Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Benefit Oriented Life (Oleh: Shamsi Ali*)

siti aisyah - Rabu, 23 Juni 2021 - 22:07 WIB

Rabu, 23 Juni 2021 - 22:07 WIB

7 Views ㅤ

Imam Shamsi Ali poses for a picture in New York, Thursday, Dec. 29, 2011. While Shamsi Ali plans to attend Mayor Michael Bloomberg's annual year-end interfaith breakfast, some clerics and community leaders said they will boycott the event over a surveillance program on Muslim neighborhoods, whose existence was revealed recently in a series of Associated Press articles. (AP Photo/Seth Wenig)

Sekali lagi saya memakai bahasa Inggris untuk tulisan ini. Bukan karena tinggal di kota New York. Tidak juga karena sok tinggal di luar negeri. Bukan juga untuk dikenal bisa bahasa bule. Apalagi untuk sekedar dikenal New Yorker man!

Saya memakai judul Inggris, seperti yang pernah saya sampaikan, untuk menarik perhatian. Biar judul ini punya “eye catchy”. Punya daya tarik. Walau mungkin substansinya biasa-biasa saja. Sekaligus ingin mengingatkan betapa kita sering terperangkap oleh “cover” sebuah buku tanpa mendalami isinya.

Hanya saja judul yang saya pakai kali ini juga bisa disalahpahami secara konten. Kemungkinan saja ada yang salah memahaminya sebagai dorongan hidup untuk tujuan kepentingan (interest). Padahal yang saya maksud adalah ‘benefit‘ (kemanfaatan).

Asumsi saya di atas juga merujuk kepada realita betapa ada orang-orang tertentu sangat cekatan mencari salah orang, yang benar saja dicarikan celah salahnya. Apalagi memang salah. Sehingga tugasnya memang hanya menyalahkan orang lain, bahkan mencari-cari kesalahan orang lain.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Dengan judul ini saya ingin sekaligus menyampaikan bahwa dalam menilai dunia, termasuk diri kita sendiri dan tetangga, kerap cara pandang seperti ini berlaku. Menilai diri atau orang lain pada tepian realita. Prestasi dan kehebatan dinilai pada penampakan sesaat. Tanpa usaha menyelami siapa diri kita atau tetangga di sekitar kita.

Islam sesungguhnya telah memberikan acuannya dalam menilai sesuatu atau seseorang. Apakah menilai diri sendiri atau orang lain.

Islam tidak menafikan adanya “fadhail” (kelebihan-kelebihan) tertentu pada masing-masing orang. Ada yang dilebihkan pada asfek fisikal (ganteng atau cantik). Ada pula pada aspek harta (kaya). Juga pada aspek sosial (terkenal dan dihormati). Dan tentunya ragam lainnya dalam kehidupan dunia ini.

Pada aspek-aspek itu Allah menegaskan “dan Allah melebihkan sebagian di antara kalian di atas sebagian yang lain”.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Ini menjadi sunnatullah yang dengannya terjadi “tansiiq” (interkoneksi) dalam kehidupan. Yang miskin perlu yang kaya. Dan yang kaya juga perlu yang miskin. Yang bodoh perlu yang pintar. Dan yang pintar juga perlu yang bodoh.

Bahkan sejatinya tak akan ada orang kaya kalau tidak ada orang miskin. Dan tak akan ada orang pintar tanpa orang bodoh. Kalau semua kaya atau pintar, bagaimana mengukur kekayaan dan kepintaran?

Tapi dari semua aspek-aspek yang dianggap kelebihan itu, Islam kemudian menempatkan sebuah nilai (value) yang menembus semua aspek-aspek keduniaan itu. Nilai itulah yang disebut dengan “taqwa”.

Inna akromakum indallah atqaakum” (Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa”- al-Hujurat: 13).

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Ketakwaan itu menembus semua dinding-dinding keduniaan kita. Dinding fisikal (ganteng atau cantik). Dinding harta dan kepemilikan (kaya atau miskin). Dinding-dinding sosial (terkenal atau tidak dikenal, terhormat atau tidak dihormati). Demikian seterusnya, ketakwaanlah dalam pandangan Islam yang menjadi penentu semuanya.

Ketakwaan tentunya dipahami sebagaj tingkatan tertinggi dari religiositas seseorang. Ketakwaan itu mencakup sisi hidup beragama kita. Dari Syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji, hingga ke layanan sosial baik kepada keluarga sendiri maupun kepada tetangga dan seluruh manusia.

Esensinya ketakwaan itu teraktualkan dalam pengabdian kita, baik secara vertikal (hablun minallah) maupun secara horizontal (hablun minannas).

Inilah sesungguhnya yang ingin saya garis bawahi dengan istilah “benefit oriented”. Bahwa hidup manusia bertakwa itu adalah hidup yang berorientasi kepada kemanfaatan (benefits).

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Dengan hidupnya yang berorientasi kemanfaatan itu seseorang menjalani hidup ketakwaan. Dan dengan ketakwaan itu dia menjadi orang karim (noble atau mulia).

Realita itulah juga yang sesungguhnya tersimpulkan dalam hadits Rasulullah SAW: “sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat”.

Karenanya mari hidup mulia (‘isy karimah) dengan menabur manfaat di alam sekitar kita. Dengan kemanfataan itulah kemuliaan dan kehormatan akan diraih. Mungkin tidak di mata manusia. Tapi di mata Allah (‘indallah). Semoga!

*Presiden Nusantara Foundation

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

(AK/R6/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Ramadhan
Ramadhan 1445 H
Kolom
Kolom
Kolom