Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA
Aku meminta kepada Allah untuk menyingkirkan penderitaanku.
Allah menjawab, “Tidak. Itu bukan untuk Kusingkirkan, tetapi agar kau mengalahkannya.”
Aku meminta kepada Allah untuk menyempurnakan (menghilangkan) kecacatanku.
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Allah menjawab, “Tidak. Jiwa adalah sempurna, badan hanyalah sementara.”
Aku meminta kepada Allah untuk menghadiahkanku kesabaran.
Allah menjawab, “Tidak. Kesabaran adalah hasil dari kesulitan; itu tidak dihadiahkan, itu harus dipelajari.”
Aku meminta kepada Allah untuk memberiku kebahagiaan.
Baca Juga: Suriah dan Corak Bendera yang Berganti
Allah menjawab, “Tidak. Aku memberimu berkah. Kebahagiaan sangat tergantung padamu.”
Aku meminta kepada Allah untuk menjauhkan penderitaanku.
Allah menjawab, “Tidak. Karena penderitaan menjauhkanmu dari perhatian duniawi dan membawamu mendekat kepadaKu.”
Aku meminta kepada Allah untuk menumbuhkan ruhku.
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
Allah menjawab, “Tidak. Kau harus menumbuhkannya sendiri, tetapi Aku akan memangkas untuk membuatmu berbuah.”
Aku meminta kepada Allah segala hal sehingga aku dapat menikmati hidup.
Allah menjawab, “Tidak. Aku akan memberimu hidup, sehingga kau dapat menikmati segala hal.”
Aku meminta kepada Allah membantuku mengasihi orang lain, seperti Ia mengasihiku.
Baca Juga: Hari HAM Sedunia: Momentum Perjuangan Palestina
Allah menjawab, “Ahhh, akhirnya kau mengerti juga.”
Renungan
Saudaraku… Allah mencintai setiap hamba-Nya, bahkan seluruh makhluk hidup yang ada di muka bumi ini. Allah tahu mana yang terbaik bagi hamba-Nya. Tapi mengapa kita kadang terlalu bebal untuk menyingkap tabir dibalik kemahabesaran-Nya…
Dia menjadikan segala sesuatu atas rasa cinta dan kasih sayang-Nya bukan atas kebencian dan kemurkaan, sebab Allah lebih mendahulukan rahmat-Nya dari pada murka-Nya. Tapi mengapa kadang kita memaksakan diri untuk membenci sesuatu yang Dia perintahkan dan menyenangi sesuatu yang Dia larang.
Baca Juga: Literasi tentang Palestina Muncul dari UIN Jakarta
Karena Allah begitu sayang kepada setiap hamba-Nya, maka mestinya rasa kasih dan sayang itu menjadi pakaian kita dalam kehidupan fana ini. Sebab kasih sayang adalah wujud dari ukhuwah di antara sesama muslim.
Dari kasih sayang itu akan lahir kekuatan ukhuwah yang tak akan goyah meski diterpa badai fitnah. Sebaliknya, tanpa kasih sayang, bencana ruhani berupa penyakit-penyakit hati akan mudah bersarang didalam hati kita.
Saudaraku… Kasih sayang Allah itu tak selamanya mewujud dalam kesenangan hidup, melimpahnya harta, banyaknya keturunan, tingginya jabatan, besarnya pengaruh, berderetnya titel akademik atau tubuh yang gagah, tampan, cantik rupawan.
Bisa jadi, orang yang senantiasa mendapat curahan kasih sayang Allah itu secara fisik ia penuh kekurangan, tak berpunya, bahkan berpenyakit. Tapi tahukah kita dengan fisik yang serba kekurangan, miskin dan berpenyakit itulah justeru jika ia sabar dan tawakal, maka Allah akan menjaganya dari api neraka kelak dan memasukkannya ke dalam surga yang kekal lagi abadi.
Baca Juga: Perang Mu’tah dan Awal Masuknya Islam ke Suriah
Saudaraku… Sucikan hati ini dengan meningkatkan takwa kepada Allah. Ingatlah akhirat dengan memperbanyak amalan-amalan yang disenangi-Nya. Kelak, bila masanya tiba, setiap kita pasti akan berdiri di hadapan Allah sendiri-sendiri untuk mempertanggungjawabkan setiap perbuatan dan ucapan lisan.
Terkait dengan doa dan bekal akhirat ini, Imam Asy-Syafi’iy pernah memberikan satu nasihat kepada muridnya, Imam Al-Muzany. Sebuah nasihat yang menyentak hati setiap kaum beriman agar memperbanyak taubat atas kotoran jiwa yang hampa.
