Cara Menemukan Aib Diri

Oleh , wartawan MINA

Sahabat, kebanyakan dari kita, lebih sering dan senang melihat yang ada pada orang lain. Namun, sedikit sekali dari kita yang bisa melihat aibnya . Tentu saja tidak bijak dan terlalu angkuh jika kita hanya bisa melihat aib orang lain meskipun kecil, tapi kita lupa melihat dan menilai keburukan sendiri.

Tak heran, ada istilah semut di seberang lautan saja, begitu jelas terlihat, tapi sayang gajah di pelupuk mata sama sekali tak terlihat.

Alangkah baiknya, jika sebelum menilai dan melihat aib orang lain, kita terlebih dahulu melihat dan mengenali aib sendiri. Sejatinya, orang yang dalam kesehariannya lebih fokus pada aibnya sendiri daripada orang lain, maka mereka inilah orang yang produktif mengisi hari-harinya untuk kebaikan, dan mempersiapkan bekal kembali kepada-Nya.

Bagi seorang muslim, penting melihat dan menilai aib diri ketimbang melihat dan menilai aib orang lain meskipun itu kecil. Menemukan aib sendiri jauh lebih mulia daripada mengumbar aib orang lain. Melihat aib sendiri, jauh lebih baik daripada melihat aib orang lain.

Dalam kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin, karya Ibnu Qudamah Almaqdisi disebutkan setidaknya ada empat (4) langkah untuk menemukan aib sendiri antara lain sebagai berikut :

Pertama, duduklah dihadapan seorang syaikh atau ulama yang tajam mata batinnya dalam melihat aib jiwa dan bisa melihat cela yang tidak terlihat, lalu syaikh tersebut memberitahukan aibnya dan cara menyembuhkannya. Syaikh seperti ini jarang ditemukan di jaman sekarang. Orang yang menemukan syaikh atau ulama seperti tipe di atas, maka dia sejatinya telah menemukan seorang dokter yang handal sehingga ia tidak meninggalkan syaikh tersebut.

Kedua, mencari teman yang jujur, peka mata batinnya dan tentu saja taat menjalankan syariat-syariat-Nya. Dia bisa menjadikan temannya itu sebagai pengawas atas dirinya untuk mengamati berbagai keadaan dan perbuatannya. Mengingatkannya terhadap akhlak dan perbuatan yang tidak disenangi.

Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra pernah berkata, “Semoga Allah merahmati orang-orang yang menunjukkan kepada kami aib-aib kami.”

Ketika Salman ra datang, Umar bertanya kepadanya mengenai aib-aibnya. Lalu Salman berkata, “Aku mendengar bahwa engkau memakan dua lauk sekaligus, dan bahwa engkau memiliki dua pakaian indah, yaitu satu pakaian indah untuk siang hari dan satu pakaian indah untuk malam hari.”

Umar bertanya, “Apakah ada berita lain yang tidak kau dengar? Iya menjawab tidak. Lalu Umar bertanya lagi, “Kalau yang ini sudah diwakili oleh orang lain.”

Umar ra. juga bertanya kepada Hudzaifah ra., “Apakah aku termasuk orang-orang munafik?” Umar ra bertanya demikian karena barangsiapa yang tingkat kesadarannya telah tinggi, maka ia semakin curiga terhadap diri sendiri.

Hanya saja, teman seperti ini sulit ditemukan karena sedikit sekali teman yang tidak menjilat sehingga ia mau memberitahukan aib, atau yang tidak dengki, sehingga ia tidak memberitahukan melebihi yang wajib. Dahulu, generasi salaf sangat senang terhadap orang yang mengingatkan aib mereka. Namun sekarang, orang yang paling sering dibenci adalah orang yang memberitahukan aib kita.

Hal di atas (benci kepada orang yang mengingatkan aib kita), merupakan bukti lemahnya iman kita, karena akhlak yang buruk itu seperti kalajengking. Seandainya ada orang yang mengingatkan kita akan adanya kalajengking di balik pakaian salah seorang di antara kita, maka kita akan memberinya penghargaan dan sibuk membunuh kalajengking itu. Padahal akhlak yang buruk itu lebih besar bahasanya daripada kalajengking.

Ketiga, mencari informasi tentang aib diri sendiri dari ucapan musuh. Karena pandangan kebencian itu akan mengungkapkan berbagai keburukan. Manfaat yang dipetik seseorang dari musuh sengit yang menyebutkan aib-aibnya itu lebih besar daripada manfaat yang dipetik dari seorang teman penjilat yang menutupi aib-aibnya.

Keempat, bergaul dengan banyak orang. Setiap hal yang ia lihat tercela di antara manusia itu ia hendaknya menjauhi.

Bersyukurlah…

Senang dan berterima kasih karena orang lain sudah menyebutkan aib kita adalah sifat mulia yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang beriman. Bukankah ketika kita mengetahui aib sendiri kita akan berusaha untuk memperbaikinya? Namun, yang jadi masalah adalah apakah kita siap jika ada teman akrab yang menunjukkan aib kita?

Cara terbaik untuk menjadi ikhlas ketika ada orang lain yang menunjukkan aib kita adalah dengan bersyukur. Bersyukur kepada Allah Ta’ala karena Dia telah mengirimkan orang lain untuk menunjukkan aib kita. Jika kita sabar dan sadar bahwa aib kita memang harus dibuang dan segera memperbaiki diri, insya Allah kita akan merasa senang jika ada yang menunjukkan aib diri kita.

Bersegeralah mengucapkan terima kasih kepada orang yang menunjukkan aib kita. Karena seandainya dia tidak menunjukkan aib kita, bisa jadi aib itu akan membuat kita semakin terhina di hadapan manusia. Jadi, mari lihatlah aib sendiri sebelum kita melihat aib orang lain, wallahua’lam.(A/RS3/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.