Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Disertasi Zainut Tauhid Sa’adi di UIN Syarif Hidayatullah

kurnia - Jumat, 6 Agustus 2021 - 16:56 WIB

Jumat, 6 Agustus 2021 - 16:56 WIB

5 Views ㅤ

Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa'adi

Jakarta, MINA –  Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan, perkembangan teknologi informasi telah menciptakan ruang publik digital bagi warga bangsa.

“Kehadiran ruang publik digital telah memberikan dampak pada kehidupan bernegara, termasuk proses demokratisasi dan kontestasi ideologi politik gerakan Islam di Indonesia,” kata Zainut yang adalah juga Wakil Menteri Agama, saat menyampaikan kesimpulan disertasinya dalam sidang promosi doktor di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, digelar secara virtual, Kamis (5/8).

Menurutnya, kemunculan ruang publik digital telah mengakibatkan demokratisasi dan fragmentasi otoritas keagamaan serta mempertajam kontestasi dan polarisasi ideologis antara gerakan Islamis dan organisasi Islam arus utama di Indonesia.

Disertasi  Zainut Tauhid Sa’adi membahas tentang Kontestasi Ideologi Politik Gerakan Islam Indonesia di Ruang Publik Digital.

Baca Juga: Pasangan Ridwan Kamil-Suswono dan Dharma-Kun tak jadi Gugat ke MK

Dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini menganalisa data hasil studi kepustakaan dan dokumentasi yang dihimpun dari website dan media sosial gerakan Islam yang menjadi objek kajian, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), NU, dan Muhammadiyah.

Temuan penelitian disertasi ini berhasil dipertahankan  di hadapan tim penguji: Prof. Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, MA; Prof. Dr. Amany Lubis, MA; Prof. Dr. Masykuri Abdillah; Prof. Dr. Zulkifli, MA; Prof. Dr. M. Suparta, MA; dan Prof. Dr. Didin Saepudin, MA.

Dalam penelitiannya, Zainut menemukan bahwa ruang publik digital telah memfasilitasi gerakan Islamis (HTI dan FPI) untuk memproduksi dan mendistribusikan wacana ideologi politik alternatif di luar batasan sempit lembaga formal dan politik elektoral.

Meskipun pemerintah berupaya membatasi “struktur peluang politik” bagi kelompok Islamis, sebagaimana tercermin dalam kebijakan pembubaran HTI dan FPI, namun hal tersebut tidak menghalangi mereka untuk memengaruhi persepsi dan opini publik di ruang digital.

Baca Juga: Cuaca Jakarta Berpotensi Hujan Kamis Ini, Sebagian Berawan Tebal

“Dalam arena yang tidak sepenuhnya bisa dijangkau oleh pemerintah inilah, kelompok-kelompok Islam arus utama seperti NU dan Muhammadiyah memainkan peran utama dalam membendung narasi radikal dan anti-sistem yang dihembuskan oleh kelompok-kelompok Islamis sambil terus berupaya mempertahankan Pancasila dan NKRI sebagai hasil konsensus bersama,” katanya.

Zainut juga menemukan gerakan Islamis ini berangkat dari pandangan bahwa akar keterpurukan umat Islam Indonesia bersumber dari penerapan ideologi sekuler Barat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Karena itu, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi problematika tersebut adalah penegakan ideologi Islam dan penerapan syariah Islam secara komprehensif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Pembingkaian wacana ideologi politik alternatif yang dikonstruksi oleh HTI dan FPI ini menunjukkan bahwa gerakan Islamis menggunakan bingkai identitas sebagai bingkai utama dalam memformulasikan masalah dan solusi umat Islam Indonesia,” ujarnya.

Baca Juga: Workshop Kemandirian untuk Penyandang Disabilitas Dorong Ciptakan Peluang Usaha Mandiri

Dalam rangka mempropagandakan wacana ideologi politik alternatif tersebut, gerakan Islamis menggunakan internet dan media sosial secara kreatif dan produktif sebagai perangkat penjembatan bingkai dan perluasan bingkai.

Namun, sebutnya, bingkai aksi kolektif yang disodorkan oleh gerakan Islamis harus berhadapan dengan bingkai aksi tandingan yang disodorkan oleh organisasi Islam arus utama seperti NU dan Muhammadiyah.

