Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Budaya Mudik dan Dampak Sosial Ekonomi Masyarakat Pedesaan

Widi Kusnadi - Ahad, 18 Juni 2017 - 17:16 WIB

Ahad, 18 Juni 2017 - 17:16 WIB

374 Views

mudik-300x198.png" alt="" width="300" height="198" />Sebagai seorang Muslim Melayu, kurang lengkap rasanya jika lebaran tidak mudik ke kampung halaman. Tradisi mudik ini memang telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat, khususnya Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Bagi yang masih memiliki orang tua di kampung, tentu mudik seolah menjadi hal yang “wajib” bagi mereka. Penulis sendiri yang masih ingat dengan nasehat Bapak dan Ibu di kampung, biarlah anak-anaknya merantau ke mana saja asalkan lebaran bisa pulang kampung untuk mengobati kerinduan mereka.

Meskipun mudik ini bukan merupakan syariat Islam karena memang tidak ditemukan dalil ayat Al Qur’an dan hadistnya, juga tidak ada dalam tradisi orang Arab, penulis meyakini budaya ini tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Apalagi jika kita pulang kampung dengan niat berbakti kepada kedua orang tua dan menjalin hubungan silaturahim seperti yang ada dalam firman Allah Swt QS. An-Nisa’: 36, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu persekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu Sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam

Sebelum membahas mudik dan dampak sosialnya, ada baiknya jika kita mengetahui asal muasal mudik itu sendiri.

Awal Mula Mudik

Dari penelusuran penulis, kata mudik berasal dari bahasa Jawa Ngoko, berarti Mulih dilik yang artinya “pulang sebentar saja”. Orang Jawa memang suka menyebut sesuatu dengan menyingkat dua atau lebih kata menjadi satu kata saja supaya lebih ringkas dan mudah diucapkan (contoh : Gethuk berasal dari kata digeget karo manthuk-manthuk = dikunyah sambil manggut-manggut. Contoh lain: Kuping (telinga) berasal dari kata kaku tur njepiping = kaku dan melebar).

Sejak zaman kerajaan Majapahit, orang Jawa memiliki kebiasaan mengunjungi dan membersihkan makam para leluhurnya sambil meminta keselamatan dan kelancaran rizki. Setelah datangnya Islam di tanah Jawa, budaya itu tidak dihilangkan, namun tetap dilanjutkan dengan mengganti doa-doanya menurut ajaran Islam. Memang Islam dapat diterima dan berkembang pesat di pulau Jawa melalui pendekatan budaya.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan

Nah, mudik saat lebaran mulai terjadi pada sekitar tahun 1970-an saat para pekerja di kota Jakarta yang hanya mendapatkan cuti libur saat lebaran menggunakan momen itu untuk pulang kampung (mudik).

Penulis masih ingat saat orang tua merantau ke Jakarta mengadu nasib (menjadi kuli bangunan) untuk mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak, sementara keluarga berada di kampung halaman. Mereka hanya bisa pulang menjelang Hari Raya Idul Fitri tiba karena peraturan dari perusahaan yang hanya memberi libur panjang (10 hari) saat lebaran. Saat itu, ibu kota Jakarta menjadi tujuan favorit bagi penduduk desa untuk mencari pekerjaan seiring dengan meningkatnya pembangunan infrastruktur.

Saat ini, tradisi mudik semakin menggema gaungnya setelah menjadi program liputan utama bagi media-media mainstream. Perusahaan dan instansi pemerintah juga tidak mau ketinggalan menggaungkan tradisi mudik ini dengan membuat program mudik gratis bagi para karyawannya. Kini, mudik menjadi media bagi umat Islam untuk bisa berkumpul bersama keluarga besar, kerabat dan tetangga kampung, sekaligus mengenalkan kepada anak cucu asal-usul orang tua dan nenek moyang.

Jangan Berlebihan

Baca Juga: Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina

Semangat silaturrahim yang menjadi dasar utama dalam acara mudik melahirkan kerinduan yang mendalam terhadap mereka yang tinggal di kampung halaman. Berkunjung dalam rangka menyambung kembali ikatan kekeluargaan menjadi prioritas utama sehingga mereka rela meninggalkan urusan pekerjaan sejenak demi hal di atas.

Namun, pada sebagian masyarakat, mudik seolah telah menjadi ukuran sukses-tidaknya seseorang di perantauan. Bahkan bagi yang merasa belum sukses, mereka memutuskan untuk menunda mudik karena merasa malu dengan saudara dan tetangga. Gaya hidup berlebihan saat mudik memang seharusnya tidak dilakukan oleh para pemudik, apalagi sampai berhutang demi memperoleh status “sukses” dan terlihat oleh kerabat dan tetangga kampung.

