan virus yang juga menyerang saluran pernapasan. Virus jenis corona yang awalnya dinamakan 2019-nCov kemudian pada perkembangannya dinamakan virus corona baru atau Covid-2019 pertama kali ditemukan di Wuhan, Provinsi Hubei, China.
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu
Seperti sebuah siklus, namun, tentu saja, kita semua tidak menginginkan wabah virus mengerikan seperti yang sudah berlalu akan terulang lagi di tahun-tahun ini. Apalagi dalam catatan sejarah yang sudah diungkapkan sejumlah ilmuwan dan sejarahwan, wabah virus baru tidak sedikit dalam mengeliminasi manusia dari kehidupannya. Tetap waspada, dan menjaga diri! (A/R2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: RSIA Indonesia di Gaza, Mimpi Maemuna Center yang Perlahan Terwujud