Babak Baru Perang Yaman Setelah Tewasnya Saleh

Mantan presiden Yaman . (Foto: dok. Madote.com)

Kematian mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh menimbulkan keraguan tentang masa depan negara yang dilanda perang tersebut. Dengan kematian itu, beberapa pengamat menilai, perang antar Koalisi Pimpinan Saudi melawan pemberontak kemungkinan akan meningkat.

Menurut Hakim Al-Masmari, Pemimpin Redaksi Yaman Post, Saleh yang terbunuh pada hari Senin, 4 Desember 2017, oleh milisi mantan sekutunya, dianggap sebagai “pukulan yang sangat keras” kepada pasukannya.

“Rumahnya dikepung selama dua hari terakhir dan hari ini (Senin) mereka menyerang rumah tersebut. Dia lolos … dia ditemukan di sebuah kendaraan yang bentrok dengan pasukan pemeriksaan Houthi,” kata Mamari kepada Al Jazeera dari ibu kota Yaman, Sanaa.

Di lokasi itu Saleh dibunuh bersama sejumlah pembantu seniornya.

Saleh yang pernah memerintah Yaman selama lebih dari 30 tahun dan memainkan peran penting dalam perang saudara yang sedang berlangsung di negara tersebut, telah meminta Koalisi Pimpinan Saudi untuk menngnetikan pengepungan terhadap Yaman pada Sabtu, 2 Desember 2017.

Secara resmi dia telah memutuskan hubungan dengan Houthi beberapa hari sebelum kematiannya. Ia mengatakan bahwa dia terbuka untuk berdialog dengan koalisi militer Saudi yang telah berperang melawan Houthi selama lebih dari dua tahun.

Di saat Arab Saudi memuji sambutan Saleh, Houthi menyatakan bahwa Saleh melakukan sebuah “kudeta” dengan penawarannya kepada koalisi negara Arab.

Pada tahun 2015, Arab Saudi, bersama dengan negara-negara Arab lainnya, secara militer melakukan intervensi di Yaman untuk mengembalikan pemerintahan Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi, yang digulingkan oleh kelompok Houthi setahun sebelumnya.

Aliansi Saleh dengan kepemimpinan Houthi dipandang rapuh, menyatukan partai Kongres Rakyat Umum (GPC) dan fraksi Houthi Ansarullah yang di masa lalu saling bertentangan.

Masmari mencatat, kematian Saleh dapat menyebabkan koalisi pimpinan Saudi akan lebih meningkatkan operasi militernya.

Sejak perpecahan antara Houthi dan Saleh di akhir November, Koalisi Pimpinan Saudi telah mengintensifkan serangan udara di daerah-daerah yang dikuasai Houthi di Sanaa, yang menargetkan bandara dan gedung Kementerian Dalam Negeri yang ditinggalkan.

Koalisi Tidak Banyak Pilihan

Milisi Houthi Yaman. (Foto: ISISstudygroup.com)

Joost Hiltermann, Direktur Program Timur Tengah Kelompok Krisis Internasional, mengatakan, perkembangan terakhir merupakan kemunduran besar bagi Koalisi Pimpinan Saudi yang mencakup Uni Emirat Arab (UEA) sebagai pemain kunci.

“Koalisi mempertaruhkan harapan mereka pada Saleh untuk menundukkan Houthi, tapi keadaan tampaknya berubah secara berbeda. Ini menunjukkan kebangkrutan pendekatan militer mereka terhadap perang,” kata Hiltermann.

Awal tahun ini, serangkaian email yang bocor mengungkapkan, selama pembicaraan dengan mantan pejabat Amerika Serikat (AS), Arab Saudi berkeinginan untuk mengakhiri perang di Yaman.

Meskipun tidak ada langkah-langkah resmi dari Arab Saudi untuk menarik diri dari konflik tersebut, Hiltermann mengatakan, Riyadh saat ini memiliki lebih sedikit pilihan.

“Jika mereka memutuskan untuk melipatgandakan pengeboman udara, warga sipillah yang akan menderita di atas malapetaka kemanusiaan yang telah kita lihat di Yaman,” katanya.

Pertempuran antara sesama pemberontak (Houthi dan Saleh) tersebut terjadi di saat penghuni Sanaa yang diblokade sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan.

Koalisi yang dipimpin Saudi memberlakukan blokade pada bulan Oktober di negara Semenanjung Arab itu, padahal hampir 80 persen penduduk membutuhkan bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup.

Akhir November 2017, di tengah meningkatnya tekanan internasional atas penderitaan jutaan orang Yaman, beberapa bantuan kemanusiaan diizinkan memasuki Yaman.

Andreas Krieg, seorang pengamat politik King’s College London, mengatakan, dalam jangka pendek di Yaman akan mengalami keadaan tidak aman yang lebih buruk dari sebelumnya.

“Pengeboman koalisi sudah cukup buruk, sekarang akan ada tingkat perang saudara yang baru,” katanya.

Menurutnya, Arab Saudi ingin menarik diri dari konflik “mahal” itu, tapi sekarang tidak ada jalan keluar dari perang bagi koalisi.

Masa Depan GCP

Kematian Saleh membuka lebar pertanyaan tentang siapa yang akan menjdi penerusnya untuk memimpin partai Kongres Rakyat Umum (GPC).

Pengamat mempertanyakan, apakah pengikut GPC akhirnya akan berjanji setia kepada Houthi, atau mereka akan berkumpul kembali dan bersekutu dengan tokoh-tokoh terkemuka GPC.

Putra Saleh, Ahmed Abdullah Saleh, mantan komandan Garda Republik tentara Yaman, telah tinggal di UEA selama lebih dari empat tahun.

Keponakan Saleh, Tareq Mohammed Abdullah Saleh, adalah seorang jenderal angkatan darat yang telah bertindak sebagai penasihat militer Saleh selama bertahun-tahun.

Menurut Hakim Al-Masmari, Tareq diperkirakan akan memimpin operasi militer melawan pemberontak Houthi.

Gamal Gasim, profesor Studi Timur Tengah di Grand Valley State University, mengatakan, keamanan Sanaa mungkin tetap stabil jika Houthi mempercepat kontrol mereka atas kota tersebut.

Namun, jika keponakan Saleh berhasil mengumpulkan dukungan dari Garda Republik serta suku Sinhan Saleh sendiri, kekacauan di Sanaa bisa terjadi.

“Masih harus dilihat apakah putra Saleh, Ahmad Saleh akan kembali ke Yaman dan mengklaim kepemimpinan atas apa yang tersisa dari pasukan ayahnya,” kata Gasim dan mencatat bahwa langkah itu memerlukan dukungan dari Arab Saudi dan UEA.

“Waktu di sini sangat penting, jika mereka ingin berhasil dalam usaha itu, mereka harus bergerak dalam 48 jam,” tambah Profesor. (A/RI-1/P1)

Sumber: Al Jazeera

Mi’raj News Agency (MINA)