“Kedua ormas Islam ini juga secara kreatif dan produktif melakukan pembingkaian tandingan di ruang publik digital untuk melawan narasi radikal dan anti-sistem yang dihembuskan oleh kelompok Islamis sekaligus menegaskan posisi ideologis dan komitmen mereka terhadap Pancasila dan NKRI sebagai “Negara Kesepakatan” (Dar al-Mithaq) dan “Negara Perjanjian dan Kesaksian” (Dar al-‘Ahd wa al-Shahadah),” jelasnya.

Lantas, di mana peran Pemerintah? Zainut dalam disertasinya mengidentifkasi adanya sejumlah kebijakan yang digulirkan oleh pemerintah untuk membendung pengaruh gerakan Islamis beberapa tahun belakangan. Menurutnya, kebijakan tersebut setidaknya mengejewantah ke dalam lima model.

Baca Juga: Update Bencana Sukabumi:  Pemerintah Siapkan Pos Pengungsian

1. Pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana tercermin dalam pemberlakuan UU No. 5 Tahun 2018, UU No. 16 Tahun 2017 dan UU No. 19 Tahun 2016.
2. Pembentukan lembaga/badan pemerintahan baru, terutama BPIP.
3. Pengarusutamaan moderasi beragama.
4. Pemblokiran situs dan media sosial bermuatan radikal.
5. Pencabutan izin ormas radikal, sebagaimana tercermin dalam pembubaran HTI dan FPI.

Temuan disertasi Wamenag Zainut Tauhid Sa’adi ini merevisi hasil penelitian M. Thoyibi dan Yayah Khisbiyah (eds.) dari Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSBPS) Universitas Muhammadiyah Surakarta tentang ‘Kontestasi Wacana Keislaman di Dunia Maya: Moderatisme, Ekstremisme, dan Hipernasionalisme’.

Demikian juga dengan temuan penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang ‘Beragama di Dunia Maya: Media Sosial dan Pandangan Keagamaan di Indonesia’.

Kedua penelitian ini menyatakan bahwa aktor-aktor dan kelompok-kelompok yang membangun narasi keagamaan Islamis dan konservatif lebih dominan di ruang publik digital.

Baca Juga: PSSI Anggarkan Rp665 M untuk Program 2025

“Sebaliknya, penelitian ini menunjukkan bahwa ormas Islam arus utama seperti NU dan Muhammadiyah telah menetralisir dan merebut, untuk tidak menyatakan mendominasi, ruang publik digital,” tegasnya.

Penelitian ini memperkuat pendapat Dale Eickelman dan James Piscatori, Muhammad Qasim Zaman, Norshahril Saat, dan Ahmad Najib Burhani yang menyatakan bahwa perkembangan teknologi media modern telah mengakibatkan pluralisasi, kontestasi dan fragmentasi otoritas keagamaan.

Meskipun demikian, mereka tidak mengemukakan tesis bahwa kemunculan media baru telah mempertajam kontestasi dan polarisasi ideologis di antara gerakan Islam di Indonesia sebagaimana disebutkan Zainut.

Di samping itu, penelitian ini juga mendukung tesis “aksi konektif” berbasis individu yang dikemukakan Lance Bennett dan Alexandra Segerberg (2012) serta berseberangan dengan tesis “aksi kolektif” berbasis organisasi yang dikemukakan oleh John McCarthy dan Mayer Zald (1977).

Baca Juga: Naik 6,5 Persen, UMP Jakarta 2025 Sebesar Rp5,3 Juta

Penelitian ini menunjukan bahwa penggunaan media digital sebagai agen penyelenggara dalam proses mobilisasi mikro telah mengakibatkan pergeseran relatif dari aksi kolektif ke aksi konektif dalam dinamika kontestasi ideologi politik gerakan Islam di Indonesia.

“Meskipun demikian, kemunculan aksi konektif berbasis individu tidak sepenuhnya menggantikan aksi kolektif berbasis organisasi dan tidak menghapuskan sama sekali peran organisasi kemasyarakatan dalam mobilisasi aksi kolektif,” demikian Zainut. (R/R4/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Bulog: Stok Beras Nasional Aman pada Natal dan Tahun Baru

Rekomendasi untuk Anda