Oleh: Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI/Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Universitas Terbuka
PERKEMBANGAN kebutuhan dan permintaan pasar dunia akan nikel serta bauksit otomatis menguatkan posisi tawar Indonesia. Menjadi sangat ideal jika nilai tambah nikel dan bauksit diproses di dalam negeri demi kesejahteraan seluruh rakyat. Dengan keberanian dan konsistensi mengolah sumber daya alam (SDA) menjadi produk bernilai tambah, kesalahan mengelola SDA sebagaimana terjadi di masa lalu tak lagi berulang di era sekarang.
Roda Perubahan zaman yang berputar begitu cepat menghadirkan keberuntungan bagi Indonesia. Layak untuk mengatakan demikian karena nikel dan bauksit mendadak jadi komoditas mineral yang sangat strategis dan sangat dibutuhkan bagi dunia yang terus berubah. Seperti diketahui, komunitas global terus berupaya membangun kesepakatan menghentikan pemanfaatan energi fosil.
Dan, sebagai bagian dari upaya memulihkan keseimbangan alam semesta, telah muncul keinginan kuat untuk beralih menggunakan energi bersih, dalam arti energi yang ekses atau dampak buruknya relatif minim terhadap aspek kesehatan dan lingkungan hidup, serta aspek sosial dan kultural. Untuk tujuan itulah dunia sekarang sedang bersiap menjalani proses transisi dari penggunaan energi fosil ke energi terbarukan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta
Untuk membuktikan bahwa persiapan proses transisi itu bukan sekadar omongan atau jargon, layak untuk melihat inisiatif atau rencana aksi yang sudah dimulai oleh beberapa negara. Sebutlah Amerika Serikat (AS) yang telah kembali pada perjanjian iklim PBB di Paris. Presiden AS Joe Biden sudah menyiapkan proposal atau rencana belanja sampai dua triliun dolar AS untuk memodernisasi semua jaringan infrastruktur di negeri itu.
Proposal itu memuat rencana membangun ketersediaan jaringan internet yang lebih luas, teknologi untuk mitigasi perubahan iklim, menyiapkan tenaga kerja untuk energi bersih, serta rencana membangun jaringan 500.000 stasiun pengisian mobil listrik paling lambat pada tahun 2030. AS berambisi mewujudkan listrik bersih, pembangkit energi bersih seperti tenaga angin dan surya, hingga penyimpanan energi dengan baterai canggih.
Komitmen komunitas global menghadirkan energi bersih itulah yang membuat komoditas seperti nikel dan bauksit menjadi sangat strategis. Di perut bumi Indonesia, dua komoditas strategis ini tersedia dalam jumlah memadai sehingga membuat posisi tawar Indonesia menguat. Setelah diolah, bijih nikel bisa menghadirkan sejumlah produk turunan yang nilai tambahnya berkali-kali lipat. Bijih nikel kadar rendah dimanfaatkan untuk membuat baterai penggerak kendaraan listrik.
Cadangan nikel di perut bumi Indonesia mencapai 72 juta ton Ni (nikel). Jumlah ini mencakup 52 persen dari total cadangan nikel dunia yang volumenya mencapai 139,42 juta ton Ni. Sudah muncul perkiraan bahwa kebutuhan nikel untuk baterai kendaraan listrik dan power bank skala besar atau Energy Storage System (ESS) pada 2025 mencapai 372 ribu ton, dan naik lagi menjadi 795 ribu ton pada 2030.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
Sedangkan bijih bauksit bisa diolah menjadi alumina untuk membuat logam aluminium yang pemanfaatannya sangat beragam, seperti komponen atau bahan baku bangunan dan konstruksi, ragam komponen mesin, transportasi, kelistrikan, kemasan dan barang tahan lama lainnya. Kementerian ESDM mencatat, jumlah sumber daya bijih terukur bauksit di Indonesia mencapai 1,7 miliar ton, dan logam bauksit 640 juta ton. Cadangan terbukti untuk bijih bauksit 821 juta ton, dan logam bauksit 299 juta ton.
Masuk akal jika Indonesia terdorong memiliki strategi dan pembaruan kebijakan untuk merespons kebutuhan dan besarnya permintaan pasar itu. Pembaruan strategi dan rumusan kebijakan itu harus berorientasi pada pemanfaatan SDA untuk kesejahteraan rakyat, dan menghadirkan nilai tambah yang prosesnya dilaksanakan di dalam negeri sendiri, bukan di negeri orang lain.
Jika ragam produk turunan dari nikel dan bauksit diproses di dalam negeri, multiplier effect atau dampak positifnya akan berlipat-lipat. Utamanya, akan terwujud pendalaman struktur industri di dalam negeri dengan menerapkan strategi hilirisasi; dari yang sebelumnya hanya menghasilkan bahan baku (industri hulu), naik kelas menjadi produsen pembuat barang jadi (industri hilir). Dampak lanjutannya, akan tercipta jutaan lapangan kerja baru. Pendapatan negara dan daerah akan meningkat signifikan dari ekspor produk turunan nikel dan bauksit itu.
Presiden Joko Widodo telah memutuskan penghentian ekspor bahan mentah untuk nikel sejak 1 Januari 2020. Kebijakan ini mendorong Uni Eropa (UE) mengajukan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pada 22 Februari 2021, untuk kedua kalinya UE meminta pembentukan panel sengketa pada pertemuan reguler Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body-WTO). Alih-alih mundur, Presiden justru menegaskan bahwa kebijakan serupa juga akan diterapkan pada komoditas lainnya seperti bauksit hingga kelapa sawit.
Baca Juga: Sejarah Al-Aqsa, Pusat Perjuangan dari Zaman ke Zaman
Bisa dipahami jika banyak negara konsumen bahan mentah nikel dan bauksit marah karena pembaruan strategi dan kebijakan Indonesia pada dua komoditas dimaksud. Namun, demi kepentingan nasional dan masa depan bangsa, harus dimunculkan keberanian menunjukan keteguhan sikap dan pendirian Indonesia untuk memulai hilirisasi industri mengolah komoditas SDA. Tak hanya keberanian, tetapi juga menjaga konsistensi. Artinya, begitu hilirisasi industri untuk mengolah SDA sudah dimulai, strategi ini tak boleh lagi berubah atau dihentikan.
Di masa lalu, Indonesia pernah keliru atau melakukan kesalahan dalam mengolah komoditas SDA, khususnya minyak mentah. Catatan ini penting untuk dipahami generasi terkini. Sejak dasawarsa 70-an, Indonesia menjadi anggota OPEC (Organization Petroleum Exporting Countries) karena berstatus sebagai negara penghasil minyak. Namun, Indonesia hanya menghasilkan dan ekspor minyak mentah.
Dalam rentang waktu puluhan tahun, Indonesia yang berstatus ekportir minyak itu justru memiliki ketergantungan sangat tinggi pada bahan bakar minyak (BBM) yang harus diimpor. Jadi, minyak mentah asal Indonesia diolah di negara lain, lalu diimpor lagi oleh Indonesia setelah menjadi BBM untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Kekeliruan atau kesalahan historis seperti ini tak boleh berulang. Maka, kebijakan mengolah dan menghasilkan ragam produk turunan nikel di dalam negeri sendiri harus direalisasikan dengan berani dan konsisten demi kesejahteraan rakyat.(AK/R1)
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia