Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA
Amar makruf dan nahi mungkar memiliki peranan penting dalam Islam. Sebuah kewajiban atas semua pribadi muslim ini bukanlah perkara yang remeh yang bisa ditinggalkan begitu saja. Sebab, eksistensi tegaknya syariat Islam di suatu negeri cukup bergantung pada berjalan atau tidaknya perintah tersebut sebagai inti agama Islam.
Jika umat Islam meninggalkan syariat amar makruf nahi mungkar ini, maka kemungkaran akan menyebar dan kerusakan akan meluas. Bila kondisi sudah demikian, maka azab pun akan Allah timpakan kepada seluruh komponen masyarakat.
Allah berfirman,
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (QS. Ali Imran: 110)
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Jarir At-Thabari menghimpun paling tidak dua pendapat mengenai siapa yang dimaksud dengan umat. Pendapat pertama menerangkan bahwa yang dimaksud dengan umat adalah orang-orang yang hijrah bersama Nabi SAW dari Mekah ke Madinah (muhajirin). Keterangan ini didapat dari jalur riwayat Ibnu Abbas dari Sa’id bin Jubair, al-Suddi, dan Ikrimah.
Pendapat kedua berasal dari riwayat Abu Hurairah dan Mujahid mengatakan bahwa umat yang dimaksud ayat adalah siapa pun yang memenuhi tiga kriteria utama: a) amar makruf, b) nahi munkar, dan c) beriman kepada Allah SWT sebagaimana disebutkan di dalam ayat.
Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya menjelaskan maksud dari kedua penafsiran di atas. Menurutnya keutamaan para sahabat dibanding umat sebelumnya adalah karena mereka hidup ketika Nabi SAW telah diutus. Dibandingkan dengan masa sebelum Rasul diutus, maka sahabat merupakan umat di masa yang terbaik. Sedangkan keutamaan umat Nabi SAW setelah beliau wafat adalah ketika mereka melaksanakan tiga kriteria tadi: beriman, amar makruf, dan nahi munkar. Keutamaan ini terletak pada perilaku dan tidak lepas dari ketentuan ayat sebelumnya: dengan tetap menjunjung tinggi al-khayr/kebajikan universal (Ali Imran ayat 104) dan menjaga persatuan (Ali Imran Ayat 105).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Menurut M. Quraish Shihab kata ummat secara semantik digunakan untuk menunjuk semua kelompok yang dihimpun oleh sesuautu berupa agama yang sama, maupun waktu atau tempat yang sama. Bahkan kata Quraish, al-Quran dan hadis tidak membatasi kata umat hanya pada kelompok manusia, burung seperti dalam Surat al-An’am ayat 38 dan semut dalam hadis, juga disebut sebagai umat.
Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah-nya menambahkan bahwa umat adalah ikatan persamaan dalam pengertian apa pun: bangsa, suku, agama, ideologi dan sebagainya. Ikatan itu telah melahirkan satu umat, dengan demikian seluruh anggotanya adalah saudara. Dengan banyak dan lenturnya makna umat ini, kata Shihab, dalam persamaan dan kebersamaannya dapat menampung aneka perbedaan.
Dampak negatif meninggalkan amar makruf nahyi munkar
Pertama: Kerusakan di muka bumi semakin merajalela. Jika satu kemungkaran dibiarkan, maka akan melahirkan kemungkaran-kemungkaran lain dengan jumlah yang banyak, dan bisa jadi lebih parah.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Jika ada satu orang saja berbuat kemungkaran dan tidak dicegah, maka akan memunculkan lebih banyak lagi orang yang berbuat kemungkaran dan lebih sulit untuk dicegah. Apalagi jika kemungkaran itu sudah tersistematis.
Sebagaimana disebutkan oleh ummul mukminin Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatanginya dalam keadaan terkejut, seraya berkata,
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَيْلٌ لِلْعَرَبِ مِنْ شَرٍّ قَدْ اقْتَرَبَ فُتِحَ الْيَوْمَ مِنْ رَدْمِ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مِثْلُ هَذَا
“La ilaaha Illallah? Celakalah bangsa Arab, karena keburukan yang telah mendekat. Hari ini telah dibuka tembok Ya’juj dan Ma’juj –beliau melingkarkan ibu jari dengan jari telunjuknya.”
Kemudian Zainab bertanya,
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَهْلِكُ وَفِينَا الصَّالِحُونَ
“Apakah kita akan binasa wahai Rasulullah, padahal sekitar kita ada orang-orang shalih?”
Beliau menjawab,
نَعَمْ إِذَا كَثُرَ الْخَبَث
“Ya, jika kemungkaran sudah merajalela.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kedua: datangnya azab dari Allah subhanahu wata’ala. Manakala umat manusia sudah tidak peduli dengan syariat nahi mungkar, maka sama saja mereka mengundang datangnya azab Allah subhanahu wata’ala. Dan perlu diketahui bahwa jika Allah telah menurunkan azab di suatu tempat, maka ia akan menimpakan azab itu kepada semua orang yang ada di tempat tersebut, baik orang shalih maupun thalih (jahat).
