YAMAN YANG MEMBARA

IllaKartila1-225x300Oleh: Illa Kartila, Redaktur Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Yaman – Utara dan Selatan yang dulu adalah negeri tenteram dan damai sehingga dikenal dengan julukan Arabia Felix (Arab yang berbahagia), sejak tahun 1994 berubah menjadi kancah perang saudara antara pemerintah Yaman dengan pengikut partai sosialis di wilayah selatan Yaman.

Konflik tersebut dipicu keinginan untuk melepaskan diri dan membentuk kembali negara Yaman Selatan. Perang yang dikenal dengan sebutan “Perang Musim Panas 94” ini berakhir setelah Pemerintah Yaman berhasil menguasai keadaan.

Setelah Yaman bagian selatan reda, Yaman kembali digoyang pemberontakan kelompok Al-Houthi di wilayah utara, di Provinsi Sa’adah, yang berbatasan langsung dengan Arab Saudi. Kelompok ini sebenarnya ada sejak tahun 1994, namun pada tahun 2004 mulai melakukan perlawanan total.

Nama Al Houthi berasal dai pemimpin mereka, Hussein Badreddin Al-Houthi yang tewas dibunuh tentara Yaman tahun 2004. Awalnya kelompok ini menamakan diri “As-Shabab Al-Mukminin” kelompok oposisi yang menentang invasi AS di Irak serta campur tangan AS di Yaman.

Setelah pemimpin gerakan ini Hussein Badreddin Al Houthi terbunuh, saudaranya, Abdul Malik Houthi menggantikan posisinya. Ia mempopulerkan Al Houthi sebagai nama gerakannya. Gerilyawan Al Houthi mayoritas Muslim Zaidiyah (salah satu aliran dalam Syiah), maka dianggap ancaman serius bagi Yaman dan Arab Saudi.

Konflik bersenjata di Yaman semakin memburuk akibat gejolak sebelumnya yang terjadi selama bertahun-tahun yang merupakan dampak dari gelombang Arab Spring yang terjadi pada akhir 2010.

Api berkobar dari serangan bom yang dijatuhkan di Yaman (foto:klik positip.com) 
Api berkobar dari serangan bom yang dijatuhkan di Yaman (foto:klik
positip.com)

Gelombang Arab Spring yang melanda negara-negara Timur Tengah bermula dari ketidakpuasan warga negara-negara Arab terhadap pemerintah mereka. Gelombang protes yang pertama pecah di Tunisia pada Desember 2010, kemudian menyebar ke negara Arab lainnya.

Akhir Januari 2011, gelombang protes mencapai Yaman. Warga menuntut turunnya Presiden Yaman saat itu, Ali Abdullah Saleh. Protes-protes yang terjadi menimbulkan banyak korban jiwa. Sampai Ali mundur dari jabatan pada akhir Februari 2012, korban jiwa dari warga sipil telah mencapai 2.000 orang lebih.

Menguatnya bantuan Amerika Serikat ke Yaman menarik perhatian Al Qaeda, kelompok ini selalu mengincar AS. Jihadis Al Qaeda segera berdatangan ke Yaman Selatan, menyebabkan Yaman Selatan yang dulu dipengaruhi komunis, kini menjadi basis kelompok Salafi Jihadi Al Qaeda (kelompok Al Qaeda Semenanjanung Arab/AQAP) yang kemudian konflik dengan pemerintah Yaman.

Setelah Presiden Ali mundur, pihak oposisi menunjuk Wakil Presiden Abd Rabbo Mansour Hadi untuk menggantikannya. Penunjukan Hadi sebagai Presiden Yaman langsung mendapat reaksi keras dari AQAP yang menuduhnya antek Amerika Serikat (AS).

Ketidakstabilan politik di Yaman yang terjadi selama upaya penggulingan Ali Abdullah Saleh menjadi celah bagi kelompok pemberontak Houthi yang beraliran Syiah untuk mencoba merebut kekuasaan dari pemerintah. Keadaan makin memanas dengan memuncaknya konflik Sektarian Syiah yang diwakili oleh Kelompok Houthi dengan kaum Sunni yang berada di pihak Pemerintah Yaman.

Baca Juga:  Mahasiswa Generasi Baru di AS Beri Harapan kepada Palestina

Akhir September 2014 Perdana Menteri Yaman Salem Basindwa mengundurkan diri sebagai syarat pembicaraan gencatan senjata yang diajukan oleh Kelompok Houthi. Salem digantikan oleh Khaled Bahhah.

Abd Rabbo Mansour Hadi awal 2015 menyatakan mundur dari jabatan Presiden Yaman, yang membuat kekuasaan di Yaman lowong. Pemerintahan bentukan Kelompok Houthi tidak mendapat dukungan dari warga Yaman. Akhir Februari Hadi berhasil melarikan diri dari ibu kota Sanaa dengan bantuan Dewan Keamanan PBB. Dia kemudian menarik pengunduran dirinya dan  mengumumkan Aden sebagai ibu kota sementara Yaman.

       Pada 20 Maret 2015, dua bom bunuh diri mengguncang Yaman, menewaskan 142 orang dan melukai ratusan lainnya. Kelompok militan ISIS mengaku bertanggung jawab atas kejadian ini, sekaligus mengumumkan keterlibatan mereka dalam konflik.

       Presiden Hadi kemudian meminta bantuan dari Arab Saudi dan negara-negara Teluk untuk memulihkan kekuasaannya di Yaman. Arab Saudi menyanggupi permintaan itu dan memulai melakukan serangan udara ke Yaman.

Saat ini konflik di Yaman terus terjadi. Ditambah lagi dengan kemungkinan bergabungnya Iran untuk membantu saudara Syiah mereka yakni Kelompok Houthi. Serangan udara dari pasukan koalisi yang dipimpin Arab Saudi menelan banyak korban. PBB telah mencoba membawa pihak-pihak yang bertikai kembali berunding, namun belum menampakkan hasil.

Tiga faktor

Menurut pengamat politik Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Abdul Muta’ali, ada tiga faktor penyebab pemberontakan di Yaman. Pertama masalah Al Qaeda, kedua masalah kemiskinan dan ketiga adalah masalah Syiah.

Dia menyebutkan, setelah mangkatnya Ali Abdullah Saleh, hingga kini Yaman terus bergejolak, bukan hanya karena dampak domino dari Arab Spring, tapi juga imbas dari debit masalah nasional yang tak terkelola dengan baik.

Kondisi Yaman tak kunjung stabil sejak rezim Ali Abdullah Saleh jatuh pada 2011. Hadi yang terpilih pada 2012 tak mampu membuat Yaman stabil. Pada September 2014, pemberontak Houthi berhasil menguasai Ibu Kota Sanaa. Tak hanya berhenti di sana, pada awal 2015 pemberontak menguasai kediaman Hadi dan berhasil memaksa dia mundur.

Bahkan Arab Saudi melancarkan serangan udara terhadap pemberontak Houthi di Yaman, akhir Maret, mengawali gerakan sekutu kawasan itu untuk menyelamatkan pemerintahan Presiden Hadi yang berada di ambang perang saudara.

Serangan udara tersebut diumumkan Duta Besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat dan Washington mengatakan, Presiden Barack Obama mengizinkan pemberian dukungan ‘perbekalan dan sandi’ untuk gerakan militer.

Lima negara Teluk – Qatar, Kuwait, Bahrain dan UEA bersama Arab Saud – memenuhi  permintaan Hadi untuk campur tangan melawan kelompok milisi yang telah mengepung kota Aden – guna melindungi Yaman dan rakyatnya dari agresi milisi Houthi.

Baca Juga:  Ini Kekuatan Media Online di Era Digital

Sementara itu menurut Juru bicara Kemenlu Arrmanatha Nasir atau Tata, perang saudara yang tengah terjadi di Yaman sangat rumit untuk dicari jalan penyelesaiannya. Sebab, konflik di Yaman bukan semata-mata mengenai persoalan negara Islam, melainkan sudah meluas kepada konflik di berbagai sektor.

“Perlu ada strategi khusus dan kerjasama negara-negara Islam lain juga untuk meredamnya,” kata Tata. “Cara yang harus dilakukan oleh negara-negara Islam termasuk Indonesia adalah agar giat mendorong dengan menunjukkan bahwa sebenarnya Islam sudah jelas mengajarkan tentang kedamaian.”

Kehancuran akibat perang di Yaman (foto: voaindonesia.com)
Kehancuran akibat perang di Yaman (foto: voaindonesia.com)

Maraknya konflik dan peperangan di negara-negara Timur Tengah menurut dia, menjadi preseden buruk bagi Islam di mata dunia. “Kita ingin mendorong Islam adalah suatu agama yang damai dan cinta kedamaian. Ini bukan bergerak untuk konflik di Yaman saja, tapi untuk semua konflik di negara Islam.”

Korban anak-anak dan wanita

Sudah lebih dari 100 ribu warga Yaman meninggalkan rumah mereka pasca koalisi Saudi melancarkan serangan udara di wilayah tersebut. Juru Bicara PBB, Rajak Madhok mengatakan, mereka yang meninggalkan rumah sebagian besar adalah kaum perempuan dan anak-anak.

“Sebagian besar pemindahan terjadi dari dan dalam al-Dhale, Abyan, Amran, Saada, Hajja. Orang yang terlantar sebagian besar menjadi tanggungan para kerabat,” kata Madhok seperti dilaporkan Aljazeera.

Badan PBB – UNICEF – mengaku telah memberikan bantuan terhadap korban perang yaitu anak-anak dan kaum wanita. Data yang diperoleh UNICEF menyebutkan, sebanyak 74 anak-anak tewas dalam serangan itu dan 44 lainnya mengalami luka-luka sejak 26 Maret lalu.

“Ini adalah angka konservatif dan UNICEF percaya bahwa jumlah anak yang tewas jauh lebih banyak dari angka tersebut,” kata pernyataan itu.

