Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bahaya Hasad

Bahron Ansori - Sabtu, 29 Juli 2017 - 10:58 WIB

Sabtu, 29 Juli 2017 - 10:58 WIB

684 Views

(Ilustrasi: Zaenal/MINA)

dengki-ilustrasi-300x188.jpg" alt="" width="796" height="499" /> (Ilustrasi: Zaenal/MINA)

Oleh Bahron Ansori, jurnalis MINA

 
SALAH satu sifat tercela yang hampir-hampir menghinggapi setiap orang adalah sifat hasad (dengki). Menurut Imam al-Ghazali, hasad memiliki dua tingkatan: pertama, Anda tidak suka orang lain mendapatkan nikmat dan Anda ingin menghilangkannya; kedua, keinginan memperoleh nikmat serupa yang dimiliki orang lain, tanpa bermaksud atau berharap hilangnya nikmat itu pada orang lain, ini yang biasa disebut dengan istilah ghibhah.
Orang hasad adalah orang yang –tanpa alasan yang rasional—tidak senang kepada segala kelebihan dan keutamaan yang dimiliki orang lain, baik kelebihan itu berupa harta benda, kekayaan, kedudukan, kehormatan, dan lain-lain. Bisa jadi, orang hasad akan membenci orang lain yang sebetulnya tidak memiliki nikmat atau kelebihan apa-apa, tetapi oleh yang hasad diduga memilikinya. 
Bisa jadi pula orang hasad akan merasa senang kalau orang lain terus-menerus dalam kesusahan dan kekurangan, meskipun ia tahu bahwa yang bersangkutan sudah tidak memiliki kelebihan apa-apa. Jadi, hasad itu kecenderungan untuk membenci semua orang tanpa alasan yang jelas, rasional dan dibenarkan oleh ajaran agama. 
 
Karena kebencian dan kedengkiannya, orang hasad secara diam-diam biasanya menginginkan orang yang dibencinya itu celaka. Dan kalau sudah begitu, besar kemungkinan baik secara langsung maupun tidak langsung kita akan ikut terlibat dalam usaha mencelakakannya. Maka, timbullah ghībah dan fitnah, yaitu menyebar berita buruk mengenai orang yang dibencinya itu, baik berita itu benar adanya, atau –apalagi- tidak benar. 
 
Orang yang hasad, hatinya selalu gelisah. Kegelisahannya bukan disebabkan oleh kekurangan yang ada pada dirinya semata, tetapi lebih dari itu karena kelebihan yang ada pada orang lain. Ia lebih fokus memperhatikan kelebihan orang lain daripada introspeksi atas kekurangan pada dirinya. 
 
Jika berusaha, maka usahanya itu dikerahkan untuk menghilangkan kelebihan pada orang lain, daripada usaha untuk memperbaiki nasib dirinya sendiri. Nabi pernah mengingatkan kita semua:
 
عنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنَّ النَّبيَّ صلى الله عليه وسلم قالَ: « إِيَاكُمْ وَالْحَسَدَ، فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كما تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ
 
Dari Abu Hurairah r.a, Nabi S.a.w bersabda: Jauhilah olehmu sifat hasad, karena sesungguhnya hasad itu dapat menghilankan segala kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu yang kering. (HR. Abu Dawud)
 
Orang yang dengki atau hasad, di dalam hatinya tersembunyi keinginan agar orang lain celaka. Maka kedengkian itu merupakan bukti yang nyata sekali bahwa sesungguhnya di dalam hatinya tidak punya i’tikad baik kepada orang lain secara tulus. Maka, andaikata terdapat kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh seorang pendengki dapat dipastikan bahwa sesungguhnya kebaikan-kebaikan yang diperbuatnya itu palsu. 
 
Suatu perbuatan baik tanpa disertai dengan niat atau i’tikad baik, maka mustahil akan melahirkan perbuatan yang tulus. Dengan kata lain, perbuatan baiknya kepada orang lain hanyalah untuk menutupi kebusukan niatnya yang tersembunyi di dalam hatinya. 
 
Oleh karena itu, karena sifatnya tersembunyi dan sulit diketahui secara lahiriah, Al-Qur’an dalam surat al-Falaq menganjurkan kepada kita agar senantiasa berlindung kepada Allah dari kejahatan pendengki, karena hanya Allah-lah yang mengetahui apa yang tersembunyi. 
 
Surat al-Falaq ini, mengingat kandungan makna dan sabab nuzūl-nya, maka kita juga dianjurkan untuk membacanya jika melihat suatu kenikmatan yang ada pada orang lain.
 
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ. مِن شَرِّ مَا خَلَقَ. وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ .وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ .وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ 
 
Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai Subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan peniup-peniup pada buhul-buhul, dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki. (Q, s. al-Falaq / 113:1-5)
 
Islam sangat mencela perbuatan hasad, karena hasad merupakan pangkal permusuhan. Dalam ajaran Islam, hasad hanya dibolehkan dalam dua hal: terhadap yang orang dianugerahi harta oleh Allah kemudian ia menafkahkannya dengan benar, dan terhadap orang yang dianugerahi ilmu kemudian ia mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain. Rasulullah S.a.w bersabda:
 
عن ابنِ مسعودٍ رضيَ اللهُ عنه قال: سمعتُ النبيِّ صلى الله عليه وسلم يقول :لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٍ آتاهُ اللهُ مالاً فَسَلَّطَهُ عَلىَ هَلَكتهِ في الحَقِّ، ورَجُلٍ آتاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقضِي بِهَا ويُعلِّمها  
 
Dari Ibnu Mas’ud r.a, Rasulullah S.a.w bersabda: Tidak dibenarkan hasad kecuali dalam dua hal; terhadap seseorang yang diberi anugerah oleh Allah berupa harta lalu dia menafkahkannya di jalan yang benar, dan terhadap seseorang yang diberi anugerah ilmu oleh Allah lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain. (HR. Bukhari dan Muslim)
 
Artinya, Nabi memberi arah kepada kita bahwa yang boleh diirikan oleh kita dari orang lain adalah amal shalehnya, bukan kebendaannya. Kita boleh iri kepada orang kaya, tetapi bukan kekayaannya melainkan perbuatannya menafkahkan kekayaannya itu di jalan yang benar. Demikian pula dengan ilmu, kita diperbolehkan iri kepada orang yang berilmu, bukan karena ilmunya, melainkan karena perbuatannya dalam mengamalkan dan mengajarkan ilmunya, wallahua’lam.(A/RS3/B05)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA) 

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Kolom
Palestina
Tausiyah
Kolom