Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“10 Ribu di Tangan Istri yang Tepat” dan Pandangan Islam tentang Nafkah

shibgotulhaq Editor : Sri Astuti - 1 jam yang lalu

1 jam yang lalu

10 Views ㅤ

Ilustrasi seorang istri sedang mengelola nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Konten berjudul “10 ribu di tangan istri yang tepat” berhasil membuat jagat media sosial ramai. Konten ini memperlihatkan bagaimana seorang istri mengolah jatah dari suaminya untuk keperluan pangan sebesar 10 ribu rupiah sehari.

Sepintas, konten ini seolah mempromosikan cara berhemat dan mengembangkan kreativitas perempuan dalam pengelolaan keuangan. Namun penggunaan frase “istri yang tepat” menuai polemik karena seolah menganulir istri-istri lain yang mungkin mendapat jatah lebih besar dari 10 ribu rupiah per hari, tetapi masih kesulitan memenuhi kebutuhan pangan keluarganya di kondisi ekonomi saat ini.

Beberapa kritik menyebut konten ini menciptakan sebuah ekspektasi dan tekanan moral kepada istri untuk bisa mengelola uang seminim mungkin agar mencukupi kebutuhan. Beberapa menyebut konten ini sebagai upaya menormalisasi kemiskinan dan bahkan sebagai bentuk kekerasan finansial dalam keluarga.

Dalam perkembangannya, sejumlah suami bahkan menjadikan konten ini sebagai pembenaran untuk menekan pasangannya agar “lebih hemat.” Seorang dokter di TikTok, @dr_mariska_haris, mengunggah cerita bagaimana seorang suami memarahi istrinya karena tidak mampu membawa anak berobat, padahal ia merasa sudah memberi uang cukup — Rp200.000 untuk sepekan.

Baca Juga: Lebih dari Sekadar FOMO, Mengapa Muslimah Wajib Menetapkan Batasan Diri

Adanya potensi dampak negatif dari konten ini membuat kita perlu  menelisik kembali pandangan Islam tekait nafkah. Bagaimana sebenarnya kewajiban suami dalam memberi nafkah kepada istri? Apakah seorang suami boleh sekadar memberi “sebatas yang ada,” meskipun jelas tidak mencukupi?

Pandangan Islam tentang Nafkah

Al-Qur’an secara tegas menjelaskan bahwa nafkah adalah tanggung jawab suami dalam keluarga. Bukan sebuah bentuk kebaikan opsional, tetapi pemenuhan tanggung jawab. Allah SWT berfirman:

وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا

Baca Juga: 5 Peran Muslimah Modern dalam Menyemai Kehidupan yang Berkah

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan sesuai kadar kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 233)

Ayat ini menegaskan dua hal penting; pertama, nafkah adalah kewajiban yang tak bisa diabaikan; kedua, nafkah harus diberikan dengan cara yang makruf (layak, wajar, dan manusiawi) sesuai kemampuan. Artinya, suami tidak boleh memberi di bawah batas layak, apalagi menjadikan kemiskinan sebagai ajang “uji kesabaran” istri.

Bahkan dalam konteks perceraian pun, Allah berfirman:

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِن كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُن

Baca Juga: Menyikapi Mental Load: Solusi Islami untuk Harmoni Keluarga

“Tempatkanlah mereka (para istri yang telah dicerai dan dalam masa iddah) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.” (QS. At-Talaq: 6)

Jika istri yang sudah ditalak saja wajib dinafkahi, maka istri yang masih dalam ikatan pernikahan tentu lebih utama untuk mendapatkan hak tersebut.

Rasulullah SAW menekankan bahwa ketika seorang suami memberikan nafkah untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak, serta diniatkan kepada Allah, maka hal tersebut merupakan bentuk ibadah.

إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ

Baca Juga: 7 Tips Digital Muslimah: Menjaga Hati di Balik Layar

“Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti), kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari no. 56)

Selain itu, Rasulullah SAW juga menegaskan, bahwa kebaikan seorang laki-laki diukur bukan dari banyak ibadah pribadinya, melainkan dari bagaimana ia memperlakukan dan menafkahi keluarganya dengan baik.

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku (istriku).” (HR. Tirmidzi no. 3895)

Baca Juga: 7 Peran Muslimah dalam Dakwah di Era Digital

Ketika Nafkah Ditahan Merupakan Bentuk Kezaliman

Dalam hadis terkenal, Hindun binti Utbah — istri Abu Sufyan — mengadu kepada Nabi SAW bahwa suaminya pelit dan tidak memberinya nafkah yang cukup. Nabi Muhammas SAW menjawab:

خُذِي مِن مَالِهِ بالمَعروفِ ما يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيكِ

“Ambillah dari hartanya yang cukup untukmu dan anak-anakmu dengan cara yang makruf (secukupnya, tidak berlebih).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Baca Juga: Muslimah Cerdas di Akhir Zaman

Hadis ini menunjukkan bahwa nafkah adalah hak istri. Jika suami tidak menunaikannya, istri berhak mengambil secukupnya tanpa dianggap mencuri. Menahan nafkah termasuk bentuk kekerasan finansial dan dosa besar, karena menelantarkan keluarga adalah bentuk kezaliman yang nyata.

Kesimpulan

Dalam Islam, nafkah bukan sekadar formalitas, tapi amanah yang harus diupayakan semaksimal mungkin. Allah SWT menegaskan bahwa kewajiban memberi makan dan pakaian kepada istri harus dilakukan bil-ma‘rūf — dengan cara yang layak, manusiawi, dan sesuai kemampuan. Artinya, suami dituntut berusaha keras agar keluarganya tercukupi, bukan hanya “sekadar memberi.”

Apabila suami mampu membeli rokok, nongkrong, atau memperindah penampilan pribadinya, tetapi istri harus memutar otak agar dapur tetap berasap, maka ada ketimpangan tanggung jawab yang perlu disadari.

Baca Juga: Batasan dalam Islam, Menjaga Iman, Bukan Sekadar Nyaman

Banyak perempuan hari ini terpaksa berhemat sampai ke titik yang memprihatinkan — menakar lauk, mengirit minyak goreng, bahkan mengorbankan gizi anak atau diri sendiri demi mencukupi kebutuhan keluarga. Padahal, Islam menempatkan kemaslahatan keluarga sebagai bagian dari kewajiban nafkah. Seorang istri yang sedang hamil, misalnya, berhak mendapatkan makanan bergizi agar kandungannya sehat. Hal ini bukan kemewahan, melainkan hak yang dijamin oleh syariat.

Maka, suami tidak boleh merasa cukup hanya dengan memberi seadanya. Nafkah harus diupayakan dengan sungguh-sungguh sesuai kemampuan terbaiknya. Islam mengajarkan bahwa rezeki akan diberkahi bila disalurkan kepada yang menjadi tanggung jawab utama. Sebaliknya, rezeki bisa kehilangan keberkahan jika hak keluarga diabaikan.

Potret istri kreatif dari konten ini memang patut diapresiasi, karena merupakan bentuk ketulusan dan ketabahan yang luar biasa. Namun, suami yang berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi keluarganya, jauh lebih mulia, karena di pundaknya ada amanah Allah yang tak bisa digantikan oleh siapa pun.

Keluarga yang sakinah bukan dibangun dari seberapa hemat istri bisa mengatur uang, tetapi dari seberapa adil suami menunaikan kewajibannya dan seberapa tulus keduanya saling menghargai peran masing-masing. []

Baca Juga: Muslimah Tangguh di Tengah Fitnah Akhir Zaman: Menjaga Iman, Hijab, dan Kehormatan

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Tiga Perisai Kehormatan Muslimah di Era Digital

Rekomendasi untuk Anda