Oleh: Taufiqurrahman, Redaktur MINA Arab
Indonesia harus bangga punya sosok muslimah ini. Alumni S3 terbaik se Asia di Sudan ini berhasil menciptakan ‘utrujah’. Metode menghafal Al Qur’an cepat dan sederhana.
Utrujah itu sebenarnya nama buah. Rasa dan baunya enak. Orang yang membaca Al Qur’an dan mengamalkannya diumpamakan seperti utrujah.
Kira-kira seperti itu harapan Sarmini. Dengan ‘utrujah’-nya, ia ingin banyak orang bisa hafal Al Qur’an 30 juz. Juga mengamalkannya.
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
Metode ini mulai diterapkan ke anak-anaknya. Hasilnya semuanya hafal 30 juz di usia anak-anak. Saudah, putri pertamanya jadi hafidzah usia 7 tahun. Atikah dan Nusaibah, putri ke dua dan tiganya, selesai 30 juz usia 8 tahun.
Abdullah putra bungsunya menyusul. Hafal Al Qur’an usia 6 tahun. Jauh lebih cepat. Jauh lebih dini.
Namun muslimah ini tidak pelit. Kesuksesannya harus dibagi. Utrujah-nya harus melahirkan lebih banyak penghafal Al Qur’an. Maka dia bangun Markaz Al Qur’an Utrujah.
Pusatnya di Jakarta. Cabangnya di mana-mana. Meski tak senama tapi Utrujah-nya diterapkan di cabang. Tak perlu ada royalti untuk menerapkan Utrujah.
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia
Selain sibuk membina Markaz ia sibuk mengisi seminar-seminar. Bagi-bagi Utrujah. Dua kali, bersama istri, saya mengikuti seminarnya. Di Islamic Book Fair Jakarta dan di Masjid Darussalam Bogor. Biasanya dia membawa putri-putranya itu. Kami benar-benar lihat keajaiban. Mereka menghafal Al Qur’an dengan lancar.
Dia pernah membawa mereka ke Ponpes Al Fatah Bogor. Tempat saya mengajar. Waktu itu saya jadi pendamping Syeikh Abdurrahman Jamal, Direktur Daarul Qur’an wa Sunnah Gaza. Dia ingin bertemu Syeikh. Mengenalkan anak-anaknya pada sosok pencetak ratusan ribu huffadz Al Qur’an Palestina.
Istri saya lebih beruntung. Menjadi mahasiswi di kampusnya mengajar. LIPIA Jakarta. Kata istri, dia sering mengajak Saudah ke kampus. Jadi mahasiswinya. Mengakrabkannya dengan bahasa Arab.
Saudah, putri pertama, kini tengah menempuh kuliah di Univiversitas Al Azhar Kairo. Jurusan sejarah. Usianya baru 15 tahun. Ia lulus SMA Al Azhar Jakarta di tahun yang sama ia mendaftar.
Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya
Beberapa mahasiswinya ia ajak mengajar di Utrujah. Salah satunya kawan Istri saya. Siti Muthmainnah namanya. Kepala sekolah tahfidz balita Utrujah ini berhasil membimbing putrinya, Maryam Mujahidah, hafal Al Qur’an usia 6 tahun.
Founder Markaz Al Qur’an Utrujah ini senang. Buah ‘Utrujah’ yang ditanamnya panen. Tapi perjuangannya keras.
Dia kerap berjibaku sendiri mentarbiyah putra-putrinya. Saudah lahir di Sudan saat dia menggarap tesisnya. Tahun 2003. Suaminya, Dr Hari Santoso, hanya sesaat menemani proses kelahiran. Setengah jam. Usai itu ia harus terbang ke Saudi. Menjadi pembimbing haji warga Indonesia di sana.
Usai tesis Sarmini pulang ke Indonesia. Mengajar di Universitas Muhammadiyah Malang. Di kota Batu dia hanya berdua dengan Saudah. Suami segera melanjutkan studi S3 di Sudan.
Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia
Setahun kemudian Sarmini menyusul suaminya ke Sudan. Melanjutkan S3. Di sana Atikah lahir. Seperti mbaknya, Atikah kecil hanya sesaat melihat sang ayah. Sebab ayahnya harus segera ke Saudi. Untuk misi yang sama. Menjadi pendamping jamaah haji di Madinah.
Sambil menunggu jadwal sidang, Sarmini pulang ke Indonesia. Bersama suami dan kedua putrinya. Mereka tinggal di Sidoarjo. Mengajar di Ponpes Al Kahfi.
Tahun 2008 sidang S3 nya tiba. Mereka kembali ke Sudan. Kali ini Nusaibah yang lahir.
Usai S3 Sarmini mendapat tawaran mengajar di LIPIA Jakarta. Kembali ia harus berpisah dengan suami di Sidoarjo. Dia membawa ketiga putrinya.
Baca Juga: Suyitno, Semua yang Terjadi adalah Kehendak Allah
Selama 15 tahun menikah, mereka kerap berpisah. Juga kerap berpindah tempat. Sedikitnya 12 kali.
Masa itu pun dilewati dengan segala keterbatasan finansial. Mereka pernah bertahan hanya makan nasi dan kacang adas saat di Sudan. Mendiami rumah yang dindingnya dari kotoran keledai. Beratap pelepah kurma. Saat hujan baunya bukan main. Saat di Malang mereka hanya sanggup tinggal di kos-kosan.
Sosok DR Sarmini & Utrujah kerap mengisi ruang obrolan saya dan istri. Allah seperti mendekatkan kami dengan keduanya. Meski jarang bertegur sapa dan mengobrol.
Semangat mereka coba kami warisi. Kami sedang mempelajari Utrujah. Menerapkannya kepada kedua putri kami. InsyaAllah berhasil. Cepat atau lambat akan kami bagi kepada Anda hasilnya. (RA 02/P1)
Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi