Oleh : Ali Farkhan Tsani*
Secara bahasa kata-kata iman, amanah dan aman, berasal dari akar kata yang sama yaitu alif, mim, nun ( ا,م,ن) yang memiliki pangkal makna aman, tenteram, percaya, tidak merasa takut.
Iman tidak terwujud sempurna kalau tidak ada amanah. Begitu juga sebaliknya, amanah ditunaikan karena adanya rasa iman. Rasa aman dan ketenangan pun tidak akan terealisasi kalau tidak ada iman dan amanah.
Konsekuensi logisnya, seorang mukmin yang tidak amanah diragukan kesahihan imannya. Demikian pula seseorang yang amanah tapi tidak beriman, amanahnya adalah lipstik yang didasari atas kepentingan pribadi, politis, duniawi, atau kepentingan tersembunyi.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Karena itu, kekuatan iman melahirkan sikap amanah, sehingga, tidak sempurna iman seseorang yang tidak bisa memegang amanah. Karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menandaskan :
لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ
Artinya : “Tidak ada keimanan bagi seorang yang tidak amanah!”. (HR Ahmad).
Demikian pula belum dikatakan beriman, atau mengaku beriman, manakala keluarganya, tetangganya, saudaranya, dan lingkungannya tidak merasa aman dari gangguan tangan, lisan, dan perbuatannya. Sampai-sampai baginda Nabi Muhammad SAW bersumpah tiga kali memperingatkan hal tersebut
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ. قِيْلَ : مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : اَلَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Artinya : “Demi Allah, ia tidak beriman! Demi Allah, ia tidak beriman!” Lalu seseorang bertanya, “Siapakah gerangan wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kelakuan buruknya.” Lalu orang bertanya lagi, “Tingkah laku buruknya apa?” Beliau menjawab, “Sikapnya yang menyakitkan.” (HR Bukhari).
Seseorang yang sedang mendapatkan amanah berupa jabatan di suatu instansi, pemimpin di masyarakat, hingga kepala keluarga di rumah tangga. Tentu akan dimintai pertanggungjawaban atas amanah yang diembannya tersebut. Manakala ia dapat menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya, jujur, adil, dan ikhlas. Maka baginya pahala berlipat ganda. Namun sebaliknya, manakala ia melalaikan amanah tersebut dengan berbuat curang, korup, pilih kasih dan mencari pujian manusia semata. Maka, sia-sialah amalannya di akhirat, sementara di dunia ia mendapat kecaman dari manusia.
Maka, terhadap amanah ini, Rasulullah SAW memesankan betul agar para pemberi amanah dapat memilih orang yang tepat di tempat yang pas (the righ man on the right place) dalam arti profesional, bertanggung jawab, dan sanggup menekuni amanahnya karena Allah. Sebab kalau tidak demikian, maka tunggulah ketidakbaikan dalam amanah tersebut alias kegagalan!
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memperingatkan,
إِذَا ضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.
Artinya : “Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggu saja kehancurannya.” Seorang sahabat bertanya, “Bagaimana maksud amanah disia-siakan?” Beliau menjawab, “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu”. (HR Bukhari).
Penulis, Redaktur Mi’raj News Agency (MINA) Pusat Jakarta, Dai Pesantren Al-Fatah Bogor, Indonesia.
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman