Oleh: K.H. Yakhsyallah Mansur,M.A.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (٢٣) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (٢٤) رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا فِي نُفُوسِكُمْ إِنْ تَكُونُوا صَالِحِينَ فَإِنَّهُ كَانَ لِلْأَوَّابِينَ غَفُورًا (٢٥)/ الإسراء [١٧]: ٢٣-٢٥
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.” (25) (Q.S. Al-Isra’ [17]: 23-25).
Pada rangkaian ayat ini, setelah Allah memerintahkan manusia agar jangan menyembah selain Allah kemudian memerintahkan agar manusia berbakti kepada kedua ibu bapak, seperti yang disebutkan pada ayat yang lain:
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ/ لقمان [٣١]: ١٤
Artinya: “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku kembalimu.” (Q.S. Luqman [31]: 14)
Berbakti Kunci Kesuksesan
Berbakti kepada ibu bapak adalah kunci kebahagiaan dan kesuksesan anak di dunia dan di akhirat.
Disebutkan dalam sebuah hadits:
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا صَعِدَ الْمِنْبَرَ قَالَ أَمِيْنَ، أَمِيْنَ، أَمِيْنَ. فَقَالُوا يَا رَسُوْلَ اللهِ عَلاَمَ أَمِنْتَ قَالَ أَتاَنِي جِبْرِيْلُ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ رَغِمَ أَنْفُ امْرِئٍ ذُكِرْتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ فَقُلْ أَمِيْنَ. فَقُلْتُ أَمِيْنَ ثُمَّ قَالَ رَغِمَ اَنْفُ امْرِئٍ دَخَلَ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ خَرَجَ وَلمَ ْيُغْفَرْلَهُ قُلْ أَمِيْنَ فَقُلْتُ أَمِيْنَ. ثُمَّ قاَلَ رَغِمَ أَنْفُ امْرِئٍ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدَ هُمَا فَلَمْ يَدْخُلاَهُ الْجَنَّةَ قُلْ أَمِيْنَ فَقُلْتُ أَمِيْنَ (رواه احمد)
Artinya: “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika naik mimbar mengucapkan, “Amin, amin, amin.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, untuk apa engkau mengucapkan amin? Beliau menjawab, “Jibril datang kepadaku lalu berkata, “Hai Muhammad, hidup sengsara seseorang, engkau disebut didekatnya namun dia tidak mengucapkan shalawat kepada engkau.”Kemudian Jibril berkata, “Hidup sengsara, bulan Ramadhan datang lalu itu habis sebelum dosanya diampuni. Lalu Jibril berkata, “Ucapkan amin.” Maka saya mengucapkan amin. Kemudian Jibril berkata, “Hidup sengsara seseorang yang menjumpai dua ibu bapaknya atau salah satu dari keduanya, namun keduanya tidak menyebabkan dia masuk surga.” Lalu Jibril berkata, “Ucapkan amin.” Lalu saya mengucapkan amin.” (H.R. Ahmad)
Ibnu Abbas berkata, “Tidaklah seorang muslim mempunyai dua orang tua muslim, kemudian dia berbakti kepada keduanya, karena mengharapkan ridla Allah, kecuali Allah akan membukakan dua pintu untuknya. Maksudnya pintu surga. Jika dia hanya berbakti kepada salah satu orang tuanya maka hanya satu pintu yang dibukakan untuknya. Jika salah satu dari keduanya marah maka Allah tidak akan meridlainya.” Ditanyakan kepda Ibnu Abbas, “Sekalipun keduanya menzhaliminya?” Ibnu Abbas menjawab, “Sekalipun keduanya menzhaliminya.”
Kewajiban berbakti kepada ibu bapak menduduki tempat kedua setelah kewajiban beribadah kepada Allah karena kehidupan manusia tidak mungkin ada tanpa pengorbanan dan kerja keras ibu bapak yang mengasihi mereka dan memenuhi semua keperluan mereka di saat anak masih lemah.
Untuk menggambarkan kasih sayang orang tua terhadap anaknya, Syaikh Fathi Muhammad ath-Thahir menukilkan suatu peristiwa tentang perselisihan antara seorang anak dan ayahnya yang pernah terjadi di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dari Jabir bin Abdullah Radliyallahu ‘Anhu berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, lalu dia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku telah mengambil hartaku. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepada laki-laki itu, “Datangkanlah ayahmu itu kepadaku!” Malaikat Jibril kemudian menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan berkata, “Sesungguhnya Allah menyampaikan salam untukmu dan berkata kepadamu, “Jika datang orang tua itu kepadamu maka tanyakanlah kepadanya tentang apa yang dia ucapkan dalam hatinya dan yang tidak didengar oleh kedua telinganya.”
Baca Juga: Malu Kepada Allah
Ketika orang tua itu datang maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepadanya, “Mengapa anakmu mengadukanmu? Apakah kamu ingin mengambil hartanya?” Orang tua itu menjawab, “Tanyakan kepadanya wahai Rasulullah, saya tidak menggunakannya kecuali untuk salah seorang bibi dari pihak ibunya atau bibi dari pihak bapaknya atau untuk diriku.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Kita tinggalkan persoalan ini. Beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang kamu katakan dalam dirimu, yang tidak didengar oleh kedua telingamu!” Orang tua itu menjawab, “Demi Allah, wahai Rasulullah, Allah senantiasa menambah keyakinanku kepadamu. Sesungguhnya aku telah mengucapkan dalam diriku, sesuatu yang tidak didengar oleh kedua telingaku. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Katakanlah, aku akan mendengarkannya.” Orang itu berkata,
“Aku telah mengurusmu di waktu kecil.
Dan aku telah membimbingmu di masa muda.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-19] Jagalah Allah, Pasti Allah akan Menjagamu
Saat itu kamu merasa payah dan dahaga oleh sesuatu yang menyerangmu.
Jika malam menimpakan penyakit kepadamu.
Karena kamu sakit aku tidak tidur dan terus berkomat kamit.
Seolah aku yang tertunduk oleh perintah.
Baca Juga: Mengembangkan Pola Pikir Positif dalam Islam
yang memerintahkan aku untuk tunduk kepadamu.
Maka kedua mataku tidak dapat terpejam.
Jiwaku selalu mengkhawatirkanmu akan meninggal.
Padahal dia tahu bahwa kematian telah ditentukan waktunya.
Baca Juga: Tadabbur QS. Thaha ayat 14, Dirikan Shalat untuk Mengingat Allah
Ketika kamu menginjak dewasa.
Aku tidak lagi mengharapkanmu.
Kamu menjadikan kekerasan dan kekasaran sebagai balasan untukku.
Seolah kamu pemberi jasa yang besar.
Baca Juga: Terus Berjuang Membela Palestina
Ketika kamu tidak memelihara hakku sebagai ayah.
Maka aku berharap kamu melakukan sesuatu.
Yang dilakukan oleh tetangga yang dekat terhadapku.
Lalu engkau akan memberikan hakku seperti tetangga.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-18] Tentang Taqwa
Dan engkau tidak kikir dalam memberikan hartaku, bukan hartamu kepadaku.”
Ketika itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memegang leher baju anak orang tua itu, lalu bersabda, “Kamu dan hartamu adalah milik bapakmu.” (H.R. Thabrani, dengan sanad yang dlaif)
Menurut riwayat lain dinyatakan, “Ketika orang tua itu menyatakan bait-bait puisi tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun menangis, kemudian beliau bersabda, “Tidak ada satu batu atau penduduk kota yang mendengar bait-bait puisi ini kecuali mereka akan menangis.”
Berkhidmat Pada Orang Tua
Baca Juga: Mahsyar dan Mansyar: Refleksi tentang Kehidupan Abadi
Selanjutnya pada ayat tadi, Allah memberi tuntunan kepada anak, bagaimana berkhidmat kepada orang tua jika keduanya atau salah satu di antara keduanya telah berusia lanjut sehingga tidak mampu lagi hidup mandiri dan sudah sangat bergantung kepada anaknya. Terhadap orang yang sudah dalam kondisi semacam ini, anak tidak boleh mengucapkan “uffin” (hus/ah).
Kata uffin asal artinya adalah daki hitam dalam kuku. Menurut Ibn Katsir, uffin adalah kata-kata buruk pada tingkatan yang paling rendah. Sedang Abu Raja’ al-Atharidy mengatakan bahwa uffin adalah kata-kata yang mengandung kejengkelan dan kebosanan, meskipun tidak diucapkan.
Mujahid ketika menjelaskan ayat ini mengatakan, “Maksudnya adalah jika engkau lihat salah seorang atau kedua orang tua telah berak atau kencing di mana maunya saja, sebagaimana yang engkau lakukan di waktu engkau kecil, janganlah engkau mengeluarkan kata yang mengandung keluhan sedikit pun.”
Sesudah dilarang mengucapkan kata-kata yang mengandung keluhan bahkan walaupun tidak kedengaran, seorang anak dilarang membentak, menghardik, atau membelalakkkan mata kepada orang tua. Maksudnya mengeluh saja tidak boleh apalagi membentak dan menghardik atau menggunakan kata-kata kasar.
Baca Juga: Sujud dan Mendekatlah
Dalam tafsir al-Lusi dijelaskan yang dimaksud Janganlah kamu membentak mereka adalah larangan untuk memperlihatkan ketidaksetujuan terhadap pendapat kedua orang tua dengan cara membantah atau menyangkal kebenaran perkataan mereka berdua.”
Pada ujung ayat ini, Allah memerintahkan agar anak mengucapkan perkataan yang mulia terhadap kedua orang tua, maksudnya sebagai ganti dari ucapan ah atau bentakan, katakanlah kepada mereka berdua dengan perkataan yang indah, lembut, dan tidak mengandung unsur kekerasan sedikitpun.
Umar bin Khaththab pernah berkata, “Maksudnya, seorang anak harus mengatakan, Wahai Bapakku atau Wahai Ibuku. Dia tidak boleh memanggil kedua orangtuanya dengan menyebut nama mereka, tidak boleh mengeraskan suara di hadapan mereka dan tidak pula memandang mereka dengan membelalakkan matanya.”
Pada ayat selanjutnya, Allah memerintahkan agar anak merendahkan dirinya terhadap ibu dan bapak dengan penuh kasih sayang. Menurut al-Qurthubi, ungkapan itu merupakan isti’arah (metafora/kiasan) dari sikap lembut dan sayang kepada kedua orangtua serta sikap tunduk kepada mereka berdua seperti tunduknya rakyat kepada pemimpinnya dan seorang budak kepada tuannya.
Pada ayat ini Allah menggunakan kata janh (sayap) untuk menggambarkan ketundukan anak kepada orang tua. Dengan demikian seolah-olah Allah berfirman, “Perhatikan keadaan kedua orangtuamu dan ajaklah mereka tinggal bersamamu seperti yang telah dilakukan oleh seekor burung yang merendahkan sayapnya untuk memeluk anak-anaknya dan merawatnya.”
Adapun kata dengan kasih sayang adalah mengandung arti ta’lil (alasan), maksudnya rendahkanlah dirimu kepada orangtua karena besarnya kasih sayang dan cintamu kepada mereka. Hal ini karena mereka berdua sudah tua dan sekarang mereka sangat memerlukan seseorang yang dulunya merupakan makhluk yang paling memerlukan mereka berdua.
Ayat ini ditutup dengan perintah Allah agar anak mengucapkan doa untuk orang tuanya, “Wahai Tuhanku kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka berdua merawatku pada waktu kecil.” Disini tampak bagaimana susah payah ibu-bapak mengasuh dan mendidik anak di waktu anak itu masih kecil. Mereka merawat anaknya dengan penuh kasih sayang tanpa mengharap balas jasa.
Kasih Sayang Orang Tua
Di dalam surat Luqman (31) ayat 14, Allah menggambarkan betapa susahnya ibu-bapak, khususnya ibu yang mengandung dan menyusui anaknya:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.”
Pada surat Al-Ahqaf (46) ayat 15, Allah menggambarkan kesusahan seorang ibu yang mengandung, melahirkan dan menyusui anaknya:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا
Artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, “
Pada kedua ayat di atas, Allah menyamakan antara ayah dan ibu dalam hal mendapatkan bakti dari anaknya kemudian menyebut secara khusus tentang beratnya ibu dalam mengandung, melahirkan, dan menyusui. Oleh karena itu disebutkan dalam sebuah hadits:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ الله مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحْبَتِى؟ قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أَبُوْكَ (متفق عليه)
Artinya: “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menanyakan, “Wahai Rasulullah, siapakah yang lebih berhak mendapat baktiku? Beliau menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Sesudah itu siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Sesudah itu siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Sesudah itu siapa?” Beliau menjawab, “Ayahmu.” (Mutafaq ‘Alaih)
Di sini jelas bahwa ibu dan ayah harus dihormati, namun kepada ibu berlipat ganda tiga kali. Hal ini dikarenakan ibu mengalami tiga kepayahan saat mengandung, melahirkan dan menyusui. Sedangkan ayah hanya merasakan kepayahan dalam mendidik dan membesarkan anak.
Doa yang diajarkan oleh Allah pada ayat ini hendaknya selalu dibaca tatkala ibu dan ayah masih hidup, dan setelah mereka meninggal dunia karena kewajiban berbakti kepada ibu-bapak tetap berlanjut walaupun mereka telah meninggal dunia.
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits, bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan bertanya, “Masih adakah kewajiban yang wajib aku lakukan kepada kedua orang tuaku yang telah meninggal dunia? Beliau bersabda:
نَعَمْ خِصَالٌ اَرْبَعُ الصَّلاَة عَلَيْهِمَا وَالْاِسْتِغْفَارُلَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِ هِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيْقِهِمِا وَصِلَّةُ الرَّحِيْم الَّتِى لاَ يَرْحِمَ لَكَ إِلاَّ مِنْ قَبَلِهِمَا فَهُوَ الَّذِي بَقِىَ عَلَيْكَ مِنْ بِرِّهِمَا بَعْدَ مَوْتِهِمَا
Artinya: “Benar, masih ada empat macam kewajiban: Mendoakan keduanya, memohonkan ampun kepada Allah untuk keduanya, melaksanakan pesan-pesan/kebiasaan keduanya, dan menyambung tali persaudaraan yang tidak terhubung kepada engkau melainkan dari keduanya. Itulah yang tinggal untuk engkau sebagai bakti kepada keduanya setelah mereka meninggal.”
