Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
ٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا لَعِبٌ۬ وَلَهۡوٌ۬ وَزِينَةٌ۬ وَتَفَاخُرُۢ بَيۡنَكُمۡ وَتَكَاثُرٌ۬ فِى ٱلۡأَمۡوَٲلِ وَٱلۡأَوۡلَـٰدِۖ كَمَثَلِ غَيۡثٍ أَعۡجَبَ ٱلۡكُفَّارَ نَبَاتُهُ ۥ ثُمَّ يَہِيجُ فَتَرَٮٰهُ مُصۡفَرًّ۬ا ثُمَّ يَكُونُ حُطَـٰمً۬اۖ وَفِى ٱلۡأَخِرَةِ عَذَابٌ۬ شَدِيدٌ۬ وَمَغۡفِرَةٌ۬ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٲنٌ۬ۚ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَـٰعُ ٱلۡغُرُورِ
Artinya, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Q.S. Al-Hadid [57] ayat 20).
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Dunia melesat begitu cepat menuju kemewahan. Gaya hidup manusia dipaksa mengikuti tren perkembangan di segala lini, dari gaya berpakaian, asesoris, alat komunikasi, media informasi, hingga sarana transportasi.
Para produsen busana tak pernah berhenti menciptakan berbagai model terbaru pakaian yang juga selalu laku diserbu oleh masyarakat yang konsumtif. Kini, hampir setiap orang memiliki alat komunikasi yang harganya berjuta rupiah, bahkan tidak cukup punya satu dengan seiring waktu selalu berganti merek mengikuti tren keluaran terbaru.
Di jalan raya pun, gaya hidup masyarakat terlihat dari alat transportasi pribadi yang dinaiki. Mobil atau sepeda motor produksi keluaran terbaru begitu cepat tampil di jalanan, menunjukkan bahwa ada jiwa perlombaan di dalam masyarakat untuk selalu tampil dengan produk terbaru, tidak peduli dengan ukuran harga yang mahal. Terlebih para pedagang begitu memanjakan orang yang hakekatnya tidak mampu dengan sistem kredit.
Kondisi masyarakat sekarang menunjukkan bahwa salah satu karakter orang beriman yang banyak ditinggalkan adalah sifat zuhud.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Untuk memenuhi kebutuhan hidup yang serba canggih dan mewah, orang pun dituntut berlomba-lomba meraih harta dan kekayaan sebanyak-banyaknya.
Tidak ada larangan untuk menjadi kaya dan memiliki harta yang banyak, tapi akan jadi masalah jika untuk mendapatkan keduniaan itu menempuh cara yang diharamkan serta melupakan keimanan dan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ibnul Qayyim dalam bukunya Al-Fawaa’id menerangkan bahwa zuhud berarti meninggalkan sesuatu yang tidak bermamfaat demi kepentingan akhirat.
Lebih jauh, dalam kitab Tariiqul Hijratain, Ibnul Qayyim membagi zuhud menjadi tiga bagian. Pertama, zuhud yang hukumnya wajib bagi setiap Muslim, yakni zuhud terhadap hal-hal yang haram. Kedua, zuhud yang dianjurkan (mustahab). Untuk kategori ini tergantung pada tingkatan-tingkatannya, seperti zuhud dalam hal yang makruh, mubah, hal yang berlebihan, dan melakukan aneka ragam syahwat yang mubah. Ketiga, zuhud bagi mereka yang benar-benar tekun dalam melakukan ibadah kepada Allah.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Jika melihat definisi dari Ibnul Qayyim, jelas bahwa konsep zuhud bukan berarti benar-benar meninggalkan dunia sepenuhnya. Zuhud bukan berarti meninggalkan berbagai kesibukan dunia dan menjerembabkan diri dalam kemiskinan. Justeru memilih hidup miskin sama dengan menambah beban umat.
Baca saja kisah kehidupan masa terbaik pada era Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Meski mereka terkenal sebagai sosok-sosok yang zuhud, tapi tetap mereka hidup sebagai para pekerja keras dan masyarakat yang memiliki banyak kebutuhan. Memang berbeda pada era terkini, kebutuhan hidup telah diciptakan oleh manusia itu sendiri secara berlebihan.
Islam telah menunjukkan cara zuhud dengan amalan zakat dan sedekah. Semakin tak lalai zakatnya dan semakin banyak sedekahnya, maka menunjukkan bahwa seorang mukmin meletakkan harta di tangan dan di bawah kendalinya, tidak menempatkan dunia di dalam hatinya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai pemimpin umat bukanlah seorang yang miskin, beliau adalah orang kaya yang memilih hidup zuhud. Rasulullah tidak mau membiarkan ada uang dirham yang menginap di rumahnya tanpa disedekahkan. Bahkan sehari tanpa makanan di rumah tidak menjadi masalah bagi ia dan istrinya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Sosok pemimpin zuhud lainnya adalah Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Terkenal kisahnya yang memilih memikul sendiri sekarung beras untuk satu keluarga miskin yang sempat terabaikan di dalam pemerintahannya.
Jauh di masa berikutnya, kezuhudan sangat kental pada sosok Umar bin Abdul Aziz. Meski ia seorang khalifah yang sebelumnya seorang hartawan, tapi statusnya tidak membuat harta mengendalikan dirinya, tapi sebaliknya, memicunya semakin zuhud.
Lalu bagaimana sekarang? Apakah sosok zuhud itu benar-benar hilang dari masyarakat moderen? Jawabannya adalah “tidak”.
Sosok-sosok zuhud itu justeru menjadi mutiara-mutiara yang terpendam, tertutupi oleh kemewahan gaya hidup masyarakat masa kini.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Masih ada seorang dokter ternama dan berharta yang tidak segan mensedekahkan hartanya dan memilih transportasi umum sehari-hari, meski mobil mewah terparkir di garasi rumahnya. Masih banyak para orang kaya bertitel haji yang memilih tampil apa adanya tanpa kopiah putih. Masih banyak orang kaya yang memiliki satu ponsel yang hanya bisa telepon dan sms saja. Masih banyak orang beruang yang merasa lebih nyaman dengan makanan warteg dibandingkan menu restoran.
Untuk hidup zuhud, dapat dimulai dengan belajar hidup sederhana. Agar dapat hidup sederhana, pengetahuan dan pemahaman kita tentang dunia harus dibangun terlebih dahulu. Seperti salah satunya yang Allah informasikan dalam QS. Al-Hadid [57] ayat 20 di atas.
Bersikap sederhana terhadap harta akan membantu kita untuk menjauhi sifat kikir. Sebab dunia dan harta hanya ada di dalam genggaman, bukan hidup dan menetap di dalam hati. Kekikiran hanya akan mendatangkan ketamakan serta menjadikan hidup dalam keluh kesah yang berkepanjangan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ خُلِقَ هَلُوعًا
إِذَا مَسَّهُ ٱلشَّرُّ جَزُوعً۬ا
وَإِذَا مَسَّهُ ٱلۡخَيۡرُ مَنُوعًا
Artinya, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” (QS. Al-Ma’aarij [70] ayat 19-21).
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Di Hari Perhitungan kelak, seorang Mukmin akan ditanya tentang hartanya dari dua sisi, dari mana diperoleh lalu bagaimana dibelanjakannya. (P001/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin