Depok, MINA –Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto mengatakan, perubahan iklim dapat memicu peningkatan kejadian becana.
“Saat ini perubahan iklim yang terjadi di dunia secara nyata telah meningkatkan potensi kejadian bencana,” kata Suharyanto pada Rapat Koordinasi Nasional Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU), Depok, Jawa Barat, Sabtu (3/6).
Menurutnya, perubahan iklim terbukti meningkatkan frekuensi kejadian bencana dengan sangat drastis dan lebih ekstrim.
“Jika kita melihat data bencana terkait iklim dengan dampak signifikan, di tingkat global khususnya sejak tahun 1961, tren kenaikan anomali suhu rata-rata global berbanding lurus dengan peningkatan frekuensi kejadian bencana. Hal yang sama dengan data bencana di Indonesia, tren kenaikan jumlah kejadian bencana alam dalam mengalami kenaikan hingga 82% jika dilihat dari tahun 2010 hingga 2022. Sehingga, benar adanya bahwa peningkatan anomali suhu rata-rata baik di tingkat global maupun nasional menyebabkan meningkatnya frekuensi kejadian bencana, terutama bencana hidrometeorologi,” tambahnya.
Baca Juga: Dr. Nurokhim Ajak Pemuda Bangkit untuk Pembebasan Al-Aqsa Lewat Game Online
Suharyanto mengungkapkan, dari data yang dihimpun BNPB pada lima bulan di awal tahun 2023 ini, sudah terjadi 1.675 kejadian bencana.
“Berdasarkan data yang kami himpun dari 1 Januari hingga 31 Mei 2023 terdapat setidaknya 1.675 kejadian yang didominasi oleh bencana hidrometeorologi sebesar 99,1%, dengan rincian 92,5% adalah bencana hidrometeorologi basah dan 6,6% merupakan bencana hidrometeorologi kering, sisanya merupakan bencana geologi dan vulkanologi,” kata Suharyanto.
“Untuk bencana hidrometeorologi basah, akar permasalahan yang utama adalah urbanisasi yang memberikan tekanan pada lingkungan di hilir, dan alih fungsi lahan baik secara sistematis maupun ilegal, yang mengurangi kapasitas daya serap, baik karbon maupun air mulai dari hulu hingga hilir,” lanjutnya.
Adapun urbanisasi dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dalam bentuk pembuangan asap kendaraan, pabrik maupun lainnya, sehingga menjadikan kualitas udara tidak sehat. Sedangkan alih fungsi lahan biasanya menyebabkan pengurangan vegetasi yang menyebabkan berkurangannya kemampuan alam dalam menyerap karbon dan meningkatkan kerentanan banjir dan longsor karena air tidak terserap secara optimal.
Baca Juga: Cinta dan Perjuangan Pembebasan Masjid Al-Aqsa Harus Didasari Keilmuan
Dampak dari adanya perubahan iklim tidak hanya terjadi di hulu, peningkatan suhu global memicu tren kenaikan tinggi muka laut.
“Terjadi peningkatan frekuensi kejadian banjir dari laut (rob). Diperparah oleh kerusakan ekosistem pesisir, catatan BNPB dalam tiga tahun terakhir saja, jumlah kejadian bencana banjir rob meningkat 46% dari 35 kali kejadian di tahun 2020 menjadi 75 kejadian di 2022,” ucap Suharyanto.
Selain hidrometeorologi basah, bencana hidrometeorologi kering sudah mulai terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.
“Terjadi kenaikan frekuensi kejadian kebakaran hutan dari pekan ke pekan, sehingga beberapa daerah sudah menetapkan status siaga darurat. Data dari KLHK menunjukkan bahwa luas lahan terdampak karhutla khususnya lahan gambut berbanding lurus dengan emisi karbon yang dilepaskan. Pada tahun 2019 contohnya, dari 1.64 juta Ha lahan terbakar melepaskan 624 juta ton emisi karbon ke udara, ” ucap Suharyanto
Baca Juga: Lewat Wakaf & Zakat Run 2024, Masyarakat Diajak Berolahraga Sambil Beramal
“Ini semua menjadi menjadi tantangan kita bersama. Bagaimana fenomena global dan regional telah nyata berdampak pada peningkatan intensitas kejadian dan dampak bencana di tingkat lokal,” jelas Suharyanto.
Suharyanto mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk saling bahu membahu untuk mengurangi dampak perubahan iklim.
Hadir juga Plt. Sekretaris Utama BNPB, Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB, Kepala Biro Hukum Organisasi dan Kerjasama BNPB dan Plt. Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB. (R/R8/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Prof Abd Fattah: Pembebasan Al-Aqsa Perlu Langkah Jelas