Oleh: Ali Farkhan Tsani*
Ahmed al-Sawaferi , usianya terbilang masih muda, 25 tahun, semangat berjuangnya pun tetap membara untuk membangun negerinya yang terjajah, Palestina.
Perang Gaza seolah hendak menghentikan cita-citanya mengajar. Sebab, kedua kakinya sudah tidak ada lagi, alias cacat buntung keduanya, satu tangan kirinya pun tinggal separuhnya, akibat serangan membabi buta pasukan Zionis Israel.
Namun, pria yang tinggal di Jalur Gaza tersebut tidak pernah patah harapan. Walaupun telah kehilangan kedua kakinya untuk melangkah dan satu tangannya untuk menggapai. Tetapi langkahnya untuk mengajar dengan kursi rodanya, teman setia yang selalu mengantarkannya ke mana pun dia berjalan, tetap ia jalankan dengan penuh semangat dan suka cita.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Ia tetap ingin melawan kekejaman penjajahan Zionis Israel, melalui pelajaran yang diberikan kepada anak-anak didiknya, generasi penerus perjuangan Palestina.
Lembaga pendidikan setempat, Jam’iyyah al-Aydy ar-Rahimah al-Khairiyyah menyebutkan, hampir separuh tubuhnya melayang saat penyerbuan pasukan Israel 2008 beberapa tahun lalu.
Bombardir Israel
Ahmed al-Sawafiri masih mengingat betul kisah luka yang menimpa dirinya. Saat itu, pada April 2008, ketika pesawat tempur Israel membombardir Jalur Gaza dengan rudal-rudal mereka.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Saat itu, ia sedang berjalan di sebuah jalan kecil di kawasan Zeitoun, Kota Gaza, salah satu daerah di sebelah Shejaiya, timur Kota Gaza, untuk menghadiri ujian matrikulasi diploma di kampusnya Al-Jami’iyyah al-‘Ulum at-Thatbiqiyyah (Sekolah Tinggi Ilmu-Ilmu Kependidikan) Kota Gaza.
Tiba-tiba, “Bom……………….”, sebuah rudal menghantam daerah tepat di depannya. Tak ayal lagi, ia pun terpelanting, sementara buku-buku yang ia bawa tercecer, bersama genangan darah di sekitar tubuhnya.
Setengah sadar, Ahmed, begitu sapaan akrabnya, tergeletak di tanah, seraya merintih, “Ya Allah… ya Allah…”
Beberapa saat samar-samar terdengar bunyi sirine ambulan menghampirinya.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Akhirnya, ia pun pun tak sadarkan diri, dan ia pun mengalami koma hampir satu bulan lamanya. Akibat pendarahan terlalu banyak dan cedera parah yang dideritanya.
Sebulan setelah itu, Ahmed pun tersadar. Lalu, ia pun merasakan dan mulai menyadari dirinya tengah berada di Asy-Syifa, rumah sakit terbesar dan terlengkap di Kota Gaza.
Sesaat, ia pun memandang tangannya sendiri, tangan kirinya tinggal separuh, sebatas lengan, sisanya tidak ada lagi.
Lalu, berangsur ia mengarahkan pandangannya ke anggota tubuh lainnya. Hingga ke kedua kakinya….., yang ternyata telah tiada alias buntung keduanya!. “Astaghfirullaahal ‘adzim”.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Tetap Ikut Ujian
Para dokter yang merawatnya juga keluarga, kerabat dan teman-temannya memberikan semangat luar biasa bagi Ahmed Sawafiri. Terutama tentunya adalah isterinya dan kedua anak tercintanya, Jana (4 tahun) dan Muttashim (8 bulan).
Ia pun meyakini nasihat orang-orang di sekitarnya, yang ternyata begitu sangat mencintainya.
“Ya, saya harus kuat dan percaya diri,….”, ujarnya singkat.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Setelah mulai agak pulih, ia pun memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya, mengikuti ujian matrikulasi I pada materi ilmu pengetahuan dan budaya.
Ahmed al-Sawaferi sebenarnya mendapatkan dispensasi dari Departemen Pendidikan sehubungan luka yang dideritanya. Bahkan Departemen Pendidikan sudah menunjuk sebuah komite khusus untuk dia di Rumah Sakit Asy-Syifa dalam segela keperluannya dengan kuliahnya.
Namun, semangat baja dan tekad kuatnya, membuatnya untuk tetap mengikuti ujian di kampusnya, meskipun dokter mengatakan bahwa ia belum sembuh total dari luka yang dialaminya.
Ia memaksakan diri untuk bergabung dengan rekan-rekannya, dan meminta ujian susulan di kampus. Karena masih belum mampu menulis, pihak kampus menyiapkan seorang untuk membantu menulis jawaban atas soal-soal yang diberikan dosen kepadanya.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Dan…..di tengah pengobatan yang ia jalani di Rumah Sakit Asy-Syifa dan salah satu rumah sakit di Mesir, ia pun dinyatakan lulus dengan hasil memuaskan, dan mendapat gelar Bachelor of Arts (BA) alias sarjana muda.