Berikut adalah nasihat Imam Syafi’iy, “Pagi ini aku akan melakukan perjalanan meninggalkan dunia, akan berpisah dengan kawan-kawanku, akan meneguk gelas kematian, akan menghadap kepada Allah dan akan menjumpai kejelekan amalanku. Aku tidak tahu: apakah diriku berjalan ke surga sehingga aku memberinya ucapan kegembiraan, atau berjalan ke neraka sehingga aku menghibur kesedihannya.”
Bertakwalah kepada Allah. Permisalkanlah akhirat dalam hatimu, jadikanlah kematian antara kedua matamu, dan janganlah lupa bahwa engkau akan berdiri di hadapan Allah. Takutlah terhadap Allah ‘Azza wa Jalla, jauhilah segalah hal yang Dia haramkan, laksanakanlah segala perkara yang Dia wajibkan, dan hendaknya engkau bersama Allah di manapun engkau berada. Janganlah sekali-kali engkau menganggap kecil nikmat Allah kepadamu -walaupun nikmat itu sedikit- dan balaslah dengan bersyukur.
Baca Juga: Selamatkan Palestina, Sebuah Panggilan Kemanusiaan
Jadikanlah diammu sebagai tafakur, pembicaraanmu sebagai dzikir, dan pandanganmu sebagai pelajaran. Maafkanlah orang yang menzalimimu, sambunglah (silaturrahim dari) orang yang memutus silaturahim terhadapmu, berbuat baiklah kepada siapapun yang berbuat jelek kepadamu, bersabarlah terhadap segala musibah, dan berlindunglah kepada Allah dari api neraka dengan ketakwaan.
Hendaknya kejujuran adalah lisanmu, menepati janji adalah tiang tonggakmu, rahmat adalah buahmu, kesyukuran sebagai thaharahmu, kebenaran sebagai perniagaanmu, kasih sayang adalah perhiasanmu, kecerdikan adalah daya tangkapmu, ketaatan sebagai mata percaharianmu, ridha sebagai amanahmu, pemahaman adalah penglihatanmu, rasa harapan adalah kesabaranmu, rasa takut sebagai pakaianmu, shadaqah sebagai pelindungmu, dan zakat sebagai bentengmu.
Jadikanlah rasa malu sebagai pemimpinmu, sifat tenang sebagai menterimu, tawakal sebagai baju tamengmu, dunia sebagai penjaramu, dan kefakiran sebagai pembaringanmu. Jadikanlah kebenaran sebagai pemandumu, haji dan jihad sebagai tujuanmu, Al Quran sebagai juru bicaramu dengan kejelasan, serta jadikanlah Allah sebagai Penyejukmu. Siapa yang bersifat seperti ini, surga adalah tempat tinggalnya.”
Kemudian, Imam Asy-Syafi’iy mengangkat pandangannya ke arah langit seraya menghadirkan susunan ta’bir. Lalu beliau bersya’ir,
Baca Juga: Malu Kepada Allah
“Kepada-Mu -wahai Ilah segenap makhluk, wahai Pemilik anugerah dan kebaikan–kuangkat harapanku, walaupun aku ini seorang yang bergelimang dosa
Tatkala hati telah membatu dan sempit segala jalanku, kujadikan harapan pengampunan-Mu sebagai tangga bagiku
Kurasa dosaku teramatlah besar, tetapi tatkala dosa-dosa itu kubandingkan dengan maafMu -wahai Rabbku-, ternyata maafMu lebihlah besar
Terus menerus Engkau Maha Pemaaf dosa, dan terus menerus Engkau memberi derma dan maaf sebagai nikmat dan pemuliaan
Baca Juga: Palestina Memanggilmu, Mari Bersatu Hapuskan Penjajahan
Andaikata bukan karenaMu, tidak seorang pun ahli ibadah yang tersesat oleh Iblis. Bagaimana tidak, sedang dia pernah menyesatkan kesayangan-Mu, Adam
Kalaulah Engkau memaafkan aku, Engkau telah memaafkan seorang yang congkak, zalim lagi sewenang-wenang yang masih terus berbuat dosa
Andaikata Engkau menyiksaku, tidaklah aku berputus asa, walaupun diriku telah engkau masukkan ke dalam Jahannam lantaran dosaku
Dosaku sangatlah besar, dahulu dan sekarang, namun maaf-Mu -wahai Maha Pemaaf- lebih tinggi dan lebih besar”
Baca Juga: Korupsi, Virus Mematikan yang Hancurkan Masyarakat, Ini Pandangan Islam dan Dalilnya!
(Tarikh Ibnu Asakir Juz 51 hal. 430-431)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menerima amal ibadah kita, memudahkan setiap urusan kita, menyatukan jiwa-jiwa kita dalam balutan kasih sayang-Nya serta berkenan memasukkan kita ke dalam surga-Nya yang penuh kenikmatan, aamiin. Wallahua’lam.(R02/P01)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)