Sementara itu, perwakilan Yaman, Julian Harneis menyebutkan, anak-anak yang menjadi korban peperangan harus dilindungi. “Anak-anak ini harus segera diberikan penghormatan khusus dan perlindungan oleh semua pihak dalam konflik, sejalan dengan hukum kemanusiaan internasional.”

Anak-anak tidak berdosa korban perang di Yaman (foto:  myartikel.wordpress.com)
Anak-anak tidak berdosa korban perang di Yaman (foto:
myartikel.wordpress.com)

Sementara itu total korban tewas akibat pertempuran di Yaman sejak akhir Maret mencapai lebih dari 1.000 orang, termasuk hampir 50 anak-anak, kata Badan Kesehatan Dunia (WHO). Badan PBB itu menyatakan sedikitnya 1.080 orang tewas di negara tersebut, termasuk anak-anak dan wanita, serta 4.352 orang luka akibat kekerasan sejak 19 Maret hingga 20 April 2015.

Laporan AFP yang dikutip kantor berita ANTARA menyebutkan, WHO menerima angka tersebut dari sarana kesehatan di Yaman, tapi karena banyak orang tidak dapat ke rumah sakit untuk perawatan, angka pasti mungkin lebih tinggi. Ibu kota Sanaa mencatat kematian terbanyak, dengan 209, termasuk 21 anak-anak dan lima perempuan. 936 lainnya terluka termasuk 84 anak- dan 44 perempuan.

Baca Juga:  Refleksi Hardiknas dan Penguatan Kembali Ekosistem Pendidikan Kita

Di kota utama selatan Aden, 191 orang tewas, termasuk dua anak-anak, dan 1.237 terluka. Jumlah korban terkini itu disiarkan saat pesawat tempur sekutu pimpinan Arab Saudi melancarkan serangan baru di negara tersebut, meskipun pemberontak Houthi menuntut penghentian mutlak serangan itu sebagai syarat pembicaraan perdamaian yang diminta PBB.

Arab Saudi pada 24 April menghentikan serangan udara yang ditujukan kepada kelompok gerilyawan Houthi di Yaman dan mendukung upaya solusi politik untuk mengakhiri perang saudara di negara tersebut.

Iran, yang merupakan pendukung utama Houthi, menyambut baik tindakan Arab Saudi tersebut. “Operasi kami telah berhasil mencapai tujuannya. Arab Saudi dan negara-negara tetangga telah terbebas dari ancaman, terutama dalam hal persenjataan berat,” demikian pernyataan tertulis yang disiarkan oleh kantor berita SPA.

Berakhirnya operasi militer itu kemudian akan diikuti oleh misi baru bernama “Operation Restoring Hope” yang akan mengkombinasikan upaya politik, diplomatik, dan militer dengan fokus pada “proses politik yang menciptakan kestabilan dan keamanan bagi Yaman.”

Meski demikian, juru bicara militer Arab Saudi Brigadir Jenderal Ahmad Asseri mengatakan bahwa koalisi internasional yang dipimpin negaranya masih berwenang melancarkan serangan ke Houthi. “Koalisi akan terus berupaya mencegah milisi Houthi untuk berpindah tempat atau melakukan serangan di Yaman.”

Gedung Putih juga menyambut baik langkah Arab Saudi dan negara-negara koalisi terkait penghentian operasi militer di Yaman,” kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, Alistar Baskey.

Kelompok pemberontak Houthi yang semakin terdesak, juga meminta agar PBB mendesak Arab Saudi menghentikan serangan udaranya. Mereka mendeskripsikan serangan udara Arab Saudi sebagai agresi yang membabi-buta. Akibatnya, beberapa wilayah di Yaman porak-poranda.

“Kami ingin menekankan situasi tragis ini terjadi karena agresi berkelanjutan dari Arab Saudi pada negara dan rakyat Yaman,” kata Pejabat Hubungan Luar Negeri Houthi Hussein al-Ezzi, seperti dikutip dari kantor berita Reuters awal Mei.

Surat terbuka itu langsung ditujukan Milisi Houthi kepada Sekjen PBB, Ban Ki Moon. Dia meminta badan dunia itu turun tangan agar keadaan di Yaman bisa kembali kondusif. “Kami menantikan peranan kemanusian aktif dari anda (PBB) agar serangan udara Saudi bisa diakhiri,” kata Al-Ezzi.

Perang saudara di Yaman yang memuncak dalam enam pekan terakhir ini telah merenggut ribuan nyawa dan korban luka termasuk penduduk sipil, wanita dan anak-anak yang tidak berdosa.

Jika saja pernyataan koalisi militer pimpinan Arab Saudi untuk mengakhiri misinya menggempur Yaman dengan serangan udara – terkait dengan kampanye melindungi warga sipil dan mencegah pemberontak Houthi melakukan operasi bersenjata – benar-benar diwujudkan, maka ada harapan bagi rakyat Yaman untuk sejenak lepas dari konflik berdarah berkepanjangan itu. (R01/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Admin

Editor: Ali Farkhan Tsani

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0