Anak-Anak Kita (Bagian 2)

Oleh: Imam / Presiden Nusantara Foudation

Sadar akan tanggung jawab kewajiban mendidik sejak dini, serta mampu membangun ketauladanan perlu pula ditopang oleh faktor-faktor lainnya. Sebab bagaimanapun itu adalah proses hidup yang akan terus berlangsung selama hidup.

Pendidikan dalam Islam lebih dikenal dengan “tarbiyah”. Berasal dari kata “rabaa-yarbuu-rabwa wa riba” yang berarti menumbuh suburkan, mengembangkan, dan yang semakna. Dari kata inilah dipahami bahwa mendidik anak itu bukan memulai dari nol. Bukan pula kita mencipta sesuatu yang baru.

Mendidik adalah upaya proaktif untuk menjaga, merajut dan mengembangkan dasar kemanusiaan yang bersih. Dasar kemanusiaan yang bersih atau suci inilah yang lebih dikenal dengan istilah fitrah. Sebagaimana disabdakan oleh baginda Rasulullah SAW: “Setiap anak itu terlahir dalam keadaan bersih atau suci (fitrah)”.

Hikmah

Ketika kita berbicara tentang merajut kemanusiaan tidak ada yang lebih penting lagi untuk menjadi perhatian dalam proses itu lebih dari hikmah itu sendiri.

Hikmah adalah tingkatan tertinggi dari keilmuan. Dengan iqra manusia akan mendapatkan informasi. Informasi itu jika diolah dengan akal dan dipahami secara benar itulah ilmu. Tapi ilmu belum mendatangkan kebaikan yang besar tanpa tingkatan selanjutnya, yaitu hikmah.

Apa itu hikmah? Hikmah adalah kemampuan membangun koneksi antara ilmu dan lingkungan sehingga terjadi amal yang adil dan berkesesuaian. Hal ini sangat penting sebab ilmu tanpa hikmah kerap kali berujung kepada implementasi yang zholim dan tidak sesuai. Betapa banyak du’aat bahkan ulama yang dalam menyampaikan kebenaran dan dengan niat dakwah justeru mengusir. Yang terjadi bukan “da’wah” tapi pengusiran orang semakin jauh dari Islam.

Demikian pula dalam mendidik anak-anak. Mungkin karena keadaan sosial semata, menjadikan anak masih mendengar. Tapi di saat lingkungan berubah, sang anak akan memberontak dan memperlihatkan resisntensinya.

Seorang anak remaja Bangladesh memberontak, bahkan kasar kepada ibunya. Hingga suatu ketika sang Ibu meminta saya berbicara ke anak itu. Singkat cerita anak menyampaikan kata hatinya. “Saya bukan tidak sayang Ibu. Saya sayang Ibu saya. Hanya saja saya merasa tertinggalkan. Setiap hari saya dikata-katai sebagai anak malas, nakal, dan seterusnya”.

Setelah panjang lebar cerita saya menemukan jika anak ini sesungguhnya memberontak kepada keadaan rumah tangga orang tuanya. Ayahnya meninggalkan ibunya di saat dia 5 tahun, dan mereka semuanya di Amerika tanpa izin tinggal. Maka di saat dia selesai SMU dia kuliah tapi tidak juga bisa menemukan pekerjaan yang layak karena tidak punya izin tinggal. Semua masalah itu berakumulasi dan diekspresikan dengan kemarahan.

Cerita di atas mengajarkan bahwa dalam berkomunikasi dengan anak perlu membaca keadaan. Membaca lingkungan dan segala yang terkait dengan hidupnya. Jika tidak, boleh jadi yang baik akan ditangkap sebagai ancaman bagi dirinya.

Antara agama dan budaya

Ajarkan anak-anak agama sebelum budaya. Agama itu sumbernya adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Di mana saja di dunia ini sama. Hanya saja ketika agama bersentuhan dengan kehidupan manusia maka pengaruh budaya tidak bisa diingkari pengaruhnya. Oleh karenanya seringkali orang bingung untuk memisahkan mana agama dan mana budaya.

Jika agama bersumber dari wahyu Ilahi, maka budaya itu tumbuh dari keadaan sosial yang mengelilingi hidup manusia. Keadaan sosial Nusantara misalnya sejak dahulu sejak zaman animisme, Budhisme, Hinduisme, hingga hadirnya Islam dan Kristen, tidak pernah lapuk dari cirinya yang khas dan unik. Budaya yang memang secara alamiah sejalan dengan semangat (spirit) ajaran Islam. Sehingga ketika Islam menjadi agama bagi mayoritas orang di Nusantara hampir tidak ada perbenturan yang signifikan dalam aspek sosial (muamalat)nya.

Dalam pendidikan anak, agama seharusnya di kedepankan. Karena agama inilah nantinya yang menjadi ukuran sebuah nilai. Baik buruknya sesuatu akan diukur melalui ukuran agama. Itulah sebabnya Luqman pertama kali mengajarkan kepada anaknya: “laa tusyrik billah”. Dengan kata lain menanamkan akidah dan agama menjadi dasar utama pendidikan anak. Budaya akan menjadi pelengkap jika saja tidak bertentangan secara mendasar dengan akidah.

Kembali ke kisah lain di kota New York. Seorang ayah dari kalangan komunitas Asia Selatan di suatu hari datang ke saya menangis. Menceritakan bagaimana anaknya menolak untuk datang lagi ke masjid.

“Let me talk to him first”, kata saya.

Singkat cerita saya ajak anak itu makan malam di sebuah restoran, saya menempatkan diri sebagai teman. Saya memulai bertanya tentang keadaan dirinya, sekolahnya, dan seterusnya.

“I’d never seen you in masjid any more. What is going on?”, pancing saya.

Setelah berbasa basi panjang lebar, akhirnya dia mengakui bahwa hal yang menjadikannya malas datang ke masjid adalah masalah pakaian. Setiap kali akan ke masjid ayahnya meminta dia mengganti pakaiannya ke what so called “sunnah dress” (pakaian sunnah). Yaitu baju Asia Selatan (India,Pakistan, Bangladesh) atau baju Arab.

“Imam, I am not a Pakistani or an Arab. I am an American Muslim”, katanya dengan sedikit kesal.

Dari cerita ini saya yakin bahwa masih banyak orang Islam yang belum memisahkan mana agama dan mana budaya. Pakaian agama adalah pakaian yang menutup aurat. Selebihnya bentuk, warna, dan seterusnya adalah budaya yang berbeda antara satu kelompok manusia ke kelompok lainnya.

Tentu bukan hanya dalam hal pakaian. Ambil satu misal lagi dalam hal pernikahan. Di Timur Tengah atau Asial Selatan mampelai wanita sama sekali tidak dilibatkan di akad nikah. Sepenuhnya dilakukan oleh walinya. Wanita biasanya berada di ruangan atau tempat lain.

Di Amerika cara seperti ini belum tentu bisa diterima oleh anak-anak. Kalaupun mereka mengiyakan pasti dibenaknya ada terbetik “kenapa wanita dalam Islam wanita dikelas duakan?”

Maka setelah mengkaji lebih dalam tentang persyaratan nikah, saya dapatkan bahwa persyaratan wali itu hanya pada persetujuan (kecuali pendapat sebagian kecil ulama Hanafi) dan tidak harus dia yang menikahkan. Artinya anak-anak perempuan boleh saja menikahkan diri sendiri asal saja telah mendapat persetujuan walinya.

Untuk mengakomodir keinginan anak-anak wanita untuk dilibatkan langsung, saya biasanya hanya meminta kepada wali untuk memberikan restu kepada anaknya untuk menikahkan dirinya kepada sang mampelai pria. Dan ternyata cara seperti ini mendapat sambutan positif. Bahkan dengan melibatkan mampelai wanita langsung mereka lebih percaya diri dengan Islam mereka.

Tiga M

Tadi disebutkan bahwa ketauladanan orang tua dalam pendidikan anak menjadi salah satu kunci keberhasilannya. Untuk ketauladanan ini tumbuh maka rumah tangga itu sendiri harusnya menjadi tiga M. Yaitu , Masjid, Musallaa (dengan huruf Siin).

Rumah menjadi madrasah berarti anak-anak harusnya mendapatkan ilmu agamanya terutama dari sekolahnya di rumah. Oleh karenanya rumah harus menjadi pusat pendidikan agama.

Rumah menjadi masjid berarti di rumahlah anak-anak belajar taat dan patuh kepada Tuhan. Masjid dari kata sajada yang berarti tunduk, patuh dan taat kepada Allah SWT.

Dan rumah menjadi musalla (bukan mushollah) artinya di rumahlah anak-anak harus menemukan hiburan sejatinya. Kata musalla berasal dari kata tasliyah atau hiburan.

Ketiga M di atas menjadi sangat penting dan menentukan dalam pendidikan anak. Karena semua memang bermula dari rumah. Inilah barangkali makna dari hadits betapa fitrah itu menjadi tersembunyi akibat orang tua yang tidak bertanggung jawab.

Penutup

Tentu sekuat apapun anak-anak dan rumah tangganya jika lingkungan yang mengelilinginya kuat dalam mengeliminir iman, Islam dan akhlaq anak, pada akhirnya juga akan terbawa. Oleh karenanya ada dua lingkungan terpenting bagi anak-anak, khususnya di dunia Barat.

Pertama adalah sekolah. Sekolah cukup menentukan warna hidup anak. Bayangkan anak keluar dari rumahnya sejak pukul 8 pagi, bergaul dengan lingkungan sekolahnya hingga pukul 3 sore. Setelah itu kemudian masih melakukan komunikasi dengan lingkungan sekolahnya, baik ketika mengerjakan homework atau sekedar bermain.

Di sinilah terasa bahwa menyekolahkan anak di sekolah Islam menjadi sebuah tuntutan. Tidak saja karena pentingnya materi pelajaran (agama). Tapi yang terpenting anak-anak bisa mendapatkan lingkungan pergaulan yang lebih terjaga. 

Yang kedua adalah lingkungan masyarakat. Lingkungan ini juga banyak menentukan warna masa depan anak. Di sinilah rahasianya kenapa Islam itu menekankan kepribadian sosial yang solid. Dan kepribadian sosial dalam Islam itu dimulai dari masjid. Karena dalam Islam segala aspek kehidupan itu dimulai dari masjid.

Di sinilah saya sering menyampaikan kepada masyarakat Muslim di Amerika bahwa mendirikan masjid bukan sekedar tempat sujud dan ruku’ lima waktu sehari semalam. Tapi sejatinya masjid itu adalah fondasi pembentukan lingkungan (environment) dengan terbentuknya komunitas. Madinah adalah contoh dahsyat dalam hal ini. Semoga!

New York, 27 Oktober 2017

(R07/RS1)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)