Oleh : Ali Farkhan Tsani, Duta Al-Quds, Redaktur Senior Kantor Berita MINA
Penjabat Ketua Dewan Legislatif Palestina Dr. Ahmed Bahr mengatakan, Deklarasi Balfour yang merupakan kejahatan terbesar abad kedua puluh, merupakan dosa politik, hukum dan moral yang efeknya masih berlanjut.
Bahr mengatakan dalam sesi di Dewan membahas laporan Komite Politik pada peringatan 105 tahun Deklarasi Balfour. Al Resalah melaporkan, Selasa (1/11/2022).
“Dengan Deklarasi Balfour itulah kemudian memunculkan kejahatan pendudukan terhadap rakyat Palestina, termasuk pembunuhan, pengusiran, pembangunan pemukiman illegal, pembongkaran rumah, pelecehan tahanan, blokade hingga serangan para pemukim,” ujarnya.
Baca Juga: Abu Ubaidah Serukan Perlawanan Lebih Intensif di Tepi Barat
Termasuk yahudisasi terhadap Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa yang diberkati, lanjutnya.
Dia menganggap Inggris bertanggung jawab penuh atas bencana, malapetaka dan kesengsaraan yang menimpa rakyat Palestina sejak keluarnya Deklarasi Balfour hingga hari ini.
Sejarah Deklarasi Balfour
Deklarasi Balfour adalah secarik kertas surat yang dibuat oleh Menteri Luar Negeri Britaa Raya (Inggris) waktu itu, Arthur James Balfour, tanggal 2 November 1917 yang berisi dukungan pendirian rumah nasional bagi orang-orang Yahudi.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Surat kontroversial itul dijadikan dalih bagi orang-orang Yahudi mancanegara untuk berbondong-bondong menyerbu, menjajah, menduduki dan mengusir rakyat Palestina dari tanah airnya sendiri.
Surat itu memang sudah diatur sebelumnya oleh Chaim Azriel Weizmann, presiden pertama Organisasi Zionis Dunia (The World Zionist Organization). Agar surat itu ditujukan kepada Lord Rothschild (Walter Rothschild dan Baron Rothschild) pemimpin komunitas Yahudi-Inggris, untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis Internasional.
Surat itu menyatakan dukungan rapat Kabinet Inggris pada 31 Oktober 1917, bahwa pemerintah Inggris mendukung rencana Zionis untuk membuat ‘tanah air’ bagi Yahudi di Palestina, dengan syarat tak ada hal-hal yang boleh dilakukan yang mungkin merugikan hak-hak dari komunitas yang ada di sana.
Isi surat yang berupa surat ketikan yang ditandatangani dengan tinta oleh Balfour, sebagai berikut dari sumber Wikipedia.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
Departemen Luar Negeri 2 November 1917
Lord Rothschild yang terhormat,
Saya sangat senang dalam menyampaikan kepada Anda, atas nama Pemerintahan Sri Baginda, pernyataan simpati terhadap aspirasi Zionis Yahudi yang telah diajukan kepada dan disetujui oleh Kabinet.
Pemerintahan Sri Baginda memandang positif pendirian di Palestina, tanah air untuk orang Yahudi, dan akan menggunakan usaha keras terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini, karena jelas dipahami bahwa tidak ada suatupun yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak penduduk dan keagamaan dari komunitas-komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, ataupun hak-hak dan status politis yang dimiliki orang Yahudi di negara-negara lainnya.”
Saya sangat berterima kasih jika Anda dapat menyampaikan deklarasi ini untuk diketahui oleh Federasi Zionis.Salam,
Baca Juga: Tentara Israel Mundur dari Kota Lebanon Selatan
Arthur James Balfour.
Pendudukan Palestina
Britana Raya (Inggris) di bawah pimpinan Jenderal Allenby kemudian masuk ke tanah Palestina, setelah memulai serangkaian serangan. Ribuan sukarelawan Yahudi bergabung dalam pasukan Allenby itu. Pasukan Allenby pun kemudian berhasil menduduki Palestina pada Desember 1917.
Dua tahun kemudian, pada tahun 1919, Kota Al-Quds (Yerusalem) yang di dalamnya terdapat Masjid Al-Aqsa dan seluruh wilayah Palestina diduduki Inggris.
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Setelah Deklarasi Balfour dan masuknya pasukan Allenby bersama sukarelawan Yahudi ke Al-Quds, gerakan Zionisme mulai mendorong migrasi kaum Yahudi dari berbagai negara untuk pindah ke Palestina. Maka, dimulailah perpindahan secara besar-besaran bangsa Yahudi ke Palestina di bawah naungan Inggris dari tahun 1918-1947.
Ironisnya, Liga Bangsa-Bangsa (selanjutnya PBB), justru ikut menyetujui Mandat Britania Raya atas Palestina itu sebagai “negara orang Yahudi”.
Hal ini ditandai dengan adanya Resolusi PBB Nomor 182 tanggal 29 November 1947, yang menyetujui berakhirnya Mandat Britania untuk wilayah Palestina dengan memecah wilayah tersebut. Sejumlah 33 negara anggota PBB setuju, 13 menolak dan 10 abstain, pihak Yahudi mendapatkan wilayah sekkitar 55%, sementara pihak Arab (Palestina) hanya mendapatkan 45%.
Merasa mendapatkan angin seperti itu, Zionis Yahudi memproklamasikan kemerdekaan ‘Negara Israel’ secara sepihak pada tanggal 14 Mei 1948.
