Jakarta, MINA – Majelis Akreditasi, Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) Prof. Bambang Suryoatmono, Ph.D. mengatakan, instrumen Kampus Tanpa Rokok bisa menjadi salah satu indikator dalam akreditasi Perguruan Tinggi (PT) karena sejalan dengan perundang-undangan yang ada dalam aturan pendirian PT.
Menurutnya, jika tidak dilaksanakan bisa dianggap pelanggaran terhadap perundang-undangan seperti dinyatakan dalam pasal 1 Permendikbud 7/2020 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran PTN, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin PTS.
“Salah satu pelanggarannya adalah terhadap UU nomer 17/ 2023 tentang Kesehatan, yang di dalamnya mengatur tentang Kawasan Tanpa Rokok di tujuh tatanan, antara lain tempat proses belajar mengajar,” kata Prof Bambang Suryoatmono, pada Diskusi Publik mengenai elemen Kampus Tanpa Rokok untuk masuk dalam Indikator Akreditasi Perguruan Tinggi di Indonesia, Rabu (16/10).
Diskusi publik yang digelar secara luring dan daring di Jakarta ini digelar TCSC IAKMI (Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, bekerjasama dengan AAKIPT (Aliansi Akademisi Komunikasi Komunikasi untuk Pengendalian Tembakau) dan Puskalit Kesehatan dan Gender LSPR Institute.
Baca Juga: Kompetensi One Health Penting untuk Pencegahan Pandemi
Diskusi publik ini merupakan kelanjutan dari dua Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) yang sudah dilaksanakan sebelumnya.
Senada dengan Prof Bambang, dr. Lestari Nurhajati, Ketua Puskalit Kesehatan dan Gender, LSPR Institute mengatakan, instrumen Kampus Tanpa Rokok harus menjadi salah satu indikator dalam akreditasi perguruan tinggi untuk meningkatkan lingkungan kampus yang lebih sehat dan merupakan bentuk dukungan sivitas akademika dalam upaya pengendalian tembakau di Indonesia.
Lebih lanjut ia menegaskan, Kampus Tanpa Rokok juga meliputi kampus tanpa iklan, promosi, sponsor rokok dan bentuk kerjasama apapun dengan industri rokok, termasuk beasiswa Pendidikan.
Sementara Ketua TCSC IAKMI, dr. Sumarjati Arjoso, SKM., menyayangkan tidak tercapainya target pemerintah dalam RPJMN 2020–2024, khususnya untuk penurunan prevalensi merokok usia 10–18 tahun menjadi 8,7% di tahun 2024.
Baca Juga: Prof. Dante: Menjaga Kesehatan Mata Anak Sejak Dini, Investasi Masa Depan
Mengutip Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ia menyampaikan bahwa Indonesia mengalami kelambatan dalam penanggulangan masalah tembakau/rokok, yang ditandai dengan sulitnya mengurangi prevalensi merokok khususnya di kalangan anak di bawah 18 tahun, di mana terjadi kenaikan dari 7,2% di tahun 2013 menjadi 9,1% di tahun 2019.
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023, menunjukkan bahwa sebanyak 56,5% remaja usia 15–19 tahun merokok setiap hari.
Dalam paparannya tentang analisis hasil FGD sebelumnya, Ketua AAKIPT Prof. Dr. Eni Maryani, M.Si. menyampaikan, KTR sudah ada aturan hukumnya secara jelas dalam UU Kesehatan nomer 17/ 2003.
“Secara legal memasukan instrumen untuk penegakan KTR di berbagai Universitas sangat bisa dilakukan, karena sejalan dengan peraturan perundangan yang berlaku,” tegasnya.
Baca Juga: Pemerintah Diminta Manfaatkan Potensi Lokal untuk Program Makan Bergizi Gratis
Untuk itu, lanjut Prof Eni, Asesor BAN PT/ LAM PT perlu menilai penerapan budaya berkualitas termasuk upaya mematuhi peraturan yang telah diberlakukan pemerintah terkait dengan penilaian Akreditasi PT sebagai sebagai salah satu alat penjamian mutu Pendidikan Tinggi.
Tujuan dari Diskusi Publik tersebut untuk menyampaikan pemahaman pentingnya Kampus Tanpa Rokok sebagai indikator akreditasi perguruan tinggi di Indonesia, sekaligus indikator apa saja terkait Kampus Tanpa Rokok, yang bisa menjadi instrumen akreditasi perguruan tinggi.
Selain itu, tujuan diskusi publik ini juga untuk mengembangkan dukungan stakeholder terkait masuknya indikator implementasi kampus tanpa rokok dalam akreditasi PT di Indonesia, sebagai salah satu upaya penurunan angka perokok di kalangan generasi muda Indonesia.
Hadir sebagai pemantik diskusi juga Dr. dra. Rita Damayanti, MSPH., Ketua Pokja KTR di Universitas Indonesia, mengenai Praktek Baik Proses KTR di UI dan dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid., Direktur P2PTM, Kemenkes, RI, mengenai “Implementasi Kawasan Tanpa Rokok di Indonesia”.
Baca Juga: Yuk, Kuatkan Tubuh dan Jiwamu dengan Renang!
Sedangkan para peserta aktif terdiri dari kalangan akademisi, lembaga asesor, jaringan pengendalian tembakau dan media.
Seperti kita ketahui, Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah ruangan atau area yang dilarang untuk kegiatan merokok, memproduksi, menjual, mengiklankan, dan atau mempromosikan produk tembakau di lingkungan kampus.
Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan Pasal 151 ayat (1), terdapat tujuh KTR yang terdiri dari fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja dan tempat umum, serta tempat lain yang ditetapkan. Lingkungan kampus termasuk dalam tempat proses belajar mengajar sehingga KTR perlu iimplementasikan. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Layanan Darurat Medis 119 Kini Bisa Diakses Melalui SATUSEHAT Mobile