Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Andai Kebahagiaan Bisa Dibeli

Bahron Ansori - Rabu, 27 April 2016 - 19:06 WIB

Rabu, 27 April 2016 - 19:06 WIB

619 Views

Oleh Bahron Ansori, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Semua orang pasti ingin bahagia dan hidup dalam kebahagiaan. Aneh rasanya jika ada orang yang tidak menginginkan hidupnya bahagia. Bahagia memang fitrah manusia yang dengan segala upaya akan diperjuangkan untuk mendapatkan dan merasakan bahagia. Bahagia adalah puncak dari keinginan dalam hidup setiap Bani Adam.

Banyak orang di muka bumi ini terkadang salah konsep dalam memahami bahagia dan kebahagiaan. Sehingga tak sedikit di antara manusia yang rela menjual kebaikan dengan keburukan demi sebuah kebahagiaan. Ada juga orang rela mengorbankan segalanya termasuk paling ekstrim orang-orang yang mereka cintai demi bahagia. Bahagia memang idaman setiap orang.

Bahkan, setiap agama pun puncak pengamalannya adalah bagaimana mendapatkan kehidupan yang bahagia. Hanya saja, tentu tidak sama persepsi bahagia antara agama yang satu dengan yang lain. Dalam Islam misalnya, puncak kebahagiaan yang harus diraih seorang Muslim adalah hakikatnya bagaimana kelak ia bisa masuk surga. Inilah puncak kebahagiaan sebenar-benarnya.

Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari

Dalam kehidupan dunia, orang mungkin bisa saja merasa bahagia jika ia bergelimang harta, jabatan yang tinggi, isteri-isteri yang cantik, anak-anak yang lucu dan lain sebagainya. Tapi benarkah yang dimaksud itu bisa benar-benar membuat hidup bahagia? Bisa memang. Tapi sesungguhnya hakikat bahagia itu terletak di hati yang bersih, pikiran yang jernih.

Bahagia itu, jika seorang hamba bisa mewujudkan rasa syukur yang dalam kepada Allah Ta’ala atas segala nikmat yang dilimpahkan. Sebab dengan syukur itu pula hati menjadi bisa menerima segala ketentuan dari-Nya. Jadi, bukan jaminan untuk bahagia meski harta banyak, keturunan ningkat, jabatan tinggi atau pengaruh yang luas.

Jika benar kekayaan bisa membuat orang bahagia, mengapa Adolf Merckle orang terkaya di Jerman menabrakkan dirinya ke kereta api? Apakah dia bahagia dengan menjadi orang terkaya di Jerman? Ternyata tidak! Jadi, kekayaan tidak mampu membuat orang menjadi bahagia.

Jika benar ketenaran atau popularitas bisa membuat orang bahagia, mengapa Michael Jackson, penyanyi rock legendaris asal AS minum obat tidur hingga overdosis? Benarkah dengan menjadi tenar (terkenal) orang bisa bahagia? Ternyata tidak! Popularitas bukan cara untuk meraih dan merasakan hidup bahagia.

Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina

Jika kekuasaan bisa membuat orang bahagia, tentunya G. Vargas, Presiden Brazil, tidak akan bunuh diri dengan menembak jantungnya sendiri. Semakin jelas, bahwa kekuasaan bukanlah alat untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia, apalagi kebahagiaan di akhirat kelak. Sebaliknya, kekuasaan hanya akan menjadi bahan rebutan bagi orang-orang yang haus kekuasaan.

Jika kecantikan bisa membuat orang bahagia, tentunya Marilyn Monroe, artis cantik dari AS, tidak akan minum alkohol dan obat depresi hingga overdosis. Ternyata, wanita yang cantik atau lelaki yang tampan bukan jadi standar si pemiliknya merasa bahagia. Tapi sebaliknya, tak sedikit orang yang merasa terganggu karena kecantikannya. Ia merasa seolah-olah banyak lelaki sedang mengincarnya. Jadi, Anda belum tentu bisa menukar kebahagiaan itu dengan paras yang cantik atau tampan.

Jika kesehatan bisa membuat orang bahagia, tentunya Thierry Costa, dokter terkenal dari Perancis, tidak akan bunuh diri, akibat sebuah acara di televisi.

Ternyata, bahagia atau tidaknya hidup seseorang itu, bukan ditentukan oleh seberapa kayanya, tenarnya, cantiknya, kuasanya, sehatnya atau sesukses apapun hidupnya.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23]  Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran

Tapi yang bisa membuat seseorang itu bahagia adalah dirinya sendiri.. mampukah ia mau mensyukuri semua yang sudah dimilikinya dalam segala hal…

“Kalau kebahagiaan bisa dibeli, pasti orang-orang kaya akan membeli kebahagiaan itu. dan kita akan sulit mendapatkan kebahagiaan karena sudah diborong oleh mereka.”

“Kalau kebahagiaan itu ada di suatu tempat, pasti di belahan lain di bumi ini akan kosong karena semua orang akan ke sana berkumpul di mana kebahagiaan itu berada .”

Untungnya kebahagiaan itu berada di dalam hati setiap manusia. Jadi kita tidak perlu membeli atau pergi mencari kebahagiaan itu. Andai kebahagiaan bisa dibeli, pasti kita akan sulit mendapatkan kebahagiaan, sebab para konglomerat dan orang-orang kaya akan memborong kebahagiaan itu.

Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam

Tujuh Kunci Tanda Kebahagiaan

Ibnu Abbas ra. adalah salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang sangat tekun dalam menjaga dan melayani Nabi. Secara khusus, ia pernah didoakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Saat berusia 9 tahun, Ibnu Abbas sudah hafal Al Quran dan  menjadi imam di masjid. Suatu hari ia ditanya oleh para tabi’in (generasi sesudah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia. Ibnu Abbas mengatakan, ada tujuh kunci kebahagiaan dunia sebagai berikut.

Pertama, Qalbun syakirun (hati yang selalu bersyukur).
Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah) ketentuan Allah, sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur. Seorang yang pandai bersyukur akan diberi kemudahan untuk memahami sifat-sifat Allah Ta’ala, dan ia tidak akan menggerutu atas pemberian yang diterimanya.

Kedua, Al azwaju shalihah (pasangan hidup yang sholeh). Pasangan hidup yang sholeh akan melahirkan suasana rumah dan keluarga yang sholeh pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada kesholehan. Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh, yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi Muslim yang sholeh. Demikian pula seorang istri yang sholehah, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan suaminya.
Ketiga,  Al auladun abrar (anak yang sholeh). Saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam thawaf, Nabi bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet- lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepada anak muda itu, “Kenapa pundakmu itu?” Jawab anak muda itu, “Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah uzur (tua renta). Saya sangat mencintainya dan saya tidak pernah melepaskannya. Saya melepaskan ibu saat buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat saja, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya.” Lalu anak muda itu bertanya, ” Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk ke dalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua?”

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memeluk anak muda itu dan mengatakan, “Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang sholeh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu.” Dari hadis tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua, tapi minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang sholeh, di mana doa anak yang sholeh kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah.

Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina

Keempat, Albiatu sholihah (lingkungan yang kondusif untuk iman kita). Kita tentu boleh mengenal siapapun, tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat, haruslah orang- orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan kita. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang menganjurkan kita, untuk selalu bergaul dengan orang-orang yang sholeh yang akan selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan kita bila kita berbuat salah.

Kelima, Al malul halal (harta yang halal). Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. “Kamu berdoa sudah bagus. Tapi sayang, makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya akan dikabulkan?”

Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal, karena doanya akan sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hati semakin bersih, suci dan kokoh, pada akhirnya akan melahirkan ketenangan dalam hidupnya.

Keenam, Tafakuh fi dien (semangat untuk memahami agama). Allah menjanjikan nikmat untuk setiap hamba-Nya yang menuntut ilmu. Semakin ia belajar semakin cinta ia kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya. Semangat memahami agama akan meng “hidup” kan hatinya, hati yang “hidup” adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam dan nikmat iman.

Ketujuh, Al-umrul mabruk (umur yang barokah). Umur yang barokah itu adalah umur yang selalu diisi dengan amal ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untuk memburu kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi dengan banyak nostalgia (berangan-angan) tentang masa mudanya, ia pun cenderung kecewa dengan ketuaannya (post-power syndrome).

Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata

Sebagai Muslim, sejatinya kita mampu meraih kebahagiaan dengan hati yang bersih dari segala bentuk riya dan kesyirikan. Hati yang bersih dari segala penyakit adalah jalan untuk meraih kebahagiaan sebenarnya. Dengan hati yang bersih itu pula seorang Muslim mampu meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Wallahua’lam.(R02/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga

Rekomendasi untuk Anda

Kolom