Gaza, MINA — Di bawah bayang-bayang pemboman dan penghancuran penjajah Zionis Israel yang tiada henti, wanita/ibu hamil di Gaza Utara menghadapi krisis kesehatan dan kelangsungan hidup. Akibat pasukan penjajah Zionis Israel telah melumpuhkan sistem perawatan kesehatan selama sebulan terakhir, ketakutan terhadap anak-anak mereka yang belum lahir tampak besar.
Sebagaimana dilaporkan Kantor Berita Wafa, Sabtu (2/11), penderitaan Yasmin Al-Masri, seorang ibu muda yang sedang hamil dan terpaksa mengungsi di area proyek Beit Lahiya, merangkum penderitaan yang dirasakan oleh banyak orang di sana.
Dengan lebih dari sebulan agresi militer berskala luas dan ancaman kelaparan dan dehidrasi yang terus-menerus akibta blokade Israel yang sedang berlangsung, ia berjuang dengan ketidakpastian kesehatannya dan janinnya yang berusia enam bulan.
“Sejak awal penyerangan, saya terus-menerus merasakan sakit dan kecemasan, merasakan bahaya nyata bagi hidup saya dan bayi saya,” ungkapnya dengan penuh kesedihan dalam sebuah wawancara dengan Anadolu Agency.
Baca Juga: Muslimah: Kekuatan Lembut Penggerak Perubahan
Sebelum pecahnya invasi besar-besaran Israel di wilayah tersebut pada 5 Oktober, Yasmin menjalani pemeriksaan rutin di Rumah Sakit Al-Awda dan pusat kesehatan setempat, di mana dokter menekankan pentingnya memantau kehamilannya.
Sekarang, dia tidak memiliki panduan medis apa pun, karena bahaya berpindah-pindah di wilayahnya membuat mencari pertolongan hampir mustahil.
“Pindah-pindah di wilayah ini sangat berisiko. Pesawat nirawak (drone) Israel menargetkan apa pun yang bergerak di jalan,” jelasnya, menyoroti keadaan mengerikan yang dihadapi oleh banyak ibu hamil lainnya di wilayah utara.
Ketika militer Israel melancarkan serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya di kamp pengungsi Jabalia dan wilayah sekitarnya, wilayah tersebut telah jatuh ke dalam kekacauan, dengan laporan lebih dari 1.500 warga sipil tak berdosa tewas dan kerusakan meluas.
Baca Juga: Di Balik Hijab, Ada Cinta
Bagi ibu hamil seperti Yasmin, tidak adanya akses ke layanan kesehatan bukan hanya masalah ketidaknyamanan, tetapi juga situasi yang mengancam jiwa.
Amani Fad’ous, juga dari Beit Lahiya, menyuarakan ketakutan Yasmin. Karena putus asa ingin lolos dari genosida Israel, ia dan keluarganya berusaha melarikan diri ke Kota Gaza demi keselamatan. “Namun, jalan-jalan ditutup, dan suami saya menolak membiarkan saya melewati pos pemeriksaan Israel karena takut akan keselamatan dan kehamilan saya,” kenangnya.
Dengan tanggal persalinannya yang semakin dekat pada akhir November, Amani khawatir tentang kemungkinan melahirkan dalam kondisi yang mengerikan tanpa fasilitas medis yang memadai.
“Bayi saya istimewa bagi kami, lahir setelah sepuluh tahun penantian yang panjang,” katanya, suaranya diwarnai harapan sekaligus ketakutan.
Baca Juga: Menjadi Pemuda yang Terus Bertumbuh untuk Membebaskan Al-Aqsa
Situasinya memburuk karena efek gabungan dari rasa lapar dan haus yang diperparah oleh blokade secara total. “Sejak blokade dimulai, saya tidak mendapatkan makanan atau air yang layak. Hampir setiap hari, saya hanya makan roti, dan terkadang saya merasa hampir pingsan,” ungkap Yasmin.
Amani berbagi cerita serupa, dengan menyatakan, “Saya dulu makan sayur segar, buah, dan protein, tetapi sekarang saya bergantung pada makanan kaleng dan kacang-kacangan, yang jauh dari bergizi.”
4.000 Wanita Hamil
Menurut Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA), krisis kesehatan reproduksi meningkat secara mengkhawatirkan, dengan laporan yang menunjukkan bahwa sekitar 4.000 wanita hamil terjebak di Gaza Utara.
Baca Juga: Muslimat Pilar Perubahan Sosial di Era Kini
Rumah sakit yang pernah menyediakan layanan bersalin penting, seperti rumah sakit Al-Awda dan Kamal Adwan, menjadi tidak efektif karena pemboman dan blokade yang terus-menerus.
UNFPA memperingatkan tentang meningkatnya angka kematian ibu dan kasus wanita yang melahirkan sendirian tanpa bantuan medis.
Karena fasilitas kesehatan dibom dan ambulans terhalang untuk menjangkau mereka yang membutuhkan, situasi bagi wanita hamil di Gaza Utara menjadi semakin menyedihkan.
Setiap harinya, muncul kekhawatiran bahwa banyak orang mungkin tidak akan bertahan hidup dan melihat anak-anak mereka lahir, menggemakan seruan mendesak untuk perhatian dan bantuan internasional di tengah krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung.
Baca Juga: Tujuh Peran Muslimah dalam Membela Palestina
Wilayah utara Jalur Gaza telah mengalami kampanye pembersihan etnis Israel berskala luas selama 29 hari terakhir, yang mempersulit upaya kesehatan masyarakat di wilayah tersebut.
Pasukan penjajah Zionis Israel melakukan tiga pembantaian terhadap keluarga-keluarga di Jalur Gaza selama 24 jam terakhir, yang mengakibatkan tewasnya sedikitnya 55 warga Palestina dan melukai 186 lainnya, menurut laporan medis.
Agresi Israel yang sedang berlangsung di Gaza sejak Oktober 2023 sejauh ini telah mengakibatkan setidaknya 43.314 kematian warga Palestina yang terdokumentasi, dengan lebih dari 102.019 lainnya terluka. Mayoritas korban adalah wanita dan anak-anak.
Ribuan korban dikhawatirkan terjebak di bawah reruntuhan, tidak dapat diakses oleh tim darurat dan pertahanan sipil karena serangan Israel.
Baca Juga: Muslimah dan Masjidil Aqsa, Sebuah Panggilan untuk Solidaritas
Serangan genosida Israel terus berlanjut meskipun ada seruan dari Dewan Keamanan PBB untuk gencatan senjata segera dan arahan dari Mahkamah Internasional yang mendesak tindakan untuk mencegah genosida dan meringankan situasi kemanusiaan yang mengerikan di Gaza.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Penting untuk Muslimah, Hindari Tasyabbuh