USTAZ Yahya Yopie Waloni atau yang lebih dikenal dengan Ustaz Yahya Waloni , meninggal dunia saat khutbah Shalat Jumat di Masjid Darul Falah Minasa Upa, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (6/6).
Sebelumnya, Ustaz Yahya Waloni juga menjadi khatib Salat Idul Adha di salah satu masjid di Jalan Rajawali Kota Makassar. Tidak hanya tersebar di sosial media, kabar wafatnya Ustaz Yahya Waloni juga ramai di grup-grup WhatsApp.
Ustaz Yahya Waloni bukanlah nama yang asing di pentas dakwah Islam Indonesia. Sosoknya dikenal luas sebagai penceramah yang lantang, penuh semangat, dan kontroversial. Namun di balik retorika tajamnya, tersimpan kisah perjalanan spiritual yang dramatis—sebuah transformasi dari pendeta Kristen menjadi dai Muslim, yang bagi sebagian orang menjadi simbol kekuatan hidayah Allah Ta’ala.
Yahya Waloni lahir di Manado, Sulawesi Utara, dari keluarga Kristen yang taat. Ia dibesarkan dalam tradisi Protestan, dan sejak muda telah menunjukkan bakat dalam bidang keagamaan. Ia menempuh pendidikan teologi dan dikenal sebagai salah satu calon pendeta muda yang menjanjikan. Dalam beberapa catatan dan ceramahnya, Waloni mengaku pernah menjabat sebagai pendeta dan bahkan menjadi rektor di sebuah sekolah tinggi teologi di Papua.
Baca Juga: Leila Khaled: Pejuang Perempuan Palestina yang Ikonik dan Abadi dalam Sejarah Perlawanan
Kiprah Yahya Waloni sebagai pemuka agama Kristen terbilang menonjol, namun justru dari sanalah perjalanan spiritualnya mengalami perubahan besar. Dalam berbagai kesaksiannya, ia mengungkapkan bahwa ketika mendalami isi Kitab Suci, muncul berbagai pertanyaan mendalam yang tak kunjung mendapat jawaban memuaskan. Rasa ingin tahunya kemudian membawanya menelusuri ajaran Islam, yang pada awalnya hanya sebagai bagian dari studi perbandingan agama. Namun, proses pembelajaran itu malah menjadi titik awal transformasi besar dalam hidupnya.
Pada tahun 2006, Yahya Waloni menyatakan keislamannya dengan mengucap dua kalimat syahadat. Keputusan ini mengagetkan banyak pihak, sebab ia sebelumnya dikenal sebagai tokoh gereja berpengaruh di kawasan timur Indonesia. Ia mengaku bahwa keislaman yang ia anut bukan datang secara tiba-tiba, melainkan hasil dari pencarian spiritual yang serius. Dalam Islam, ia akhirnya menemukan jawaban yang menenangkan atas berbagai kegelisahan batin yang selama ini ia alami.
Keputusannya menjadi mualaf tidaklah mudah. Ia mengaku mengalami tekanan sosial dan konflik keluarga yang cukup berat. Namun Waloni tetap teguh. Ia kemudian mendalami Islam secara lebih sistematis, belajar langsung dari para ulama, dan tidak lama kemudian mulai aktif berdakwah.
Yahya Waloni dikenal sebagai penceramah yang blak-blakan dan tidak segan menyinggung isu sensitif, terutama yang berkaitan dengan perbandingan agama. Ia kerap mengutip pengalaman pribadinya sebagai mantan pendeta untuk menguatkan argumen dakwahnya. Gaya retorikanya keras, penuh emosi, dan terkadang memicu kontroversi.
Baca Juga: Shaukat Ali Khan (1873-1938): Pejuang Kemerdekaan India dan Pendukung Besar Palestina
Namun di sisi lain, banyak umat Muslim, terutama dari kalangan awam dan pedesaan, yang merasa tersentuh dengan kisah hijrahnya. Bagi mereka, Waloni adalah simbol kekuatan iman dan bukti bahwa kebenaran Islam bisa ditemukan bahkan oleh mereka yang semula berada jauh darinya.
Yahya aktif berdakwah dari masjid ke masjid, di berbagai kota, bahkan hingga pelosok daerah. Ceramahnya sering diunggah di YouTube dan mendapatkan jutaan penonton. Ia juga menjadi pengisi acara di beberapa stasiun televisi dakwah. Dalam ceramahnya, ia sering menyuarakan pentingnya menjaga akidah, waspada terhadap misi kristenisasi, dan pentingnya umat Islam untuk bersatu dalam menegakkan syariat.
Namun ketegasannya dalam menyampaikan pendapat juga membawanya ke dalam pusaran kontroversi. Yahya Waloni beberapa kali dilaporkan atas dugaan ujaran kebencian, terutama terkait komentarnya terhadap agama lain. Pada 2021, ia ditangkap oleh pihak kepolisian atas kasus ujaran kebencian yang viral di media sosial.
Meski begitu, pendukungnya tetap setia. Bagi mereka, Waloni adalah pejuang dakwah yang berani mengambil risiko. Ia disebut sebagai seorang mualaf yang tidak hanya menerima Islam secara spiritual, tetapi juga siap menanggung beban dakwahnya di tengah masyarakat yang plural.
Baca Juga: Raja Faisal: Sang Raja Pemberani Pembela Palestina
Yahya Waloni meninggal dunia Jumat 6 Juni 2025 dalam kondisi yang tak banyak ulama alami, saat menyampaikan khutbah. Kepergiannya dalam aktivitas dakwah menjadi catatan tersendiri dalam sejarah kehidupan para dai di Indonesia. Banyak yang menganggapnya sebagai bentuk husnul khatimah, wafat dalam keadaan menegakkan kalimatullah.
Jenazahnya dishalatkan oleh ribuan umat di sebuah masjid besar, dan banyak yang datang dari jauh sebagai bentuk penghormatan terakhir. Para sahabat, keluarga, dan pengikutnya mengenang beliau sebagai sosok yang penuh keberanian, walau tak lepas dari kontroversi.
Terlepas dari beragam pandangan terhadap dirinya, Yahya Waloni telah mencatatkan namanya dalam sejarah dakwah Islam di Indonesia masa kini. Melalui perjalanan hidupnya, ia menunjukkan bahwa Islam bersifat universal dan terbuka bagi siapa pun, tanpa memandang latar belakang suku maupun agama. Dalam banyak ceramahnya, ia kerap menekankan bahwa “Islam bukanlah warisan turun-temurun, melainkan hasil dari pilihan yang sadar dan pribadi.”
Gaya dakwah Yahya yang berani dan terus terang, meskipun kerap menimbulkan kontroversi serta berbenturan dengan nilai-nilai toleransi di ruang publik, merefleksikan sisi lain dari realitas dakwah di Indonesia, yakni sebagai ekspresi iman sekaligus arena dialektika pemikiran keagamaan.
Baca Juga: Ummu Haram binti Milhan, Sahabiyah yang Menjadi Syahidah di Pulau Siprus
Kini Yahya Waloni telah tiada, namun kisah perpindahan keyakinannya dan semangatnya dalam menyebarkan Islam tetap hidup dalam memori banyak orang. Meskipun tidak semua pihak merasa nyaman dengan cara penyampaiannya, bagi sebagian umat ia adalah sosok yang menggugah kesadaran Islam dalam menghadapi tantangan zaman. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Dr Joserizal Jurnalis: Pendiri MER-C, Pejuang Kemanusiaan dari Indonesia untuk Dunia