Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Abolisi Tom dan Amnesti Hasto, Jalan Prabowo Menuju Rekonsiliasi

Widi Kusnadi Editor : Bahron Ans. - 33 detik yang lalu

33 detik yang lalu

3 Views

PRESIDEN Prabowo Subianto baru-baru ini membuat keputusan besar yang ramai dibicarakan. Ia memberikan abolisi kepada Thomas Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto. Dua tokoh tersebut terjerat kasus hukum, dan keputusan Presiden membuat keduanya kini bebas dari jeratan hukum.

Keputusan presiden itu pun memunculkan banyak pertanyaan: apa sebenarnya perbedaan antara abolisi dan amnesti? Mengapa Presiden memilih memberi yang satu abolisi dan yang lain amnesti? Kebijakan ini segera menjadi perbincangan hangat di ruang publik, karena menyorot titik temu antara hukum, kekuasaan, dan politik dalam bingkai rekonsiliasi nasional.

Abolisi dan amnesti sering kali dipandang serupa, padahal secara yuridis keduanya memiliki makna dan dampak hukum yang berbeda. Abolisi adalah penghentian proses hukum terhadap seseorang sebelum putusan inkracht (putusan yang telah berkekuatan hukum tetap) dijatuhkan. Abolisi dapat mencegah suatu perkara pidana dilanjutkan lebih jauh, bahkan sebelum ada dakwaan yang tuntas.

Sementara itu, amnesti diberikan untuk menghapus akibat hukum dari suatu pidana yang telah diputuskan pengadilan, khususnya untuk tindak pidana politik atau yang berhubungan dengan kepentingan umum. Jadi, abolisi mencegah, sementara amnesti menghapus.

Baca Juga: Persatuan Faksi-Faksi Jalan Menuju Kemerdekaan Palestina

Dalam kasus Tom Lembong, Presiden Prabowo memberikan abolisi terkait penyelidikan terhadap tuduhan penyalahgunaan wewenang sewaktu ia menjabat. Banyak yang menilai kasus ini sarat nuansa politis dan dipandang sebagai “jebakan hukum” dari dinamika kekuasaan masa lalu.

Dengan abolisi, proses penyidikan dan penuntutan dihentikan total, dan ia dibebaskan dari ancaman hukum lebih lanjut. Ini menunjukkan sikap Presiden yang ingin mengakhiri kriminalisasi politik masa lalu dan membuka lembaran baru bagi tokoh-tokoh profesional yang kembali ingin berkontribusi.

Berbeda dengan itu, amnesti yang diberikan kepada Hasto Kristiyanto merupakan langkah politik-hukum yang lebih simbolis. Hasto dijatuhi hukuman atas tuduhan pelanggaran penyalahgunaan jabatan dalam masa Pemilu 2019, yang menurut sebagian kalangan sangat kental aroma politisasinya.

Amnesti menghapus catatan hukum tersebut dan memulihkan hak-hak politiknya, termasuk hak untuk menduduki jabatan publik. Dalam konteks ini, pemberian amnesti dipandang sebagai rekonsiliasi antara pemerintah baru dan pihak oposisidalam pemerintahan.

Baca Juga: Fakta Krusial Peran Presiden Palestina di Konflik Gaza: Otoritas dan Keterbatasan

Berbagai tokoh hukum menanggapi langkah ini dengan beragam pandangan. Prof. Mahfud MD menyebutnya sebagai “kebijakan restoratif” yang menandai era politik baru yang lebih inklusif.

Sementara itu, Prof. Maria Farida Indrati mengingatkan bahwa pemberian abolisi dan amnesti harus tetap memperhatikan prinsip akuntabilitas dan rasa keadilan publik.

Ketua MA dan Jaksa Agung juga turut merespon, menyatakan bahwa proses pemberian kewenangan ini telah melalui pertimbangan hukum formal dan masukan dari DPR sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Dari perspektif politik hukum, langkah ini bisa dibaca sebagai strategi konsolidasi kekuasaan dan peredaman konflik pasca pemilu. Presiden Prabowo tampaknya ingin merangkul semua pihak dan membangun pemerintah inklusif tanpa bayang-bayang kriminalisasi di antara elit politik.

Baca Juga: Di Mana Presiden Palestina Saat Genosida Terjadi di Gaza?

Di sisi lain, ini juga menjadi pesan bahwa negara mengakui adanya penyimpangan proses hukum yang terjadi di masa transisi kekuasaan, dan kini saatnya untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap hukum dan keadilan.

Namun demikian, kritik tetap hadir. Beberapa LSM dan pengamat hukum pidana mempertanyakan apakah ini bukan preseden buruk bagi penegakan hukum yang independen. “Jika setiap perubahan kekuasaan selalu diikuti amnesti atau abolisi untuk kawan sendiri, maka hukum kehilangan fungsi deternya,” ujar Emerson Yuntho dari ICW.

Kritik ini menegaskan pentingnya transparansi dan kriteria objektif dalam pemberian kewenangan istimewa oleh Presiden.

Dalam sejarah Indonesia, pada masa Presiden Soekarno, kebijakan ini digunakan dalam berbagai konflik awal kemerdekaan. Ia memberikan amnesti dan abolisi kepada tokoh-tokoh pemberontakan seperti Andi Azis, Kahar Muzakkar dari gerakan DI/TII, dan tokoh RMS di Maluku. Selain itu, amnesti juga diberikan kepada sejumlah tokoh yang terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948, termasuk bekas simpatisan PKI, dalam rangka menyatukan bangsa pasca konflik ideologi.

Baca Juga: Rumah Ramah Gempa, Ikhtiar Membangun Hunian Aman di Negeri Rawan Bencana

Pada era Orde Baru, Presiden Soeharto sangat hati-hati dalam memberikan pengampunan hukum. Namun, tercatat beberapa tokoh mantan PRRI/Permesta seperti Col. Ventje Sumual dan Letkol D.J. Somba mendapat amnesti dan diizinkan kembali ke masyarakat. Meski demikian, banyak tahanan politik, terutama eks Tapol 1965, justru baru mendapat perhatian serius pada masa reformasi.

Di era Presiden Abdurrahman Wahid, wacana pemberian amnesti kepada eks Tapol/Napol 1965 kembali mengemuka, meski tidak seluruhnya terealisasi. Gus Dur juga mencabut larangan ekspresi budaya Tionghoa, sebagai bentuk pengakuan atas hak-hak sipil.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggunakan kebijakan amnesti secara strategis dalam proses perdamaian Aceh. Melalui Nota Kesepahaman Helsinki (2005), ia memberikan amnesti kepada ribuan eks kombatan GAM (Gerakan Aceh Merdeka), termasuk tokohnya seperti Muzakir Manaf dan Zaini Abdullah, yang kemudian aktif dalam politik lokal. Langkah ini menjadi salah satu contoh paling berhasil dalam penggunaan amnesti untuk menyelesaikan konflik bersenjata secara damai dan konstitusional.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo pernah memberikan amnesti kepada Baiq Nuril Maknun, seorang guru asal NTB yang sebelumnya divonis karena pelanggaran UU ITE akibat membela diri dari pelecehan seksual. Keputusan Jokowi ini mendapat banyak dukungan publik dan menjadi penanda bahwa amnesti juga dapat digunakan untuk memperbaiki ketidakadilan hukum terhadap warga biasa, bukan hanya tokoh politik.

Baca Juga: Rojali dan Rohana, Lelucon Getir di Negeri Konoha

Langkah Prabowo dalam memberikan abolisi dan amnesti kepada dua tokoh berbeda latar ini menjadi preseden menarik dalam politik hukum Indonesia. Ia menunjukkan bahwa kekuasaan presiden dalam hukum pidana bukan hanya untuk menghukum, tetapi juga untuk menyembuhkan.

Namun tentu saja, di balik semua keputusan besar, sejarah akan menjadi hakim terakhir—apakah ini murni untuk keadilan atau sekadar strategi kekuasaan.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Mari Merawat Ukhuwah Islamiyah

Rekomendasi untuk Anda