Baca Juga: Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina
Allah berfirman,
وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاۤصَّةً ۚوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Anfal: 25)
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi menjelaskan bahwa ayat ini sebagai peringatan yang tegas bagi kaum mukminin, agar mereka tidak meninggalkan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, serta tidak meninggalkan amar makruf nahi mungkar.
Sebab, jika mereka meninggalkannya, maka kemungkaran akan menyebar dan kerusakan akan meluas. Bila kondisi sudah demikian, maka azab pun akan diturunkan kepada seluruh komponen masyarakat, baik yang shalih maupun yang thalih, baik yang berbuat kebajikan maupun yang berbuat kejelekan, baik yang adil maupun yang zalim. Jika Allah menurunkan siksa, maka siksa-Nya sangatlah pedih. Tidak seorang pun yang kuat menahan siksa tersebut. (Aisarut Tafasir, Abu Bakar Jabir al-Jazairi, 2/298)
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-1] Amalan Bergantung pada Niat
Ketiga: doa tertolak. Doa adalah senjata orang beriman agar ia mendapatkan pertolongan dari Allah subhanahu wata’ala dalam mendapatkan kebaikan ataupun menghindarkan diri dari kerusakan. Doa juga dapat melindungi orang beriman dari tindakan kezaliman musuh Allah.
Namun ada kondisi di mana doa yang dipanjatkan oleh seorang mukmin tidak dikabulkan, yaitu manakala ia enggan menegakkan amar makruf nahi mungkar.
Dari Huzhaifah ibnul Yaman, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ المُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaknya kalian melaksanakan amar makruf nahi mungkar. Atau jika tidak, niscaya Allah akan mengirimkan siksaan dari sisi-Nya kepada kalian. Kemudian kalian memohon kepada-Nya, namun doa kalian tidak lagi dikabulkan.” (HR. At-Tirmizi No. 2169. Hadits ini derajatnya hasan)
Baca Juga: Enam Langkah Menjadi Pribadi yang Dirindukan
Keempat: tidak mendapatkan pertolongan Allah. Jika Allah telah menolong hamba-Nya maka tidak akan ada yang mengalahkannya, tidak akan ada yang menimpakan mudarat kepadanya. Namun pertolongan Allah tidak akan pernah diturunkan kepada hamba-Nya jika hamba tersebut meninggalkan amar makruf nahi mungkar.
Allah berfirman,
وَلَيَنْصُرَنَّ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهٗۗ اِنَّ اللّٰهَ لَقَوِيٌّ عَزِيْزٌ. اَلَّذِيْنَ اِنْ مَّكَّنّٰهُمْ فِى الْاَرْضِ اَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ وَاَمَرُوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِۗ وَلِلّٰهِ عَاقِبَةُ الْاُمُوْرِ
“Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di bumi, mereka melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj: 40-41)
Kelima: menggiring manusia menuju kebinasaan. Membiarkan kemungkaran terus terjadi dan tidak ada upaya serius untuk mengubahnya dengan cara yang ditetapkan oleh syariat, maka itu sama saja membiarkan manusia berjalan menuju jurang kebinasaan yang akan menghancurkan mereka semua.
Baca Juga: Pemberantasan Miras, Tanggung Jawab Bersama
Rasulullah mengingatkan dalam sabdanya dari an-Nu’man bin Basyir radhiallahu anhu,
مَثَلُ القَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالوَاقِعِ فِيهَا، كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا، فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ المَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ، فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا. فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا، وَنَجَوْا جَمِيعًا
“Perumpamaan orang yang mengingkari/mencegah larangan Allah subhanahu wata’ala dan orang yang terjatuh dalam larangan tersebut seperti sebuah kaum yang berundi pada sebuah kapal. Sebagian mereka mendapatkan bagian atas dan yang lainnya di bagian bawah. Saat orang-orang yang di bagian bawah ingin meminum air, mereka harus melewati orang yang berada di atas. Mereka pun berkata, ‘Alangkah baiknya kalau kita membuat lubang di tempat kita agar tidak mengganggu orang-orang yang ada di atas.’ “Apabila mereka membiarkan orang-orang tersebut melakukan keinginan mereka, mereka semua pasti binasa. Namun, apabila mereka mencegah orang-orang tersebut, orang-orang itu pasti selamat. Mereka semua juga pasti selamat.” (HR. Al-Bukhari no. 2443).
Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing hati kita untuk selalu berniat beramar makruf nahi munkar, demi tegaknya syariat Islam.(A/RS3/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Lima Karakter Orang Jahil