Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Antara Juara Piala Dunia 2018 dan Mimpi Migran

Rudi Hendrik - Senin, 16 Juli 2018 - 18:43 WIB

Senin, 16 Juli 2018 - 18:43 WIB

3 Views

Timnas Perancis Juara Piala Dunia 2018 di Rusia, Ahad, 15 Juli. (Foto: AFP/Alexander Nemenov)

Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj News Agency (MINA)

Perhelatan turnamen sepak bola terbesar di dunia yang diadakan di Rusia telah berakhir dengan menobatkan Timnas Perancis sebagai Juara Piala Dunia 2018.

Kemenangan Perancis menunjukkan bahwa kedigdayaan dunia si bulat bundar itu masih milik Benua Eropa.

Namun ada yang unik, Timnas Perancis yang merupakan salah satu dari negara-negara kulit putih itu didominasi oleh personel skuad dengan kulit berwarna.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Skuad Perancis semuanya memang berwarga negara Perancis, tapi darah-darah mayoritas pemain yang membawa negara itu jadi kampiun adalah mayoritas asal Benua Afrika.

Tercatat ada lima pemain berkulit gelap yang tampil sebagai tim inti saat Perancis mengalahkan Kroasia di Final Piala Dunia 2018 di Stadion Luzhniki, Moskow, pada Ahad, 15 Juli. Mereka di antaranya Samuel Umtiti, Kylian Mbappe, Paul Pogba, N’Golo Kante, dan Blaise Matuidi.

Di bangku cadangan, tercatat 10 pemain yang berdarah negara Benua Afrika, yaitu Presnel Kimpembe, Thomas Lemar, Ousmane Dembele, Corentin Tolisso, Steven Nzonzi, Steve Mandanda, Adil Rami, Nabil Fekir, Djibril Sidibe, dan Benjamin Mendy.

Kylian Mbappe dinobatkan sebagai Pemain Muda Terbaik Piala Dunia 2018 mendampingi bintang Kroasia Luka Modric yang dinobatkan sebagai Pemain Terbaik Piala Dunia 2018 dan Harry Kane Inggris sebagai top skor.

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

 

Kemenangan Perancis “kemenangan” migran

Ilustrasi: migran Afrika tenggelam di laut Mediterania saat menuju Italia. (Foto: dok. One Young World)

Di saat arus gelombang migran asal negeri-negeri Benua Hitam ke Benua Biru meninggi dalam lebih lima tahun terakhir, saat “jagoan HAM” Amerika Serikat tidak ramah terhadap para pendatang, kemenangan Perancis di pentas dunia itu seakan menjadi kemenangan bagi para migran.

Kesuksesan yang dirayakan Mbappe dan Pogba yang mencetak gol di final itu di malam penerimaan medali emas dan trofi Piala Dunia 2018, adalah salah satu dari jutaan mimpi yang bersemayam di “kotak harapan” para migran asal Afrika.

Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin

Mimpi mendapat pekerjaan di Benua Biru, penghidupan yang layak, bisa studi di salah satu negaranya, atau menjadi atlet sukses seperti para bintang sepak bola itu, adalah cita-cita yang mendorong jutaan warga negara Afrika melakukan perjalanan berbahaya melintasi beberapa negara demi menjangkau pantai Eropa.

Entah berapa ratus ribu warga Afrika tewas oleh milisi dan pedagang manusia dalam perjalanan daratnya? Lebih banyak lagi jumlah mereka yang berada dalam tahananan untuk sandera yang harus ditebus dan diperjualbelikan sebagai budak. Setiap tahun puluhan ribu yang mati tenggelam di Laut Mediterania (Laut Tengah yang memisahkan Afrika Utara dan Eropa). Dan lebih banyak lagi jumlah mereka yang terlantar di kamp-kamp penampungan dan perbatasan negara Eropa.

 

Negara pelabuhan saling lempar tanggung jawab

Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa

Kedatangan ratusan ribu migran setiap tahun ke Eropa kini menjadi masalah global yang membuat susah pemerintah dan masyarakat negara Eropa, terutama bagi negara-negara yang menjadi pelabuhan utama kedatangan migran seperti Italia, Malta, Yunani dan Spanyol.

Dalam sejumlah kasus, pemerintah Italia dan Malta saling lempar tanggung jawab dalam urusan menyelamatkan dan menerima ratusan migran Afrika yang datang ke wilayah laut mereka.

Pada Jumat, 13 Juli 2018, sebuah perahu berisi sekitar 450 migran berhasil menyeberangi Laut Mediterania.

Menteri Dalam Negeri dan Menteri Transportasi Italia saling lempar tanggung jawab kewajiban menyelamatkan migran dengan Menteri Dalam Negeri Malta.

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

Menteri Dalam Negeri Italia Matteo Salvini bahkan bersikeras bahwa kapal tidak akan berlabuh di seluruh pelabuhan Italia.

Kemarahan pemerintah Italia terhadap migran disebabkan bahwa mereka sudah mengeluarkan banyak biaya untuk merawat lebih dari 600.000 migran yang ditampung dalam beberapa tahun terakhir.

Beberapa pekan sebelumnya, Salvini juga dikecam karena menolak menerima berlabuhnya kapal kemanusiaan Aquarius yang menyelamatan 629 orang migran.

Saat menuju Malta, kapal tersebut juga ditolak, sehingga kapal dan ratusan migran itu harus terkatung-katung di lautan selama lebih sepekan. Kondisi itu membuat marah para aktivis HAM dan demonstrasi besar meledak di Italia mengecam kebijakan Salvini.

Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital

Pada akhirnya, Perdana Menteri baru Spanyol, Pedro Sanchez, mengizinkan pelabuhan negaranya menerima kapal Aquarius berlabuh dengan aman.

Tak bermimpi mengais sampah

Kenyataan di lapangan selalu kontras dengan apa yang dimimpikan oleh para migran. Meski mereka sudah sampai di Benua Biru, tetapi nasib mereka tak kunjung jelas.

Youssouf yang yang berasal dari Guinea mengambil makanan dari tempat pembuangan sampah warga Maroko. Ia adalah salah satu dari banyak anak muda yang mengais-ngais untuk bertahan hidup sambil memimpikan kehidupan di dekat Spanyol.

Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!

“Ibu saya akan sedih jika dia melihat ini,” kata pemuda berusia 20 tahun itu.

Sampah-sampah berbau busuk itu berada di perbukitan di atas Fnideq, sebuah kota tepi laut yang tidak jauh dari tempat Raja Maroko, Raja Mohammed VI menghabiskan liburannya.

Wilayah Spanyol Ceuta berada di cakrawala, itu adalah pemberhentian terakhir bagi ribuan migran dari Benua Afrika yang telah menghabiskan berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk mencoba menjangkau Eropa.

Youssouf telah mencoba  menerobos perbatasan Ceuta berkali-kali selama lima tahun di Maroko, setelah ia melakukan perjalanan panjang yang membawanya melalui Mali dan Aljazair.

Baca Juga: Indonesia, Pohon Palma, dan Kemakmuran Negara OKI

“Setiap orang di sini memiliki impian mereka, untuk belajar, bekerja, bermain sepak bola. Saya bermimpi belajar di Spanyol,” kata Youssouf, sementara teman-temannya menggali sampah dengan beliung.

Fintor, pemuda 22 tahun dari Mali, juga ingin mencapai Spanyol. Ia bermimpi menjadi pemain sepak bola.

“Melakukan ini membuat kami merasa malu. Keluarga kami tidak tahu bahwa kami melakukan ini,” katanya tentang makanan mereka.

Para migran menyerbu ke truk sampah yang baru tiba, bersemangat untuk menyelamatkan apa yang bisa dimakan dan apa yang bisa dipakai sebelum dikuburkan di tempat pembuangan sampah. (A/RI-1/P1)

Baca Juga: Kemenangan Trump dan Harapan Komunitas Muslim Amerika

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-6] Tentang Halal dan Haram

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
MINA Millenia
MINA Preneur
MINA Health