Dosa Besar Penggila Perang Suriah

Taufiqurrahman (Redaktur Arab MINA)

Suriah benar-benar telah menjadi ajang pemuas syahwat perang para penggila perang. Kegilaan perang telah membutakan nurani mereka dari deretan kejahatan kemanusiaan. PBB merilis selama tujuh tahun lebih dari 400,000 jiwa melayang, lima juta lebih warganya mengungsi dan 6,3 juta menjadi pengungsi di negerinya sendiri.

Hampir setengah imigran adalah anak-anak. Tidak sedikit dari mereka yang akhirnya meninggal dalam pelarian seperti terjadi di 2015 pada Aylan Kurdi, bocah tiga tahun yang tewas dan terdampar di pantai Turki. Foto jenazah Aylan viral dan menyentakkan dunia. Sayang peristiwa pilu itu tak mampu menghentikan perang meski sekedar untuk gencatan senjata.

Sebanyak 17,401 anak dan 1,536 wanita tewas sepanjang 2011 – 2016 (The Lancet, Januari 2018). Sementara organisasi kemanusiaan ‘I’m Syria’ menyebut 10,204 anak dan 12,648 tewas sepanjang 2017. Total perang Suriah yang berkecamuk sejak 2011 hingga akhir 2017 telah menewaskan 27,605 anak dan 12,648 wanita. Belum ditambah jumlah korban di awal 2018 ini. Yang jelas berdasarkan sejumlah laporan di atas jumlah korban terus meningkat tiap tahun.

Unicef menyebut masih ada 8,5 juta anak yang tinggal di Suriah. Sebanyak 5,3 juta diantaranya butuh bantuan kemanusiaan, 1,2 juta tinggal dalam area konflik dan 170,000 hidup dalam blokade. Dari total jumlah tersebut 1,75 juta anak usia 5-17 putus sekolah dan 1,35 juta lainnya terancam berhenti sekolah. Tujuh tahun konflik berlalu, perang pun semakin meluas dan terus berkecamuk, itu berarti anak-anak tersebut terancam tumbuh dalam kekerasan atau mati di usia kecil.

Semua pihak yang terlibat dalam perang Suriah turut andil menyumbang jumlah korban dan merusak Suriah. Amnesty International di awal 2018 bahkan cukup detail merinci dosa masing-masing pihak di sana. Korban sipil, anak-anak dan wanita; sasaran membabi buta ke rumah-rumah warga, sekolah, pasar dan rumah sakit serta fasilitas umum; penggunaan senjata kimia; blokade yang menghambat akses bantuan kemanusiaan dan obat-obatan. Semua bentuk kejahatan perang melumuri tangan mereka.

Fakta tersebut tidaklah berarti apa-apa bagi mereka. Sebab pengaruh dan kuasa jauh lebih berharga dari itu. Selama nafsu kuasa itu belum terpenuhi maka pembantaian dan pembumihangusan harus terus berlanjut. Dunia pun dibuat tak berdaya menghentikannya, selain hanya berbelasungkawa atau mengecam.

Tidak ada yang mampu menghentikan perang Suriah. Hukum internasional, kesepakatan gencatan senjata, perjanjian wilayah non ekskalasi, kecaman dan tekanan dunia internasional, tidak pula tangis dan duka korban. Fakta memilukan lainnya, Islam yang dipeluk para pelaku perang tersebut terbuang jauh di pengasingan. Mereka seperti belum pernah belajar ajaran Islam yang damai dan menyejukkan.

Lucunya, justru masing-masing tanpa malu mengatasnamakan Islam. Islam seperti apa yang mengorbankan anak-anak dan wanita ? Islam seperti apa yang membiarkan musuh terlibat dalam pembantaian saudara semuslim ?

Wajah dunia Islam dan Arab tercoreng akibat perang Suriah. OKI dan Liga Arab dibuat malu dengan hanya bisa menyelenggarakan konferensi-konferensi serta menyuarakan keputusan dan kecaman kosong. Sebaliknya justru masing-masing disibukkan dengan konflik antar anggotanya.

Gelombang Arab Spring sebenarnya hanyalah topeng yang menutupi wajah suram masa depan negeri-negeri yang dilanda, termasuk Suriah. Siapa yang mengira jika rupanya gelombang tersebut justru membawa bencana besar kemanusiaan ? Sayang, sudah terlambat. Kematian, kelaparan dan kerusakan telah terjadi. Dan tak ada tanda kekacauan demi kekacauan tersebut akan berhenti.

Aduhai sekiranya dulu baik Asad ataupun oposisi mau mengikuti petuah bijak Syeikh Ramadhan Buthi – rahimahullah – untuk tidak terjebak pengaruh asing dalam menyelesaikan konflik antar keduanya lalu kembali kepada Allah dan Rasul-Nya – shallallahu’alaihi wa sallam –. Dalam satu ceramahnya menanggapi pertikaian di Suriah, beliau mengingatkan mereka satu hadits, “Barangsiapa memerangi umatku membunuh orang baik dan orang jahatnya, tidak berhati-hati dari orang mukminnya, dan tidak menepati perjanjian kepada yang membuat perjanjian dengan mereka; maka ia bukan termasuk golonganku dan aku bukan termasuk golongannya” [Diriwayatkan oleh Muslim].

Apa yang beliau khawatirkan kelak Suriah bernasib sama dengan Irak kian tampak. Satu yang belum tampak hingga kini saat negeri tersebut terpecah menjadi beberapa wilayah di bawah kekuasaan asing.

Tidak ada jalan keluar mengatasi krisis ini selain membuang jauh-jauh intervensi asing terutama musuh-musuh Islam, menggenggam kuat-kuat solusi Islam dalam mengatasi konflik dan menyelesaikan krisis secara internal dengan mengedepankan prinsip-prinsip syura dan tasamuh. (RA 02/P1

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.