Rangkaian ayat tentang kewajiban berbakti kepada ibu dan bapak ini ditutup dengan menggambarkan kondisi psikologis sebagian anak dalam berbakti kepada kedua orang tuanya, sebagaimana disebutkan dalam kalimat: Tuhanmu lebih tahu apa yang dalam dirimu maksudnya Allah tahu, tidak sedikit anak yang perasaannya tertekan, karena meskipun orang tuanya sudah dihormati sedemikian rupa masih saja bersikap keras atau ada sikapnya yang tidak disenangi oleh anaknya sehingga anaknya harus menahan perasaan bahkan terkadang dongkol dan jengkel kepada mereka. Perasaan yang demikian ini diketahui oleh Allah namun perasaan ini dimaafkan oleh Allah, asal anak tetap berbuat baik kepada kedua orangtua, tetap beribadah kepada Allah dan banyak bertaubat karena Allah memberi ampun kepada orang-orang yang banyak bertaubat.
Tuntunan Allah dalam rangkaian ayat ini telah menjadi pedoman umat Islam di masa keemasan mereka. Rumah perawatan orang dan panti jompo tidak dikenal dalam masyarakat Islam saat itu. Anggota keluarga yang lanjut usia dan sakit hampir selalu berada di rumah anak-anaknya dirawat dan dihormati sampai meninggalnya. Mereka sangat menghormati ibu dan ayah mereka, sehingga anak mereka menghormati mereka, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
بِرُّوا أَبَاءَكُمْ تَبِرُّكُمْ اَبْنَاءُكُمْ (روا الطبراني والحاكم
Artinya: “Berbaktilah kalian kepada bapak-bapak kalian, niscaya anak-anak kalian akan berbakti kepada kalian.” (H.R. Thabrani dan Hakim)
Namun demikian, kewajiban anak berbakti kepada orangtuanya bukanlah kewajiban buta. Seorang anak tidak mentaati orangtuanya jika mereka memerintahkan sesuatu yang dilarang oleh Allah. Firman-Nya:
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا/ لقمان [٣١]: ١٥
Artinya: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik,” (Q.S. Luqman, 31: 15)
Jadi, tidak ada kewajiban untuk taat kepada orangtua dalam masalah ini bukan berarti seorang anak boleh menyakiti hati mereka dalam urusan dunia seperti mengeraskan suara, memaki, membiarkan kelaparan dan sebagainya. Dalam urusan dunia, seorang anak tetap wajib berbuat baik kepada kedua orang tua sekalipun mereka kafir (non muslim).
Adab terhadap Orang Tua
Berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, Sunnah dan riwayat salafush-shalih, Syekh Abdullah Naseh Ulwan memaparkan adab terhadap orangtua, antara lain:
- Berbicara kepada keduanya dengan lembut dan santun.
- Mencium tangan keduanya pada momen-momen tertentu.
- Memuliakan keduanya dan memberikan apa yang diminta.
- Berdiri menghormati keduanya saat keduanya menemui sang anak.
- Bermusyawarah dengan mereka dalam pekerjaan dan permasalahan penting.
- Melakukan hal-hal yang dapat membahagiakan mereka tanpa diperintah terlebih dahulu.
- Tidak mementingkan istri dan anak daripada keduanya.
- Tidak mencela keduanya ketika keduanya melakukan hal-hal yang menyenangkan.
- Tidak mendahului mereka makan makanan yang tersedia.
- Tidak mengganggu mereka jika mereka sedang tidur.
- Tidak menjulurkan kaki di hadapan mereka.
- Memenuhi panggilan mereka dengan segera.
- Menghormati teman-teman keduanya baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal dunia.
- Tidak merasa jemu dengan nasehat mereka.
- Tidak masuk suatu tempat mendahului mereka atau berjalan di depan keduanya.
Wallahu A’lam bis Shawwab. (T/why/R05/P4)
*Drs. K.H. Yakhsyallah Mansur,MA., Penulis adalah Imaam Jama’ah Muslimin (Hizbullah), Pembina Utama Sekolah Tinggi Shuffah Al-Quran Abdullah bin Mas’ud Online (SQABM), dan Pembina Utama Pondok Pesantren Al-Fatah se-Indonesia.
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)