Prof Dr. Sudarnoto Abdul Hakim adalah Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional.
Tanggal 15 Maret telah ditetapkan oleh PBB dalam sidang umumnya (General Assembly) sebagai hari internasional melawan Islamophobia. Ide yang diajukan oleh Pakistan atas nama OKI ini sangat penting menjadi perhatian semua pihak, tidak saja oleh masyarakat muslim dan ormas-ormas Islam di mana saja.
Islamophobia sudah muncul dan berkembang cukup lama bahkan hingga hari ini di banyak wilayah dunia.
Peringatan hari perlawanan terhadap Islamofobia tentu sangat penting dilakukan setiap tahun dengan berbagai cara. Akan tetapi langkah-langkah kongkrit yang dilakukan secara bersama-sama di berbagai wilayah dunia jauh lebih penting.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta
Resolusi ini harus diwujudkan sehingga muncul kepastian bahwa gerakan Islamofobia ini benar-benar berkurang secara signifikan kalaupun tidak bisa terhapus sama sekali.
Pertanyaannya adalah apakah gerakan Islamofobia ini telah benar-benar berkurang secara signifikan atau malah berkembang pesat? Kasus-kasus yang terjadi misalnya di India dan pembakaran al-Quran di Swedia yang belum lama ini terjadi adalah bukti nyata bahwa Islamofobia bisa terjadi kapan saja dan di mana saja baik di negara-negara Barat maupun di negara Timur lainnya.
Gerakan ini memang dilakukan oleh banyak kelompok kepentingan di banyak tempat dengan eskpresi dan cara yang bervariasi.
Saya ingin menegaskan bahwa “Islamofobia ini sebetulnya tidaklah semata-mata anti kepada Islam dan umat Islam, akan tetapi juga menginjak-injak Universal Declaration of Human Rights. Karena itu, Islamofobe adalah musuh nyata kemanusiaan universal. Dan karena itu, tantangannya masih sangat besar untuk melawan Islamofobia ini.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
Diantara tantangan itu ialah political will semua negara antara lain untuk membuat undang-undang yang benar-benar bisa memberikan jaminan hukum dan politik bahwa fobia (termasuk Islamofobia) tidak terjadi.
Undang-undang ini disamping memberikan arah kepada masyarakat untuk bersikap toleran terhadap perbedaan, sekaligus memberikan sanksi keras bagi siapa saja yang dengan cara apa saja memicu kebencian di tengah-tengah masyarakat.
Kenyataan yang sering terjadi di masyarakat kita misalnya adalah tindakan kekerasan verbal bahkan fisik terhadap tokoh agama atau kepada siapa saja dengan alasan dan motif apapun. Penghinaan dan ujaran kebencian kepada ajaran agama juga sering terjadi.
Yang sangat memprihatinkan adalah justru negara menjadi aktor utama tindakan kekerasan terhadap agama dan komunitas agama tertentu. Ini yang misalnya terjadi di India. Dengan adanya undang-undang ini, maka ada kepastian bahwa negara hadir dalam menghentikan Islamofobia.
Baca Juga: Sejarah Al-Aqsa, Pusat Perjuangan dari Zaman ke Zaman
Indonesia, sebagai negara muslim terbesar seharusnya menjadi negara percontohan bagaimana toleransi dibangun dan diperkuat, human fraternity diperkokoh, dan kebencian kepada agama apapun tidak terjadi.
Indonesia memiliki peluang yang besar untuk membangun sebuah sistem hukum yang antara lain memberikan jaminan terhadap perbedaan agama dan pelaku kebencian kepada agama dan umat beragama akan menerima sanksi keras.
Masalahnya, tanda-tanda Islamofobia bergerak di Indonesia dan melakukan aksinya sudah terasa dengan banyak cara dan saluran Karena itu harus ada langkah-langkah cepat dan pasti agar Indonesia tidak mengalami keterlambatan menangani Islamofobia.
Indonesia harus dijaga secara konstitusional agar ekstimisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islamofobe dan kelompok apapun tidak membajak demokrasi, membajak kemanusiaan, membajak agama dan membajak negara. Peran negara sangat penting dan kontribusi seluruh kekuatan civil society juga sangat berharga.
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Bagi negara anggota OKI termasuk Indonesia, resolusi ini juga merupakan ruang dan kesempatan besar untuk melakukan langkah-langkah strategis baik sendiri maupun bersama-sama secara kolaboratif.
Diantara langkah ini ialah pengarusutamaan Washotiyatul Islam melalui berbagai program yang juga terpadu. Khusus Indonesia, ini menjadi peluang besar untuk membuktikan bahwa Indonesia bisa menjadi pusat Washatiyatul Islam global, sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh Presiden Jokowi beberapa waktu yang lalu.
Waktunya tidak lagi memperbanyak retorika, akan tetapi bekerja keras untuk Washotiyatul islam ini sehingga Rahmatan lil alamin benar-benar bisa terwujud dan dirasakan.
Ini sekaligus juga menjadi peluang bagi Indonesia untuk melakukan konsolidasi kebangsaan secara internal sehingga semua pihak benar-benar berkomitmen tinggi untuk membangun Indonesia sebagai negara dan bangsa yang relijius berKetuhanan Yang Maha Esa, berkeadilan, dan berkeadaban memperteguh kesatuan menegakkan musyawarah sebagaimana yang amanah Pancasila.
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Tidak boleh ada yang menyakiti dan tersakiti karena ini bisa memicu ekstrimisme dan menggoyah sendi kebangsaan.
Islamophobia adalah juga satu bentuk lain dari ekstrimisme yang sangat membahayakan bagi siapapun. Namun demikian menangkal dan melawan Islamophobia ini juga harus dilakukan dengan cara-cara yang manusiawi dan beradab, tidak dengan cara-cara ekstrim dan dzolim.
Karena itu, kerjasama dengan berbagai pihak dalam menyusun dan mengimplementasikan program menangkal dan melawan Islamofobia ini menjadi sangat penting. Dan bulan Ramadhan ini seharusnya bisa dimanfaatkan untuk memperteguh atau memperkuat semangat melawan Islamofobia dengan cara memperkuat Washotiyatul Islam. (AK/RE1/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis