Webinar Peranan Madrasah dalam Solidaritas Kemanusiaan

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI Muhadjir Effendy, Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap Republik Indonesia untuk UNESCO Ismunandar, Philantropy and Development Consultant, Islamic Museum of NYC Randa Kuziez, dan Guru Besar Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Amin Abdullah.(Foto: Istimewa)

Jakarta, MINA – Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy mengatakan, pendidikan disadari harus mampu bertransformasi seiring tantangan umat manusia yang semakin kompleks sebagaimana ditunjukkan oleh pandemi Covid-19.

Menko mengemukakan hal ini pada lebih dari 1.100 peserta webinar bertema “ UNESCO dan Peran dalam Mengokohkan Solidaritas Kemanusiaan”, Kamis (10/3).

Webinar diselenggarakan Maarif Institute dan Institut Leimena, didukung Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhamadiyah, RBC Institute A Malik Fadjar, dan Templeton Religion Trust.

Menko PMK mengatakan, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menyoroti pentingnya solidaritas global dalam visi pendidikan dunia tahun 2050.

Ia memaparkan, UNESCO mengeluarkan dokumen visi pendidikan 2050 Reimagining Our Futures Together yang diluncurkan pada 10 November 2021.

Masa depan (futures) berlaku jamak karena setiap masyarakat berhak mendefinisikannya sesuai budaya dan latar belakang masing-masing.

“UNESCO telah menempatkan pendidikan sebagai kunci dalam kemajuan sebuah bangsa, di samping kesehatan. Keduanya, kesehatan dan pendidikan ibarat dua sisi mata uang yang satu sama lain saling menguatkan,” kata Muhadjir.

.Menko Muhadjir mengatakan PBB melalui UNESCO telah mencanangkan empat pilar pendidikan yaitu learning to be, learning to know, learning to do, dan learning to live together.

Dia menjelaskan pendidikan di Indonesia telah dimulai sejak sebelum kemerdekaan berupa lembaga pendidikan tradisional berbasis agama. Pondok pesantren muncul sebagai pendidikan berbasis agama Islam di kantong-kantong perjuangan sekaligus menjadi pusat perlawanan terhadap penjajah.

“Indonesia dengan realita kehidupan aneka ragam, termasuk agama, adalah ciri atau karakter bangsa. Di situ dituntut kesediaan toleransi, saling menghargai, dan tenggang rasa. Maka muatan berkaitan semangat inklusif yang diprakarsai lembaga pendidikan keagamaan termasuk madrasah, menjadi sangat penting,” kata Muhadjir kepada lebih dari 1.100 peserta webinar.

Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap Republik Indonesia untuk UNESCO, Ismunandar, mengatakan visi pendidikan 2050 menggarisbawahi kebutuhan akan solidaritas global. Ismunandar mencontohkan ancaman kepada bumi karena eksploitasi kebutuhan dan gaya hidup manusia.

“Saat ini dibutuhkan 1,6 bumi atau hampir 2 bumi untuk memenuhi jejak karbon manusia,” ujarnya.

Masalah lainnya adalah turunnya demokrasi dan bangkitnya supremacism dan chauvinism. Di samping itu, kesenjangan digital menghambat akses kepada pendidikan terutama saat pandemi, serta munculnya kecerdasan digital yang diprediksi bisa menghilangkan banyak pekerjaan di dunia.

“Semua ini kuncinya adalah bagaimana solidaritas global. Sudah disadari banyak problem kehidupan manusia yang membutuhkan solusi bersama-sama seluruh penduduk bumi,” kata Ismunandar.

Ismunandar mengatakan visi pendidikan 2050 mendorong semua pihak menyusun kontrak sosial baru terdiri dari nilai dasar, desain pembelajaran, serta aktivitas dan pelaku. Ini adalah dokumen ketiga setelah Learning to be: the world of education today and tomorrow (1972) dan Learning: the treasure within (1966). Penyusunan dokumen melibatkan sekitar 1 juta orang terutama lewat konsultasi daring dan disusun sebelum pandemi Covid-19.

Madrasah Model Solidaritas

Konsultan Filantropi dan Pengembangan Museum Islam Kota New York, Amerika Serikat (AS), Randa Kuziez, berpendapat madrasah bisa menjadi model penting dalam solidaritas global.

Sebagai contoh, sekolah-sekolah Islam di AS memungkinkan anak-anak maju secara akademik dan pengetahuan tradisi keislaman. Keberadaan sekolah-sekolah Islam itu meningkatkan solidaritas manusia yang bersumber dari Al-Quran.

“Al-Quran menyatakan Tuhan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Lita’arafu. Ayat ini sangat penting dipahami masyarakat, bahwa tanggung jawab kita membangun solidaritas dengan semua orang,” kata Kuziez, yang merupakan warga AS keturunan Suriah.

Menurutnya, konsep “ummah” juga menunjukkan solidaritas antar manusia dan komunitas global.

“Saya sangat senang dapat menggalang dana untuk membangun museum Islam di jantung kota New York. Ini bisa menjadi peluang orang-orang untuk belajar khazanah sejarah Islam dan bagaimana kita bisa membangun solidaritas manusia,” kata Kuziez.

Guru Besar Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Amin Abdullah mengatakan dokumen UNESCO tentang visi pendidikan 2050 semakin menegaskan pentingnya empati dan simpati dengan siapa pun yang berbeda untuk membangun kolaborasi.

Namun, dia menyadari tidak semua penganut agama siap menghadapi kenyataan sosial baru atau pergeseran mendasar dalam hubungan sosial, kultural, dan keagamaan.

Senior Research Fellow University of Washington, Chris Seiple, berusaha mengembangkan visi pendidikan 2050 UNESCO lewat pendekatan Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang mencakup tiga kompetensi untuk berkolaborasi dalam menghadapi berbagai persoalan dan tantangan.

Mudir Pondok Modern Muhammadiyah Paciran Lamongan, Jawa Timur, M. Rifqi Rosyidi, mengingatkan agar upaya madrasah dalam memperbaiki kualitas manusia lewat pemantapan akidah/tauhid tidak melulu dikaitkan dengan gerakan radikalisme dan terorisme.

“Landasan teologi yang kuat dan benar mampu menghadirkan pribadi-pribadi sangat inklusif. Umar bin Khatab dikenal sebagai figur yang tegas dalam masalah akidah, tapi tindakannya sangat inklusif,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Maarif Institute Abd Rohim Ghazali mengingatkan pendidikan madrasah harus dirancang dengan prinsip profesionalisme, mendalam, saling terhubung, kerja sama, kesetaraan, dan inklusi.

Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, menambahkan salah satu kunci untuk menghadapi tantangan global ke depan seperti digambarkan UNESCO adalah solidaritas kemanusiaan yang kokoh, saling memahami, dan menghormati, serta bekerja sama dengan orang yang berbeda.

“Maka kesiapan bangsa kita menghadapi tantangan global ikut ditentukan kemampuan pendidikan berbasis keagamaan kita untuk memperkokoh solidaritas kemanusiaan,” kata Matius. (R/R1/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)