Yerusalem, MINA – Kesucian bulan suci Ramadan, yang bertepatan dengan bulan Maret, tidak melindungi warga Palestina di Yerusalem dari pelanggaran dan pengusiran oleh pendudukan Israel terhadap mereka dari Masjidil Aqsa.
Gerbang-gerbang Al-Aqsa menyaksikan pembatasan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap masuknya jamaah sejak awal Ramadan 1446 Hijriyah. Al Jazeera melaporkan, Selasa (1/4).
Selain itu, perintah acak untuk mencegah jamaah memasuki tempat suci ini dikeluarkan, beberapa di antaranya disampaikan secara lisan ketika para pemuda meninggalkan masjid setelah salat Tarawih selama hari-hari pertama bulan suci.
Al Jazeera juga memantau delapan kasus deportasi jurnalis, selain deportasi jamaah yang secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan itikaf di Masjidil Aqsa.
Baca Juga: PRCS Kecam Kejahatan Perang Besar-besaran Israel
Kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk tetap berhati-hati dan tidak mengungkapkan informasi mereka karena takut dituntut.
Selama bulan Maret bertepatan dengan Ramadhan, 2.609 pemukim Yahudi menyerbu halaman Masjidil Aqsa.
Jumlah ini terbilang rendah jika dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya, mengingat Gerbang Maghariba sempat ditutup bagi jamaah yang ingin melakukan itikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan dan Idul Fitri.
Para aktivis dari kelompok ekstremis Yahudi Temple menganggap diperbolehkannya umat Muslim ke Masjidil Aqsa sebagai “penyerahan diri kepada musuh.”
Baca Juga: 500 Lebih Pemukim Israel Serbu Masjid Al-Aqsa dengan Perlindungan Ketat
Pada tanggal 16 Maret, jumlah penyerbuan tertinggi tercatat selama hari raya Yahudi Purim, dengan 555 pemukim.
Selama penyerbuan, para ekstremis YAhudi melaksanakan ritual, sebagian mengenakan jubah pendeta berwarna putih. Mereka juga menari dan bernyanyi, mengintensifkan pelanggaran mereka, khususnya di area timur yang berdekatan dengan aula shalat Bab al-Rahmah.
Polisi pendudukan Israel juga menyerbu ruang shalat Bab al-Rahmah dan Bab al-Marwani, menyita empat pengeras suara, dengan alasan bahwa pengeras suara tersebut dipasang tanpa koordinasi dengan otoritas pendudukan Israel.
Semenjak datangnya bulan Ramadan, polisi pendudukan telah melarang jamaah untuk melaksanakan itikaf pada tiap Jumat dan Sabtu, meskipun hal ini telah diizinkan pada tahun-tahun sebelumnya.
Baca Juga: Israel Akui Hamas Masih Pertahankan Kekuatan Rudalnya
Sebagian besar penduduk Tepi Barat juga dicegah mencapai Yerusalem melalui pos pemeriksaan militer untuk melaksanakan shalat Jumat selama bulan Ramadan, dan untuk memperingati Lailatul Qadar, yang menurut perkiraan Departemen Wakaf Islam dihadiri oleh 180.000 jamaah di Masjidil Aqsa. Meskipun jumlahnya mencapai 400.000 jamaah pada tahun-tahun sebelumnya.
Selama empat pekan, 325.000 jamaah melaksanakan shalat Jumat, setelah banyak penduduk Tepi Barat diusir dari pos pemeriksaan dan dicegah melintasinya, dan setelah pengusiran massal warga Yerusalem dan penduduk wilayah pendudukan dari situs suci.
Dalam langkah baru yang diberi nama “Hak Keagamaan Nasional Yahudi atas Temple Mount,” sekelompok menteri dan anggota Knesset dan sebelumnya menandatangani surat yang ditujukan kepada Kongres AS, baik Senat maupun Parlemen, yang menyerukan deklarasi kongres yang “mengakui hak abadi dan tak terbantahkan dari orang-orang Yahudi” atas Al-Aqsa.
Sejumlah 16 orang menyerukan deklarasi resmi tersebut menandatangani petisi, termasuk Menteri Komunikasi Israel dan Menteri Kebudayaan dan Olahraga, keduanya dari Partai Likud, serta anggota Knesset saat ini, termasuk Yehuda Glick dan mantan anggota Knesset Moshe Feiglin. Arieh King, wakil walikota Yerusalem, juga menandatangani petisi tersebut. []
Baca Juga: Tentara Israel Kirim Lebih Banyak Pasukan ke Tulkarem, Tepi Barat
Mi’raj News Agency (MINA)