Dengki Berujung Maut

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian saling hasad (), janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling membelakangi (saling mendiamkan/menghajr). Jadilah kalian bersaudara, wahai hamba Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

adalah penyakit hati di antara sekian banyak penyakit hati. Begitu juga dendam, merupakan penyakit hati dan tidak pernah merasa senang sebelum bisa merusak orang lain demi mengikuti nafsunya.

Tidaklah akan diliputi dengan rasa saling mencintai suatu kaum yang berkumpul di atas kedengkian. Siapa yang memendam permusuhan dan menanti-nanti waktu untuk membalas dendam maka ia akan hidup dengan tersiksa dan menderita.

Ada sebuah kisah menarik terkait dengki ini. Seorang Arab menemui Al-Mu’tashim, lalu ia diangkat menjadi orang dekat dan orang kepercayaannya. Ia kemudian dengan leluasa dapat menemui istrinya tanpa perlu minta izin dulu.

Sang khalifah memiliki seorang menteri yang memiliki sifat dengki. Melihat kepercayaan yang sedemikian besar diberikan sang khalifah kepada orang Arab Badui itu, ia cemburu dan dengki terhadapnya. Di dalam hatinya ia berkata, “Kalau aku tidak membunuh si Badui ini, kelak ia bisa mengambil hati sang Amirul Mukminin dan menyingkirkanku.”

Kemudian ia merancang sebuah tipu muslihat dengan cara bermanis-manis terlebih dahulu terhadap orang Badui tadi. Ia berhasil membujuk orang Badui itu dan mengajaknya mampir ke rumahnya. Di sana, ia memasakkan makanan untuknya dengan memasukkan bawang merah sebanyak-banyaknya. Ketika orang Badui selesai makan, ia berkata, “Hati-hati, jangan mendekat ke Amirul Mukminin sebab bila mencium bau bawang merah itu darimu, pasti ia sangat terusik. Amirul Mukminin sangat pasti membenci aromanya.”

Tak berapa lama, si pendengki ini menghadap Amirul Mukminin lalu. Ia berkata kepada Amirul Mukminin, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya orang Badui itu memperbincangkanmu kepada orang-orang bahwa tuan berbau mulut dan ia merasa hampir mati karena aroma mulut tuan.”

Tatkala si orang Badui menemui Amirul Mukminin pada suatu hari, ia menutupi mulutnya dengan lengan bajunya karena khawatir aroma bawang merah yang ia makan tercium oleh beliau. Namun, ketika Amirul Mukminin melihatnya menutupi mulutnya dengan lengan bajunya, berkatalah ia di dalam hati, “Sungguh, apa yang dikatakan sang menteri mengenai si orang Badui ini memang benar.”

Lalu Amirul Mukminin menulis sebuah surat berisi pesan kepada salah seorang pegawainya, bunyinya, “Bila pesan ini sampai kepadamu, maka penggallah leher si pembawanya!” 

Lalu, Amirul Mukminin memanggil orang Badui untuk menghadap dan menyerahkan kepadanya sebuah surat seraya berkata, “Bawalah surat ini kepada si fulan, setelah itu berikan aku jawabannya.”

Si orang Badui yang begitu lugu dan polos menyanggupi apa yang dipesankan Amirul Mukminin. Ia mengambil surat itu  lalu pergi. Ketika berada di pintu gerbang, sang menteri pendengki itu menemuinya seraya berkata, “Hendak ke mana engkau?”

“Aku akan membawa pesan Amirul Mukminin ini kepada pegawainya, si fulan,” jawab si orang Badui.

Di dalam hati, si menteri ini berkata, “Pasti dari tugas yang diemban si orang Badui ini, ia akan memperoleh harta yang banyak.” Maka, berkatalah ia kepadanya, “Wahai Badui, bagaimana pendapatmu bila ada orang yang mau meringankanmu dari tugas yang tentu akan melelahkanmu sepanjang perjalanan nanti bahkan ia malah memberimu upah 2.000 dinar?”

“Kamu seorang pembesar dan juga sang pemutus perkara. Apa pun pendapatmu, lakukanlah!” kata si orang Badui

“Berikan surat itu kepadaku!” kata sang menteri .

Badui itu pun menyerahkannya kepadanya, lalu sang menteri memberinya upah sebesar 2000 dinar. Surat itu ia bawa ke tempat yang dituju.

Sesampainya di sana, pegawai yang ditunjuk Amirul Mukminin pun membacanya, lalu setelah memahami isinya, ia memerintahkan agar memenggal leher sang menteri.

Selang beberapa hari, khalifah baru teringat masalah orang Badui tadi. Karena itu, ia bertanya tentang keberadaan sang menteri. Lalu ada yang memberitahukan kepadanya bahwa sudah beberapa hari ini ia tidak muncul, tapi orang Badui masih ada di kota.

Mendengar informasi itu, khalifah lalu memerintahkan agar orang Badui itu dibawa menghadap. Ketika menghadap, ia menanyakan perihal  kondisinya. Badui itu menceritakan kisahnya dengan sang menteri dan kesepakatan yang dibuat bersamanya sekali pun ia tidak tahu menahu apa urusannya. Ternyata apa yang dilakukannya terhadap dirinya itu, tidak lain hanyalah siasat licik sang menteri dan kedengkiannya terhadapnya.

Singkat cerita, orang Badui ini memberitahukan kepada khalifah perihal undangan sang menteri kepadanya untuk makan-makan di rumahnya, termasuk menyantap banyak bawang merah dan apa saja yang terjadi di sana. Ia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, Allah telah membunuh pendengki, alangkah adilnya Dia! Ia (dengki) memulainya dengan si pemilik (tuan)-nya lalu membunuhnya.”

Setelah peristiwa itu, orang Badui itu dibebastugaskan dari tugas terdahulu dan diangkat menjadi menteri. (Nihaayah azhZhaalimii, karya Ibrahim bin ‘Abdullah al-Hazimy, Juz 2, hal.89-92).

Begitulah pendengki. Deritanya tiada akhir hingga menjemputnya dalam kedengkian. Tidak akan beruntung orang yang memendam rasa dengki kepada saudaranya kecuali dengki-dengki yang diperbolehkan dalam Islam. Seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. HR. Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816).

Dengki itu membuat gundah pelakunya. Ia senang melihat orang susah dan merasa susah melihat orang senang. Umar bin Khaththab ra berkata, “Cukup sebagai bukti si pendengki terhadapmu manakala ia merasa gundah di saat kamu bahagia.” Wallhau’alam. (A/RS3/RI-1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.