Jakarta, MINA – Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto menegaskan bahwa ada lima sektor industri yang menjadi pendorong perkembangan Revolusi Industri 4.0.
“Lima sektor industri adalah makanan dan minuman, kimia, tekstil, elektronik, dan otomotif,” ujar Airlangga dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat 9 (FMB 9) dengan topik “Indonesia Siap Menuju Revolusi 4.0” di Ruang Serba Guna Kemenkominfo, Jakarta, Senin (16/04).
Menurut Airlangga, perbedaan antara Revolusi Industri 3.0 dan Revolusi Industri 4.0 adalah di mana Revolusi Industri ketiga didorong oleh laba. Sedangkan untuk Revolusi Industri keempat lebih didorong oleh harga dan biaya.
“Revolusi Industri 4.0 tidak sepenuhnya tergantung pada kecerdasan buatan (artificial intelegence). Sebab tetap saja Revolusi Industri 4.0 melibatkan pemikiran dan emosi juga,” tegas Menerin.
Baca Juga: Prof. El-Awaisi Serukan Akademisi Indonesia Susun Strategi Pembebasan Masjidil Aqsa
Namun Menperin menekankan bahwa teknologi internet terutama dengan bandwith besar menjadi tulang punggung Revolusi Industri 4.0.
“Lalu pencetakan dengan teknologi tiga dimensi (3D printing technology) telah merevolusi pembuatan sampel atau produk dari industri. Selanjutnya, jenis pekerjaan akan ada perubahan,” katanya.
Airlangga menambahkan bahwa menurut studi, yang terpenting adalah industrial data. Sektor industri lainnya memang tetap penting karena tak semuanya dapat tergantikan oleh digitalisasi.
“Isunya ke depan adalah bagaimana kita membuat proyek percontohan dan berikutnya adalah masalah keamanan data. Kasus bocornya data pribadi di AS dengan Facebook-nya dapat dijadikan contoh. Sehingga masalah hak intelektual menjadi kunci bagi pengembangan Revolusi Industri 4.0,” papar Menperin.
Baca Juga: Syeikh Palestina: Membuat Zionis Malu Adalah Cara Efektif Mengalahkan Mereka
Bagi Indonesia, Airlangga menegaskan bahwa untuk memasuki Revolusi Industri 4.0 punya modal pasar domestik yang besar dan memiliki universitas yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia.
Modal lainnya, Indonesia hingga tahun 2030 masih menikmati bonus demografi dimana tenaga kerja dengan usia produktif begitu besar.
“Maka pada saat itu Indonesia harus memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ini jadi momentum yang tidak bisa kita sia-siakan,” katanya. (L/R06/RI-1)
Mi’raj News Agency (MINA)