Jakarta, MINA – Peneliti Ekonomi Senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani memberikan saran kepada pemerintah agar Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dilebur kembali, setelah dipecah di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menurutnya, penggabungan kedua kementerian ini diperlukan karena seringkali bertentangan dalam menentukan kebijakan, seiring dengan target yang berbeda.
“Misalnya begini, yang satu berpikir mana yang boleh ekspor-impor sementara yang satu harus mikir bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan. Sedangkan kita kan butuh sektor-sektor yang menciptakan lapangan pekerjaan kan, harusnya kita mikir perindustrian juga kan,” ujar Aviliani pada talkshow Geliat Ekonomi & Retail Pasca Pemilu di Indonesia di Plaza Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (23/2).
“Nah kalau tidak digabung akhirnya perdagangan memikirkan mana yang boleh dikaitkan impor tapi dari perindustrian harus berkaitan dengan industri sehingga sering bertentangan,” jelasnya.
Baca Juga: Pasangan Ridwan Kamil-Suswono dan Dharma-Kun tak jadi Gugat ke MK
Menurutnya, penggabungan kedua kementerian tersebut akan membuat kebijakan menjadi sejalan, dengan harapan kinerja perdagangan dan perindustrian di Indonesia menjadi lebih sehat dan berkembang.
“Dulu sudah benar tuh digabungkan, bagus. Kalau sekarang dengan tidak digabungkan ini repot urusannya,” tambahnya.
Berdasarkan laman resmi Kemenperin, terbentuknya Kemenperin dalam pemerintahan memiliki sejarah yang panjang. Sejak terbentuknya pemerintahan pertama dalam Kabinet Republik Indonesia I, pembinaan sektor industri dan perdagangan di bawah Kementerian Kemakmuran.
Kemudian, dalam Kabinet Hatta II sektor industri dan perdagangan menjadi satu dalam Kementerian Perdagangan dan Perindustrian. Namun, ketika Kabinet Karya yang dipimpin oleh Ir. Djoeanda, sektor industri dan perdagangan dipisahkan pada kementerian tersendiri.
Baca Juga: Cuaca Jakarta Berpotensi Hujan Kamis Ini, Sebagian Berawan Tebal
Penggabungan dua kementerian itu terjadi kembali dalam Kabinet Pembangunan VI. Pada tanggal 16 Maret 1998, terbentuklah Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan (Deperindag) yang dilanjutkan dalam pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri.
Departemen Perindustrian dan Perdagangan berakhir pada tahun 2004 seiring dengan terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI melalui pemilihan langsung pertama di Indonesia, dalam Susunan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I (Periode 2004-2009).
Sementara itu Direktur SOGO Indonesia Handaka Santosa yang juga hadir sebagai narasumber acara tersebut menilai aturan ketat pemerintah terhadap impor di industri pakaian, tak kunjung mendonkgrak pertumbuhan industri.
Ia bahkan menyebutkan volume impor ilegal justru semakin meningkat di Indonesia.
Baca Juga: Workshop Kemandirian untuk Penyandang Disabilitas Dorong Ciptakan Peluang Usaha Mandiri
Saat ini aturan pemerintah telah menetapkan banyak jenis pajak bagi ritel produk global, antara lain bea masuk, PPN impor, PPN ritel, PPh Badan, Safeguard, dan pajak sewa bangunan, dan lainnya. Pajak-pajak ini pun yang membuat harga pakaian merek luar negeri menjadi lebih mahal saat dijual di pasaran Indonesia.
“Ternyata di Indonesia kalau ada baju impor itu, bea masuknya pakaian jadi adalah 24%, sedangkan di Singapura 0%, Malaysia 0%, Filipina 15%, paling tinggi Vietnam 20%, Kamboja 15%. Jadi bea masuk di negara kita sudah paling tinggi di antara negara-negara lain,” ujar Handaka.(R/R1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Update Bencana Sukabumi: Pemerintah Siapkan Pos Pengungsian