Dinamika Hidup Berjama’ah di Akhir Zaman (Bagian 2) Oleh: Uray Helwan

Oleh : , Katib Jamaah Muslimin (Hizbullah) wilayah Kalbar

4. Khoir Wa Fiihi Dakhon

Selanjutnya rentang masa yang terjadi setelah syarr adalah khoir wa fiihi dakhon (kebaikan, namun di dalamnya ada kekeruhan).

“(Hudzaifah rodhiyallahu a’nhu berkata) Aku bertanya: Apakah setelah kejahatan tersebut ada kebaikan?, Rasulullah menjawab: Ya, dan di dalamnya ada kekeruhan”.

Hudzaifah bertanya kembali, “Apakah dakhon (kekeruhan) itu ? Rasulullah bersabda: Kaum “Yaitu orang-orang yang mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku. Engkau ketahui dari mereka itu dan engkau ingkari.”

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan: “addakhon adalah apa yang terjadi pada masa keduanya (Ali bin Abi Thalib rodhiyallahu ‘anhu dan Muawiyah bin Abi Sufyan) dari sebagian pemimpin seperti Ziyad di Irak serta penyelisihan sebagian kelompok seperti Khawarij.”

Sedangkan menurut Al Qodhi dalam Sirah An Nawawi, hal tersebut terkait kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz rodhiyallahu ‘anhu.
Apa yang diterangkan oleh para ulama terdahulu dalam kitab mu’tabar tentang hal ini menjadi panduan. Mereka -rahimahumullah- telah meletakkan fondasi dan menegakkan pancang-pancang ilmu. Kita yang hidup di merangkumnya dan merangkainya kemudian menuangkannya dalam berbagai penjelasan.

Setelah wafatnya Umar ibn Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu, fitnah terhadap umat Islam merebak berkepanjangan tanpa pernah kembali lagi seperti sedia kala. Beliau adalah pembatas fitnah. Berbagai kejahatan yang terjadi terulang dalam rentetan sejarah.

Meskipun kemudian masa kebaikan (khoir) hadir kembali -setelah fitnah syarr- namun sifatnya sudah tidak murni lagi. Ada “sisa-sisa” kejahatan yang tidak terhindari. Sehingga, jadilah ia kebaikan yang memiliki kekeruhan.

Ada kedengkian, rasa dendam dan berbagai sifat lainnya sebagai manifestasi rusaknya hati. Ada assunnah yang ditinggalkan serta manhaj kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam yang disamarkan. Umat tidak lagi mudah untuk bersatu dalam satu wadah, karena hati kaum muslimin yang sudah tidak dikuasai seruan fitrah. Padahal cahaya fitrah-lah yang menjadikan berjama’ah (bersatu) itu menjadi mudah.

Berbagai ambisi kekuasaan mewarnai perjalanan sejarah kaum Muslimin. Tidak sedikit yang kemudian berujung pada pertumpahan darah. Akan tetapi pada masa ini sifat asli umat Islam masih sangat kentara. Dominan. Kehidupan para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para ulama senantiasa menjadi poros kebaikan. Hanya saja kondisi ad dakhon pun melekat memberikan warna tersendiri, sehingga bagaimanapun juga ia bukan lagi kebaikan yang murni lagi.

Inilah indikasi untuk menentukan rentang masa khoir wa fiihi dakhon itu. Yakni, satu rentang masa yang kebaikannya masih dominan namun kekeruhannya tidak bisa dihindari.

Masa khoir wa fiihi dakhon (kebaikan yang di dalamnya ada kekeruhan) merujuk pada era Mulkan. Pasca syahidnya kholifah Aly bin Abi Thalib. Rasulullah menyebutnya dengan dua kategori sifat: Adhon (menggigit) dan Jabariyyah (menyombong / memaksa).

Realita sejarah menunjukkan ada tiga emperium besar yang berkuasa silih berganti. Dimulai dengan berdirinya Bani Umayyah di Syam tahun 41 H (661 M), dilanjutkan dengan Bani Abasyiyah di Irak, hingga tumbangnya Dinasti Turki Utsmani tahun 1342 H (tepatnya tanggal 3 Maret 1924 M, ketika Mustafa Kemal Pahsya Presiden Republik Turki pertama, menghapuskan sistem Khilafah). Atau fase sejarah yang paling lama dalam Islam, tiga belas abad menurut perhitungan Hijriyah atau 1.265 tahun menurut miladiyah.

Pada masa Mulkan -era Bani Umayyah sampai Turki Utsmani- kebaikan-kebaikan itu masih nampak jelas, menjadi fakta yang tidak dapat dipungkiri. Namun hal ini, jika diperhatikan lebih lanjut sangat tergantung pada akhlak dan ke-sholih-an pribadi sang raja. Mengapa bisa demikian? Karena kebaikan bukanlah sesuatu yang bisa diwariskan berdasarkan hubungan darah, sedangkan kerajaan bahkan sebaliknya, kekuasaannya diperoleh berdasarkan garis keturunan.