Giat Mengajar
Setelah dinyatakan sembuh, dan dapat berjalan dengan kursi roda, ia pun mengabdikan ilmunya di bidang kependidikan Islam, dengan menjadi guru di sebuah sekolah dasar di daerah Zeitoun, Kota Gaza.
Ahmed al-Sawaferi, pengagum Syaikh Ahmad Yasin, tokoh pergerakan perjuangan Palestina, di atas kursi rodanya, seperti syaikh yang ia kagumi itu, berbagi ilmu dengan para siswa yang mencintainya dan ia pun mencintai mereka.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Ia dengan semangat, cinta dan tanggung jawab, tanpa mengeluhkan kondisi cacat tubuhnya, menjelaskan kepada anak-anak didiknya pelajaran Pendidikan Islam. Suara lantangnya di kelas, serta senyum cerahnya yang selalu menghias bibirnya, seolah menghilangkan peristiwa tragis yang hampir merenggut jiwanya.
“Saya mengajar agar kelak muncul generasi pejuang tangguh seperti Syaikh Yasin. Saya juga ingin membuktikan terutama kepada diri sendiri bahwa hidup tidak pernah berhenti hanya karena cedera atau cacat fisik,” ujarnya, kepada media setempat Filistin Online.
“Hidup itu sendiri pada hakikatnya adalah pertempuran, di mana manusia menghadapi segala situasi dalam rangka untuk meraih keberhasilannya,” ujarnya, yang kini sedang menyelesaikan gelar sarjana pendidikan di perguruan tinggi Jami’ah Al-Ammah lit Ta’lim al-Maftuh (Universitas Terbuka bidang Pendidikan) di Kota Gaza.
Di samping aktif mengajar di sekolah, dan melanjutkan kuliah untuk meraih gelar sarjana penuh, Ahmed al-Sawafiri juga mengembangkan minatnya pada kegiatan fotografi jurnalistik. Ia tak malu dan tidak pula merasa berat, ketika membidikkan kameranya atau memanggul kamera video untuk mengambil objek di sekitarnya.
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Demikian pula dalam kehidupan sosial ia lakukan seperti biasanya, bergaul dengan teman-temannya, berpartisipasi dalam acara-acara, bahkan mengemudikan kendarannya sendiri.
Inspirasi
Teman akrab Ahmed, Abdul Rahman Abu Simon, memuji tekad dan semangat yang dimiliki sahabatnya itu.
“Ia menikmati tantangan hidupnya, dan telah melampaui semua kendala di tengah keterbatasan fisiknya,” ujarnya.
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu
Bahkan menurut Abu Simon, ada perbedaan besar antara Ahmed sebelum dan setelah cedera kemudian. Yakni, Ahmed tidak pernah berhenti dengan satu keberhasilan. Ia tetap bercita-cita lebih, tanpa memperhatikan cederanya, atau perasaan yang menghambat aktvitasnya.
Ahmed al-Sawaferi, di usia muda, dengan semangat tetap membara, walau tanpa sebagian anggota tubuhnya, menolak untuk mengakhiri mimpinya menghadapi kekejaman Israel yang hampir menewaskan dia.
Mimpinya ia tunjukkan dengan giat mengajar, mendidik kader-kader pejuang Muslim dengan aqidah dan tarbiyah Islam.
Menurut pengumuman pihak kampusnya, akhir tahun 2015 ini, Ahmed akan menerima gelar sarjana penuh. Ahmed pun sudah menyiapkan judul makalah untuk ia ajukan pada kuliah master atau strata dua (S2) berikutnya.
Baca Juga: RSIA Indonesia di Gaza, Mimpi Maemuna Center yang Perlahan Terwujud
Kini, didampingi isterinya, yang tetap setia mendampinginya, serta dua buah hatinya, ia mengabdikan ilmunya untuk generasi mendatang.
Ia menjadi sosok panutan bagi generasi seusianya yang hidup dengan kondisi fisik normal. Ia pun merupakan inspirasi bagi murid-muridnya, untuk terus hidup dan berjuang sepenuh jiwa raga, meskipun terbatas pada kursi roda.
Ya, Ahmed al-Sawaferi, merupakan contoh dari ribuan lainnya yang bernasib serupa, cacat akibat serangan Israel. Namun, keterbatasannya itu tidak mengurangi sedikit pun kemauannya untuk berpartisipasi dalam perjuangan membangun bangsa dan masyarakat.
Sungguh, semangat besarnya telah mengalahkan rasa sakit fisik yang ia derita dan rasakan. Subhaanallaah. (P4/R05).
*Ali Farkhan Tsani, Penulis Redaktur Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency), Duta Al-Quds, aktivis Aqsa Working Group (AWG).
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)