Menghidangkan makanan secara berlebihan demi menjaga gengsi untuk menyambut para tamu di hari fitri juga sebaiknya dihindari. Hal itu hanya akan menjadi beban di kemudian hari bagi mereka yang memang secara materi tidak memiliki. Sejatinya, yang utama ditampilkan saat mudik dan bertemu keluarga atau tetangga di kampung, adalah kehangatan dalam silaturahmi dan semangat saling memaafkan, tidak lebih.

Keselamatan dalam berkendara saat mudik juga harus menjadi perhatian utama. Jangan sampai kebahagiaan yang dicita-citakan berubah menjadi petaka berkepanjangan karena kurang hati-hati dalam berkendara. Persiapan matang sebelum keberangkatan harus diperhatikan agar semua berjalan lancar sesuai harapan.

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-1] Amalan Bergantung pada Niat

Hal lain yang tak kalah penting harus menjadi perhatian dan tidak boleh ditinggalkan saat mudik adalah birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua).  Perhatian seorang anak kepada orang tuanya dalam bentuk mengunjungi mereka saat lebaran merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi mereka. Jika orang tua kita sudah meninggal, kita bisa memanjatkan doa di setiap selesai shalat fardhu dan menjalin silaturahim dengan kerabat dan teman-temannya.

Menghidupkan Potensi Ekonomi Pedesaan

Sebuah penelitian yang dilakukan pada 2013 lalu, sekitar 52 persen pemudik menunaikan zakatnya di kampung halaman. Diperkirakan Rp 14,7 triliun zakat orang kota mengalir ke daerah. Meskipun biaya terbesar yang dikeluarkan pemudik untuk transportasi sebesar 22,7 persen diikuti alokasi biaya kedermawanan bagi sanak saudara sebesar 20,96 persen.

Sekretaris Lembaga Hikmah Muhammadiyah Kota Medan, Anang Anas Azhar mengatakan dalam sebuah tulisannya, momentum mudik ini selayaknya dapat dimanfaatkan pemerintah dan masyarakat desa untuk pengembangan potensi desanya. Momentum baik itu hendaknya bukan sekedar ritual budaya saja, tetapi juga dapat sebagai pemicu untuk menggairahkan ekonomi kerakyatan dengan mengembangkan potensi daerah.

Baca Juga: Enam Langkah Menjadi Pribadi yang Dirindukan

Salah satu dampak sosial yang dirasakan dari tradisi mudik adalah meningkatnya tingkat perputaran uang di pedesaan. Roda perekonomian masyarakat desa yang mendapat suplay keuangan dari para pemudik yang datang dari kota membuat desa-desa menjadi ramai dan semarak.

Ada sebuah slogan di Jawa Tengah yang digaungkan oleh salah seorang calon gubernur waktu itu “Bali Ndeso Mbangun Deso” (pulang ke desa dan membangun desa). Slogan ini rasanya relevan dengan semangat mudik setiap tahun untuk dijadikan ajang bagi para putra-putra daerah untuk menengok dan membangun potensi perekonomian desanya.

Saat mudik, putra-putra daerah yang sedang mendulang rizki di kota-kota besar mereka pulang dengan membawa hasil jerih payah selama di perantauan. Kedatangan mereka akan berpengaruh besar kepada peningkatan daya beli, dan pembangunan masyarakat desa yang diharapkan menjadi stimulus bagi kesejahteraan masyarakat desa.

Membangun hubungan sosial di kampung halaman biasanya lebih cepat karena kecenderungannya didasarkan ikatan emosional, moralitas dan kekerabatan. Dari segi sosiologis, kaum urban dapat berbagi pengalaman dengan para kerabat di kampung. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan, motivasi, dan kepercayaan diri kerabatnya di desa.

Baca Juga: BSP 2024, Solidaritas dan Penghormatan Bagi Pahlawan di Tengah Genosida

Interaksi dan sharing ilmu di antara sanak saudara dan tetanggga yang bertemu saat di kampung halaman menjadi sarana menggali peluang dan potensi untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, semoga mudik yang dilakukan akan banyak memberi manfaat dan keberkahan, bukan hanya bagi keluarga tapi juga untuk kemajuan desa.(P2/RS3)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

 

Baca Juga: Catatan 107 Tahun Balfour dan Setahun Perjuangan Thufanul Aqsa

 

 

Baca Juga: Memaknai Iqra

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Indonesia
Indonesia
Indonesia
Indonesia
Kolom