Oleh Uray Helwan, Da’i Kalbar
Dinyatakan dalam Al-Qur’an (artinya):
Dan ingatlah tatkala Rabb-mu berkata kepada para Malaikat: Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka bekata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (Khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Allah berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (QS Al-Baqarah [2]: 30).
Terkait ayat di atas, dalam Tafsir Al-Qurthubi dijelaskan: Makna Khalifah, menurut pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan para ulama ahli ta’wil, “Adam ‘Alaihissalam, beliau adalah Khalifatullah dalam menjalankan semua hukum dan perintahnya karena beliaulah utusan Allah Subhanahu wata’ala yang pertama ke bumi ….”
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Ibnu Katsir banyak menjelaskan keterkaitan dengan kewajiban menegakkan syariat kepemimpinan bagi umat Islam. Lebih lanjut menurut Ibnu Katsir, Imam Al-Qurthubi dan ulama yang lain telah menjadikan ayat ini sebagai dalil wajibnya menegakkan Khilafah untuk menyelesaikan dan memutuskan pertentangan antara manusia, menolong orang yang teraniaya, menegakkan Hukum Islam, mencegah merajalelanya kejahatan, dan masalah-masalah lain yang tidak dapat terselesaikan, kecuali dengan adanya Imam (pimpinan).
Penyebutan Khalifah bagi manusia pertama ini (Adam ‘Alaihissalam), menunjukkan dua hal. Pertama, bahwa makhluk yang Allah Subhanahu wata’ala ciptakan itu identik dengan tugas Khalifah. Tugas ini begitu penting sehingga dia, Allah Subhanahu wata’ala kemukakan kepada para Malaikat, bahkan sebelum makhluk itu dicipta.
Tugas Khalifah bagi manusia melekat sampai akhir zaman, tidak hanya tertuju kepada Adam ‘Alaihissalam, tetapi juga kepada keturunan Adam ‘Alaihissalam. Hanya saja dalam pengamalannya sesuai dengan syariat dan manhaj yang ada pada setiap periode Nabi dan Rasul.
Kedua, Khalifah mengandung makna pemakmuran bumi dan keteraturan hidup dalam kepemimpinan yang syar’i.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Allah Maha Teliti dan Bijaksana. Dengan ke-Maha-annya itu, Dia ciptakan bumi dengan hitungan yang sempurna, sedemikian rupa sehingga ia menjadi rumah yang ideal bagi manusia dan seluruh makhluk lainnya. Kita tidak perlu mengupas sebesar apa kekaguman kita terhadap tempat tinggal kita ini. Terlalu indah.
Semua itu ditundukkan untuk manusia. Dalam Al-Qur’an dengan lugas Allah Subhanahu wata’ala terangkan: Allahlah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki bagimu, dan Dia menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus–menerus beredar (dalam orbitnya), dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung ni’mat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari ni’mat. (QS Ibrahim [14]: 32-34)
Keteraturan dan keindahan bumi tersebut sinergis dan relevan dengan tugas kekhilafahan. Sebab, keduanya berasal dari Sang Maha Pemilik dan Maha Pengatur. Ibarat perangkat keras dan lunak. Bumi dan dinamika apa pun yang berada di atasnya adalah perangkat keras, membutuhkan perangkat lunak untuk menjaga keharmonisan dan mencegah kerusakan. Dan, itu adalah Manhaj Kekhilafahan.
Keberadaan Khalifah merupakan penugasan yang paling tepat untuk kemakmuran bumi dan mencegah kerusakannya. Sebab, Khalifah terefleksi dalam kepemimpinan dan keteraturan barisan. Inilah substansi yang kemudian menjadi wasiat kepada para Nabi, hidup berjama’ah dan tidak berpecah belah.
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital
Amanah dari Allah Subhanahu wata’ala untuk menjadi Khalifah di muka bumi, dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh Adam ‘Alaihissalam. Beliau menjadi manusia sekaligus Nabi pertama yang diutus. Al-Qurthubi mengutip sebuah hadits Abudzar, beliau berkata: “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah apakah ada nabi yang telah diutus?” Beliau menjawab: ‘Ya”. Jika ada yang bertanya, “Kepada siapa nabi Adam diutus, sementara tidak ada seorang pun di muka bumi?” Maka dijawab: “Dia diutus kepada anak-anaknya, anak-anaknya berjumlah 40 orang dalam 20 kehamilan, setiap kehamilan melahirkan anak laki-laki dan perempuan, lalu mereka juga melahirkan anak-anak hingga menjadi banyak, sebagaimana firman Allah: QS An-Nisa [4]: 1.”
Kehidupan masih sederhana, dengan misi merintis dan menjaga kelanggengan makhluk di muka bumi. Dalam kerangka ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala, berpola masyarakat wahyu yang menjadi rintisan awal Manhaj Kenabian. Meskipun pada kala ini, belum diturunkan syariat yang memuat aturan lengkap kehidupan beragama.
Adam ‘Alaihissalam sebagai pemimpin atau Imam, istri dan anak-anak beliau menjadi makmum. Mereka menjalankan Hukum Allah Subhanahu wata’ala. Manusia sekarang harusnya bersyukur karena dengan diutusnya Adam ‘Alaihissalam ke muka bumi serta dengan dinamika kehidupan yang beliau rintis, manusia terlahir dan selamat dari kepunahan hingga kini.
Di dalam Al-Qur’an dikisahkan, tentang dua orang anak Adam ‘Alaihissalam yang berkurban. Lantas diterima dari salah satunya (Habil), dan ditolak dari yang lainnya (Qabil).
Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!
Qabil lantas mengancam akan membunuh saudaranya, Habil perasaan dengki yang menyelimuti hatinya. Padahal justru lantaran hati yang tidak taqwa itulah yang menjadi penyebab tertolaknya kurban yang dia persembahkan.
Namun, jawaban Habil sungguh indah, “Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertaqwa”.
Nasihat tersebut diabaikan Qabil. Hawa nafsu dan tipu daya Syaithan telah menguasai dirinya. Dia pun membunuh Habil, yang kemudian tercatat sebagai pembunuhan pertama di muka bumi. Jadilah dia orang yang merugi.
Kisah Nabi Adam ‘Alaihissalam sungguh istimewa. Dimulai dari ketiadaan, lantas dicipta Allah Subhanahu wata’ala. Ditempatkan di Surga dengan penuh kenikmatan, disempurnakan dengan kehadiran pasangan hidup, diuji dengan perintah dan larangan. Diwarnai godaan Iblis, lalu ada ketergelinciran. Lantas diturunkan ke muka bumi, dan dihaturkan olehnya taubat.
Baca Juga: Indonesia, Pohon Palma, dan Kemakmuran Negara OKI
Ending kisahnya, merupakan permulaan cerita bumi. Sungguh pelajaran berharga. Semua yang dialami beliau menjadi kerangka dasar kehidupan manusia di kemudian hari, bahkan sampai akhir zaman. Manusia adalah makhluk surgawi. Kita berasal dari Surga pasti akan kembali ke Akhirat dengan dua konsekuensi: Surga atau Neraka.
Semua yang terjadi pada kisah Adam ‘Alaihissalam itu tidak terlepas dari narasi awal, ketika Allah Subhanahu wata’ala bertutur kepada para Malaikat: Adam Khalifah di muka bumi. Bahkan semua yang terjadi menjadi penjabaran dan pengantar makna dan substansi Khalifah itu sendiri. Bahwa ia untuk kemakmuran dan kemaslahatan penghuni bumi dalam kerangka ketaatan dan penyembahan kepada Allah ‘Azza Wajalla. Wallahu a’lam.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Kemenangan Trump dan Harapan Komunitas Muslim Amerika