Baca Juga: PBB Adopsi Resolusi Dukung UNRWA dan Gencatan Senjata di Gaza
Langkah ini diikuti oleh peperangan dengan negara-negara Arab di sekitarnya yang menolak rencana pembagian tersebut. Israel sudah mempersiapkan segala sesuatunya dibantu Barat, yang kemudian memenangkan perang dan mengukuhkan ‘kemerdekaannya’.
Perampasan Tanah
Sekarang, 2 November 2022, tepat 105 tahun, penindasan penjajahan itu masih saja berlangsung, dipertontonkan di hadapan Inggris, AS, Prancis dan PBB, juga lembaga-lembaga Hak Asasi Manusia dunia.
Deklarasi Balfour telah memberi dampak dan terus-menerus dari sebuah kolonialisme abad modern. Inilah penipuan politik terbesar di dunia, di mana mereka yang tidak memiliki hak yang layak, merampas dari pemilik sah sebenarnya, di hadapan mata dunia.
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Menurut Robert Fisk, penulis asal Inggris yang dikenal atas dukungannya pada perjuangan Palestina, mengulas tentang Deklarasi Balfour Inggris yang menyebabkan perampasan tanah Palestina.
Fisk menulis, bahwa apa yang telah dilakukan otoritas Inggris terhadap Palestina adalah “memalukan dan berbahaya”.
Fisk memusatkan perhatian pada penderitaan rakyat Palestina sebagai akibat dari Deklarasi Balfour, dan ia pun menolak perayaan Inggris pada hari jadi ini, yang jatuh pada tanggal 2 November setiap tahun.
Penolakan Deklarasi Balfour sebenarnya telah digulirkan oleh warga Palestina dengan menggunakan pengadilan mereka. Seperti diumumkan Pengadilan Tingkat Pertama Nablus, di Tepi Barat utara, Februari 2021, yang memutuskan pembatalan “Deklarasi Balfour.” Putusan menegaskan bahwa itu melanggar aturan-aturan hukum internasional.
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Keputusan itu dikeluarkan dalam sidang hukuman, dalam kasus yang diajukan oleh beberapa pihak terhadap Inggris, mengenai dampak dari Deklarasi Balfour dan pelanggaran yang dilakukan oleh Inggris selama pendudukan dan mandat Palestina.
Pengacara Palestina mengajukan gugatan di Pengadilan Tingkat Pertama di Nablus, atas nama Majelis Nasional Independen, Yayasan Internasional untuk Tindak Lanjut Hak-Hak Rakyat Palestina, dan Sindikat Jurnalis Palestina, terhadap pemerintah Inggris, yang mereka anggap bertanggung jawab atas Deklarasi Balfour.
Normalisasi Memalukan
Dampak Balfour pun berlanjut, orang-orang Palestina kini sedang menghadapi tekanan politik yang besar, yang diwakili oleh rezim-rezim Arab yang menormalisasi hubungan mereka dengan Israel, mengklaim untuk melayani perjuangan Palestina.
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Deklarasi Balfour sebagai kolonialisme modern pun dihadirkan oleh pemerintah AS melalui rencana politiknya yang dikenal sebagai Kesepakatan Abad Ini.
Para pejuang Palestina menggambarkannya sebagai mewakili “Deklarasi Balfour Jilid 2”, karena memungkinkan pendudukan untuk mengontrol wilayah yang luas dari tanah negara Palestina yang diinginkan.
Untuk memperkuat itu, sebagai kelanjutannya, AS menekan negara-negara Arab untuk menjalin normalisasi diplomatik dengan Israel.
Sebuah langkah yang disepakati oleh negara-negara seperti Uni Emirat Arab (UEA) Bahrain, Sudan dan Maroko, yang menjalin hubungan diplomatik, normalisasi dengan Israel.
Baca Juga: Menhan Israel: Ada Peluang Kesepakatan Baru Tahanan Israel
Menurut para pimpinan Palestina dan faksi-faksi perjuangan, disebut sebagai tikaman dari belakang dan bentuk pengkhianatan Arab.
Perjuangan Terus Berlanjut
Namun yang jelas, justru itu semua menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan Palestina akan sangat tegantung pada rekonsiliasi, kesatuan dan persatuan bangsa Palestina itu sendiri. Dan Palestina tidak usah kecewa dan putus asa atas langkah tetangga-tetangga super kayanya itu. Sebab, masih ada umat Islam di seluruh dunia yang berdiri mendukung dan membela kalian. Wabil khusus tentu dukungan kuat dan terus-menerus dari Indonesia, pemerintah dan rakyatnya.
Bertepatan dengan bulan November tahun ini, maka tepat sekali jika lembaga kemanusiaan Aqsa Working Group (AWG) menggelar agenda publik Bulan Solidaritas Palestina (BSP). Ini merupakan kelanjutan dari Pekan Solidaritas Palestina (PSP) yang digelar tahun 2021 lalu.
Harapannya, aksi-aksi dukungan pembelaan terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina dan pembebasan Al-Aqsa akan terus bergerak, meluas dan terus-menerus. Ya, bergerak berjamaah bebaskan Al-Aqsha dan kemerdekaan Palestina. Allahu Albar ! Al-Aqsa Haqquna !!
Insya-Allah. “Al-Aqsha haqquna!!!”. (A/RS2/ )
Mi’raj News Agency (MNA)