5. Syar, du’atun ‘ala abwabi jahannam

Kita kembali pada hadits yang menjadi topik pembicaraan ini. Setelah bersoal-jawab antara Shahabat Huzaifah ibnul Yaman radhiyallahu anhu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terkait Khoir wa fiihi dakhon, maka lanjutan haditsnya sebagai berikut: Aku (Hudzaifah, pen.) bertanya: “Apakah sesudah kebaikan itu akan ada lagi keburukan?” Rasulullah menjawab: “Ya, yaitu adanya penyeru-penyeru yang mengajak ke pintu-pintu Jahannam. Barangsiapa mengikuti ajakan mereka, maka mereka melemparkannya ke dalam Jahannam itu.” Aku bertanya: “Ya Rasulullah, tunjukkanlah sifat-sifat mereka itu kepada kami.” Rasululah menjawab: “Mereka itu dari kulit-kulit kita dan berbicara menurut lidah-lidah (bahasa) kita.” Aku bertanya: “Apakah yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menjumpai keadaan yang demikian?” Rasulullah bersabda: “Tetaplah engkau pada Jama’ah Muslimin dan Imaam mereka !” Aku bertanya: “Jika tidak ada bagi mereka Jama’ah dan Imaam?” Rasulullah bersabda: “Hendaklah engkau keluar menjauhi firqoh-firqoh itu semuanya, walaupun engkau sampai menggigit akar kayu hingga kematian menjumpaimu, engkau tetap demikian.”

Kejahatan dengan adanya penyeru-penyeru yang mengajak atas pintu-pintu Jahannam, merujuk pada berbagai kondisi dan peristiwa yang menimpa umat Islam pasca tumbangnya Turki Utsmani. Seperti apa kondisi riilnya, memang tidak diliterasikan pada kitab klasik, karena peristiwanya terjadi jauh setelah kitab-kitab tersebut rampung ditulis.

Pada masa ini semakin kuat cengkeraman imperialisasi dan kolonialisasi negeri-negeri Islam oleh penjajah-penjajah Barat. Umat Islam terpuruk, mereka tidak pernah mengalami kondisi seperti ini sebelumnya, hidup terombang ambing seperti anak ayam kehilangan induk. Menjadi objek eksploitasi kaum penjajah tanpa ada pembelaan berarti dari simbol Kepemimpinan Umat Islam yang masa sebelumnya memberikan naungan perlindungan kepada mereka.

Kemudian mereka berubah menjadi kerajaan atau negara-negara yang tersebar ke berbagai belahan dunia. Dibatasi teritorial, saling membutir. Ironisnya justru umat Islam euforia dalam spirit qoumiyah (semangat kebangsaan), yang membuat mereka benar-benar menjadi sesuatu yang berbeda, tumbuh dan berkembang jauh terlepas dari fitrah persatuan dan kesatuan ummat, yang selama ini menjadi perekat dan pengikat. Kalau pun ada persatuan dan kesatuan yang didengungkan hanya sebatas dalam lingkup nasionalisme kebangsaan.

Perjuangan melepaskan diri dari cengkeraman penjajahan, memang berhasil namun tidak pernah menjadikan umat Islam pada maqam kesatuan umat yang sebenarnya. Kemerdekaan sebatas membentuk sebuah negara Islam atau mayoritas berpenduduk muslim. Tidak ada Imamul Muslimin yang menjadi sentral komando. Tidak ada pemimpin yang menjadi rujukan dan tameng bagi umat yang mengikat dan menyatukan mereka.

Jika fitnah yang terjadi dalam tubuh umat Islam membentuk sebuah garis panjang yang pangkalnya dimulai dari kemelut di masa akhir kekhilafahan Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, terus ditarik garisnya hingga saat ini, maka salah satu titik klimaksnya adalah momentum pasca “Kekhilafahan” Turki Utsmani ini.

Dulu umat Islam memang juga mengalami berbagai bentuk kejahatan fitnah, dari pembunuhan, pengkhianatan, perang saudara hingga kemaksiatan-kemaksiatan lainnya, namun dari waktu ke waktu selalu ada Kholifah atau simbol Kholifah yang akan menjadi penengah atau tempat merujuk. Selalu ada kekuatan umat Islam yang dimotori oleh Kekhilafahan untuk mendengar dan memberikan bantuan terhadap umat yang dizalimi. Sehingga kehormatan umat terjaga, Al Aqsho terlindungi dan ada pembelaan ketika umat Islam ditindas dan dizolimi.

Berikut ini berbagai kejahatan fitnah yang terjadi pasca runtuhnya Turki Utsmani:
Kian menguatnya cengkeraman zionis Israel dan bertambahnya nestapa rakyat Palestina.
Penjajahan negeri-negeri muslimin.
Perang saudara di Timur Tengah.
Kezaliman bangsa /negara atas bangsa/ negara lainnya.

Kondisi seperti inilah gambaran riil terhadap isyarat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melalui perkataan beliau Syarr, duatun ‘ala abwabi jahannam. Kejahatan terpecah belahnya kaum muslimin dan berbagai keburukan akibat yang ditimbulkannya. Penyeru, pejuang dan pegiat perpecahan terus bermunculan.
Akan tetapi Islam tidak hanya sampai disini. Harapan dan optimisme selalu ada. Lanjutan yang sekaligus menjadi penutup dari hadits yang menjadi dasar pembahasan ini, menunjukkan hal itu.

…. Aku bertanya: “Apakah yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menjumpai keadaan yang demikian?” Rasulullah bersabda: “Tetaplah engkau pada Jama’ah Muslimin dan Imaam mereka !” Aku bertanya: “Jika tidak ada bagi mereka Jama’ah dan Imaam?” Rasulullah bersabda: “Hendaklah engkau keluar menjauhi firqoh-firqoh itu semuanya, walaupun engkau sampai menggigit akar kayu hingga kematian menjumpaimu, engkau tetap demikian.”

Hudzaifah ibnul Yaman memang sahabat yang jenius. Situasi Syarr, duatun ‘ala abwabi jahannam, yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentu menjadi perhatian beliau. Beliau pun meminta kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, apa yang diperintahkan jika menjumpai kejahatan yang dahsyat tersebut. Sebuah permintaan yang tendensinya bukan untuk kepentingan pribadi, namun demi kemaslahatan ummat di kemudian hari.

Jawaban Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lugas. “Tetaplah engkau pada Jama’ah Muslimin dan Imam mereka”. Ini penjelasan yang terang sebagai jalan keluar dari fitnah Syarr, duatun ‘ala abwabi jahannam, yang termanifestasi dalam kondisi riil maraknya perpecahan ummat. Perpecahan atau tafarruq, hanya memiliki satu jawaban untuk menutupnya, yakni berjama’ah.

Sebagaimana ayat Al Quran surah Ali Imran ayat 103:

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah seraya berjama’ah dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.

Relevan dengan perintah untuk untuk iltizam (menetap) pada Jama’ah Muslimin dan Imam mereka ini, adalah kembalinya masa Khilafah ‘ala minhaajinnubuwwah, khilafah yang berada pada jalan kenabian. Kedua hal tersebut mengacu pada hal yang sama. Dijelaskan secara futuristik oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melalui dua hadits yang berasal dari sahabat yang sama. Namun memiliki titik tekan yang berbeda.

Bagi kita umat Islam yang hidup di akhir zaman kedua hadits tersebut saling menyempurnakan, menjadi panduan untuk menapaktilasi manhaj kenabian sebagai wujud dari berIslam secara kaffah.

Pertanyaan Hudzaifah berikutnya menunjukkan kuatnya penekanan terkait masalah Al Jama’ah dan menghindari Firqah. Lanjut beliau: “Aku berkata, maka jika tidak ada bagi mereka jama’ah dan imam?”. Rasulullah bersabda: “Hendaklah engkau keluar menjauhi firqoh-firqoh itu semuanya, walaupun engkau sampai menggigit akar kayu hingga kematian menjumpaimu, engkau tetap demikian.”
Menurut Al Baidhawi, sebagaimana dikutip dalam Fathul Bari, makna dari kalimat ini adalah: Jika tidak ada Kholifah di muka bumi maka hendaklah kalian mengasingkan diri (uzlah), dan bersabarlah menghadapi beratnya kondisi zaman.

Ini menunjukkan betapa dahsyatnya perkara Jama’ah Muslimin dan Imamnya, jika ia tidak dijumpai, maka kaum muslimin diperintahkan untuk uzlah (mengasingkan diri). Demi menghindari segala bentuk perpecahan, meskipun untuk itu risikonya mengalami kesulitan hidup dan berbagai penderitaan. Karena Perselisihan dan perpecahan hanya akan mengantarkan pada azab yang pedih.

Sebaliknya hal tersebut menunjukkan pula agar ummat Islam senantiasa berjuang mengamalkan dan menegakkan kehidupan berjama’ah dengan ketaatan terhadap Imamul Muslimin.

Merujuk pada perkara ini, jika kita refleksikan dengan kondisi umat Islam saat ini, seharusnya menjadi titik tolak penting untuk memulai setiap langkah perjuangan dengan kembali pada perintah Talzamu jama’atal muslimina wa imamahum. Berhimpun pada Jama’ah Muslimin dan Imam mereka. Menelisik, mengkaji, meneliti dan menghayati untuk kemudian mengamalkan pola hidup berjama’ah sesuai dengan manhaj Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Jika ingin jihad, maka fokuslah berjihad untuk menegakkan Al Jama’ah. Jika ingin berbuat untuk Islam dan muslimin maka mulailah dari Al Jama’ah.

Jika hal itu tidak mampu dilakukan, uzlah lebih baik, karena setiap gerakan tanpa ikatan jama’ah, dia akan diputar dalam pusaran ikhtilaf dan tafarruq, perselisihan dan perpecahan. Dua hal yang dilarang oleh Allah ‘Azza wajalla. (A/Ast/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.